Apa Definisi Cantik Menurutmu?
Apa, sih arti cantik yang sebenarnya? Apakah harus memiliki tubuh langsing dan kulit putih? Atau, harus memiliki rambut lurus dan panjang untuk dapat dikatakan cantik?
Standar kecantikan rasanya selalu dipertanyakan dan diperdebatkan oleh banyak orang di seluruh dunia, salah satunya di media sosial. Kecantikan tentunya memiliki arti dan makna yang berbeda sesuai dengan pandangan masing-masing individu. Semua perempuan berhak memiliki definisi kecantikannya sendiri, yang berarti cantik seharusnya bersifat relatif dan subjektif. Namun sayangnya, ada standar kecantikan tertentu yang menjadi patokan untuk mendapat pengakuan dan label “cantik” dari masyarakat.
Kriteria kecantikan senantiasa berubah dari masa ke masa. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, kecantikan yang seringkali ditampilkan oleh media cenderung memiliki kriteria yang sama, yaitu berupa tubuh yang langsing, tinggi, kulit putih dan mulus tanpa jerawat, rambut lurus, dan hidung mancung. Adanya standarisasi tersebut menyebabkan kelompok-kelompok tertentu menjadi termarjinalkan karena tidak memenuhi standar yang dibentuk oleh media.
Revolusi Industri dan Standar Kecantikan
Sebelum terjadinya Revolusi Industri, perempuan tidak memiliki pandangan yang sama atau sejenis mengenai kecantikan. Revolusi Industri tidak hanya menjadi lahirnya dunia modern, tetapi juga awal mula munculnya standar kecantikan dalam masyarakat. Perempuan terus-menerus membandingkan dirinya dengan penggambaran fisik ideal yang disebarkan oleh media massa (Wolf, 2002:14). Hal itu bermula dari berkembangnya teknologi yang mampu memproduksi penggambaran mengenai bagaimana perempuan seharusnya terlihat seperti yang ada dalam media sosial, iklan, atau film. Jadi, perempuan sudah mulai dikendalikan dengan stereotip dan ide (mitos) akan kecantikan sejak lahirnya Revolusi Industri (Wolf, 2002:15).
Hidupnya Standar Kecantikan di Kampus
Pandangan masyarakat terhadap konsep cantik salah satunya adalah akibat dari terpaan yang diciptakan oleh media, baik media cetak, media elektronik, maupun media sosial yang berlangsung secara terus-menerus. Salah satu platform media sosial terbesar yang ikut mengonstruksi kecantikan perempuan adalah Instagram. Tak terhitung jumlah akun-akun yang berisi sekumpulan foto perempuan, di mana akun tersebut menggunakan kata “cantik” sebagai username. Akun tersebut didominasi oleh akun-akun kampus yang membawa nama perguruan tinggi dengan embel-embel “cantik”. Fenomena akun “kampus cantik” dapat ditemukan dengan banyak nama perguruan tinggi.
Foto yang diunggah oleh akun kampus cantik menampilkan kemolekan tubuh dan wajah mahasiswi yang menuntut ilmu di kampus tersebut. Foto mahasiswi yang diunggah terlihat memiliki elemen-elemen konstruksi kecantikan yang sama, seperti memiliki kulit putih dan mulus, rambut panjang—tidak semua (sebagian ada yang menggunakan jilbab, sebagian berambut pendek), penampilan yang feminim, tubuh langsing yang cenderung kurus. Hal tersebut yang akhirnya membentuk paradigma standar kecantikan di kampus. Selain itu, standar kecantikan di kampus mengakibatkan adanya anggapan bahwa mahasiswi yang dianggap rupawan cenderung lebih mudah mendapat perhatian dan urusannya akan dipermudah oleh dosen serta kakak tingkat. Penilaian kecantikan terhadap perempuan dalam hierarki vertikal didasari dari standar fisik. Hal itu adalah wujud dari relasi kuasa di mana perempuan harus bersaing secara tidak wajar.
Tidak hanya mengenai akun “kampus cantik”. Saat ini, Universitas Brawijaya (UB) sedang menjadi sorotan publik karena ramai diperbincangkan oleh warganet mengenai persyaratannya pada penerimaan mahasiswi baru. Perkaranya adalah syarat berpenampilan menarik sebagai kriteria penerimaan mahasiswa. Syarat ini disodorkan ke peserta Seleksi Mandiri Program Studi D3 Keuangan Perbankan dengan bidang minat Perbankan.
Syarat ini ternyata benar adanya dan telah dikonfirmasi oleh Sekretaris Direktorat Administrasi dan Layanan Akademik UB, Heri Prawoto Widodo. “Sebenarnya ini adalah informasi yang tiap tahun selalu ada dan khusus di D3 Perbankan. Itu saja sebagai tambahan syaratnya,” ujar Heri dilansir melalui Kompas. Heri juga menjelaskan bahwa kriteria ini bisa muncul karena kampus mengacu pada permintaan pihak perbankan yang bermitra dengan UB. “Itu dari pihak bank mitra karena mereka yang memenuhi syarat akan direkrut oleh pihak bank. Biasanya, kalau tidak pandemi akan dicek langsung oleh pihak mereka (bank).” Menurut kampus, syarat ini wajar karena sesuai dengan permintaan atau kebutuhan bank. Pada kenyataannya, tidak semua perempuan mampu memenuhi kriteria kecantikan yang dipatok pada standar tertentu yang bersifat eksklusif dan diskriminatif.
Dampak dari Hidupnya Standar Kecantikan di Kampus
Paradigma standar kecantikan di kampus membawa pengaruh yang baik sekaligus buruk bagi mahasiswa. Pengaruh baik hanya terletak pada beberapa hal, yaitu mahasiswa lebih sadar akan kebersihan dan kerapian diri sendiri serta dapat meningkatkan rasa percaya diri. Namun, pengaruh buruk tampaknya lebih mendominasi. Standar kecantikan kerap menjadi “racun” yang mengakibatkan perempuan mudah merasa rendah diri, serta merasa adanya tuntutan untuk mengikuti dan mencapai standar kecantikan itu. Mirisnya, beberapa di antara mereka akhirnya menghalalkan segala cara untuk memenuhi standar kecantikan itu, tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi, serta kesehatan fisik atau mental.
Dari segi privasi, akun “kampus cantik” dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran privasi, karena seringkali pengelola akun tersebut mengunggah foto tanpa seizin pemiliknya, bahkan menjadikannya sebagai ladang penghasilan untuk memperkaya diri sendiri. Foto atau identitas pribadi yang diunggah pun rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akun “kampus cantik” memanfaatkan fenomena objektifikasi terhadap perempuan yang menjadikan mereka sebagai komoditas belaka yang dapat dinikmati oleh laki-laki setiap saat. Akun “kampus cantik” juga rawan menjadi lapak terjadinya kekerasan berbasis gender secara siber (KBGS), