Aborsi dan Abortus: Perdebatan Antara Pro-Life dan Pro-Choice

Photo by Michał Parzuchowski on Unsplash

Secara medis, aborsi menurut David A.G. dan Stuart Gretchen (2010), merupakan pengeluaran kandungan secara prematur sebelum usia janin mencapai 20 minggu. Dengan kata lain tindakan aborsi adalah tindakan yang dilakukan seorang perempuan dengan bantuan tenaga medis, obat, atau lainnya dengan tujuan untuk memberhentikan proses pembentukan bayi dengan cara mengugurkan janin yang ada didalam kandungan sebelum usia kehamilan telah tua. Keguguran dengan keluarnya embrio atau fetus tidak semata-mata terjadi karena secara alamiah, akan tetapi dilakukan dengan sengaja atau terjadi karena adanya campur tangan (provokasi) manusia.

            Sedangkan abortus menurut American College of Obstetricians and Gynecologist (2017) didefinisikan sebagai keluarnya produk konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan, yakni pada usia kehamilan 13 minggu.Abortus juga sering disebut keguguran atau early pregnancy loss. Penyebab abortus sendiri belum diketahui secara pasti, namun diduga berkaitan dengan kelainan kromosom janin, sehingga menyebabkan terganggunya perkembangan plasenta pada bayi.

Pengertian dan Jenis-jenis Aborsi dan Abortus

Aborsi dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yaitu:

a.     Aborsi langsung adalah tindakan pengguguran yang tujuannya secara langsung dilakukan untuk membunuh janin yang ada di dalam rahim sang ibu.

b.     Aborsi tak langsung adalah tindakan yang mengakibatkan pengguguran, meskipun aborsi sendiri bukan menjadi tujuan dalam tindakan itu. Misalnya: seorang ibu yang sedang mengandung dan memiliki penyakit yang membuat kondisi sang ibu mengkhawatirkan. Oleh karena itu janin yang ada di dalam rahim harus diangkat dan ikut mati.

Abortus juga dibedakan menjadi 2 bentuk, yaitu:

a.     Abortus spontan adalah tindakan aborsi yang terjadi secara alamiah baik tanpa sebab tertentu maupun karena adanya sebab tertentu. Misalnya: aborsi yang terjadi akibat adanya kecelakaan, kelainan kromosom, kelainan rahim, kelainan hormon, dan kasus lainnya. Dalam kasus ini biasanya kasus aborsi sering kali dimaafkan, sehingga tidak ada konsekuensi dalam hukum.

b.     Abortus provokatus adalah aborsi yang disengaja baik dengan menggunakan obat-obatan maupun alat-alatan. Sehingga abortus provokatus merupakan suatu proses pengakhiran hidup janin sebelum janin tersebut diberi kesempatan untuk bertumbuh. Abortus provokatus sendiri dapat dibagi kedalam dua macam, yaitu aborsi abortus provokatus medicanalis, aborsi yang dilakukan oleh dokter atas indikasi medis, dan abortus provokatus kriminalis, aborsi yang terjadi oleh tindakan ilegal atau tidak berdasarkan indikasi medis, contohnya adalah kehamilan tidak diinginkan.

Perdebatan mengenai aborsi dan abortus legal atau tidak secara hukum telah membentuk polarisasi dari perbedaan pandangan terhadap pembelaan hak hidup janin (pro-life) atau pembelaan terhadap kepentingan perempuan yang mengandung (pro-choice). Selanjutnya akan dibahas lebih dalam mengenai pelaku dan resiko mengenai tindakan aborsi, serta argumen dari kelompok pro-life dan pro-choice.

Pelaku Aborsi

Tindakan aborsi yang diambil seorang perempuan yang sedang mengandung memang tidak terlepas dari norma agama, sosial, dan kebijakan pemerintah. Untuk kasus remaja pelaku aborsi, faktor gaya hidup serta pengetahuan tentang kesehatan reproduksi menjadi faktor yang paling utama dalam terjadinya kehamilan tidak diinginkan. Saat remaja mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, baik karena pergaulan bebas atau pemerkosaan akan mengalami tekanan secara psikologis yang begitu besar dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Dengan demikian, aborsi yang dilakukan tanpa indikasi medis menjadi satu-satunya pilihan bagi remaja yang mengalami kehamilan di luar pernikahan.

Berdasarkan deputi II bidang kesetaraan gender, Yusuf Supiandi mengenai umur wanita yang melakukan aborsi yakni 51% berusia 20-29 tahun, 15% berusia di bawah 20 tahun. Meskipun secara tegas telah dinyatakan dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23/1952, pasal 15, ayat 2D, bahwa aborsi hanya dapat dilakukan oleh sebuah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan memadai untuk melakukan tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah, akan tetapi nyatanya banyak kasus aborsi dilakukan di rumah sakit dan klinik tertentu yang tidak memiliki izin praktik untuk melakukan tindakan aborsi. Aborsi juga sering kali dilakukan di rumah-rumah keluarga dan dilakukan oleh tenaga tradisional atau dukun, bahkan terkadang menggunakan berbagai macam cara seperti memasukan benda-benda tertentu ke perut, minum jamu, dan memijat perut.

Resiko Melakukan Aborsi

Di samping permasalahan kesehatan dan hukum yang berlaku, aborsi yang dilakukan dengan sengaja berkaitan dengan masalah psikologi. Secara mental, perempuan yang memilih untuk melakukan aborsi apapun alasannya, sedang mengalami kegalauan, rasa tidak percaya diri, kekhawatiran yang berlebih, atau bahkan perasaan bersalah dan penyesalan. Gangguan ini juga disebut Pasca Abortion Syndrome.

Harus diketahui oleh setiap wanita dari dampak melakukan aborsi terlepas dari prosedur “aman” dan “tidak aman” adalah aborsi yang dilakukan wanita di bawah usia 20 tahun, 100% akan mempunyai resiko medis dibandingkan dengan usia 25-29 tahun, komplikasi medis berupa robekan uterus, pendarahan hebat, emboli, infeksi, kejang, luka rahim, shok, dan lainnya. Diantaranya 2% memerlukan perawatan seumur hidup serta percobaan bunuh diri meningkat. Dari hasil survei paska aborsi, ditemukan 28% mencoba untuk melakukan bunuh diri, 60% menyatakan bahwa aborsi membuat hidupnya lebih buruk, 94% menyesal dengan keputusannya.

Dalam hal ini kita dapat terlibat untuk menolong mereka yang menderita melalui beberapa bantuan. Pertama, sadarkan dan ajak mereka untuk mengakui bahwa mereka mengambil bagian dalam melakukan pembunuhan terhadap bayinya. Kedua, ajak mereka untuk meminta pengampunan terhadap apa yang telah dilakukan. Ketiga, memaafkan pelaku aborsi dengan mendengarkan penjelasan atau alasan mereka melakukan aborsi. Keempat, mintalah mereka untuk mulai belajar mengampuni diri sendiri agar mencapai kedamaian batin. Sementara, mereka yang berada di sekitar pelaku aborsi harus menunjukan rasa kesetiakawanan, mendukung, dan memahami mereka.

Argumen Pro-Kontra Praktik Aborsi

            Perdebatan mengenai tindakan aborsi berkisar pada dua kelompok, yaitu kelompok pro-life dan kelompok pro-choice. Kelompok pro-life mengklaim bahwa kehidupan dimulai pada saat konsepsi dan pemutusan kehidupan manusia yang tidak berdosa atau disebut juga tindakan aborsi secara langsung adalah salah. Mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump (2016) juga menyatakan bahwa perempuan yang melakukan tindakan aborsi seharusnya mendapatkan hukuman, jika kebijakan aborsi dibuat menjadi ilegal. Ditambah aktivis pro-life juga menyatakan bahwa kelompok feminis telah membujuk perempuan untuk menyangkal kebenaran mendasar tentang kehidupan janin. Sehingga para aktivis pro-life mengubah diri mereka sebagai kelompok pelindung perempuan dan menyuarakan hak-hak perempuan sejati.

Berbeda dengan kelompok pro-choice yang mengklaim bahwa titik awal personhood adalah pada masa kehamilan sembilan bulan, sehingga perempuan yang sedang mengandung memiliki kontrol penuh atas janin yang sedang dikandungnya. Amnesty Internasional (2022), salah satu organisasi internasional kemanusiaan menyatakan bahwa mencegah perempuan untuk melakukan aborsi tidak akan mengurangi jumlah tindakan aborsi, sebaliknya akan membuat perempuan melakukan aborsi dengan cara yang tidak aman. Akses untuk layanan aborsi yang aman adalah hak asasi manusia. Di bawah hukum hak asasi manusia internasional, setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak untuk bebas dari kekerasan, diskriminasi, dan penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Amnesty Internasional juga menyatakan bahwa setiap orang harus bebas menjalankan otonomi tubuh mereka dan membuat keputusan sendiri tentang kehidupan reproduksi mereka termasuk kapan dan apakah mereka memiliki anak.

Kesimpulan

Stereotipe atau bahkan pengasingan terhadap remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan telah mengancam ketahanan fisik dan psikis perempuan, sehingga membuat aborsi sebagai satu-satunya pilihan. Sesuai dengan klaim kelompok pro-life bahwa kehidupan dimulai pada saat konsepsi dan tindakan aborsi secara langsung selalu salah, maka dalam hal ini janin dalam hal ini adalah kelompok rentan yang tidak dapat mempertahankan eksistensinya. Tetapi penghormatan kehidupan untuk perempuan yang mengandung juga harus menjadi pertimbangan karena keduanya antara ibu dan anak sama-sama memiliki hak untuk hidup dan mendapatkan jaminan atas haknya. Sehingga persoalan kehamilan, khususnya kehamilan yang tidak diinginkan bukan menjadi tanggung jawab perempuan saja.

Melalui jalur pemberian edukasi masif mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksi memang harus dilakukan agar dapat mengurangi angka kehamilan yang tidak diinginkan. Sehingga dapat mengurangi angka aborsi dan lebih jauh dapat menurunkan angka kematian ibu dan anak dalam proses persalinan. Demi penghormatan hak hidup bagi perempuan dan anak.

Referensi

Amnesty International. (2022). Key Facts on Abortion. Amnesty.org; Amnesty International. https://www.amnesty.org/en/what-we-do/sexual-and-reproductive-rights/abortion-facts/

Batubara, S. A., Cindy, C., Hutagalung, W. S., & Siahaan, J. S. P. (2020). Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Abortus Provocatus Menurut Uu Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jurnal Darma Agung28(3), 402-418.

CB. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi, (Jakarta: Grasindo, 2002), Hal. 45- 47

Grimes, D. A., & Stuart, G. (2010). Abortion jabberwocky: the need for better terminology, Contraception, 81(2),  93-96,  https://doi.org/10.1016/j.contraception.2009.09.005‌

Holland, J. L. (2016). Abolishing Abortion: The History of the Pro-Life Movement in America | The American Historian. Oah.org. https://www.oah.org/tah/issues/2016/november/abolishing-abortion-the-history-of-the-pro-life-movement-in-america/

Stöppler, Melissa Conrad. “16 Early Signs & Symptoms of Pregnancy: Could You Be Pregnant?” EmedicineHealth, 31 Mar. 2022,

Suryono Ekotama, D., & Widiartana, G. (2001). Abortus provokatus bagi korban perkosaan: perspektif viktimologi, kriminologi dan hukum pidana.

The American College of Obstetricians and Gynecologists. Clinical Management Guideline for Obstetrician and Gynecologist: Early Pregnancy Loss. Practice Bulletin, 2017. 150:1-10

Wijayati, M. (2015). Aborsi akibat kehamilan yang tak diinginkan (ktd): Kontestasi Antara Pro-Live dan Pro-Choice. ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman15(1), 43-62.

William Chang, Bioetika, (Yogyakarta: Kanisius), Hal. 40

Penulis: Ignatia Reyna

Editor: Desy Putri R.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *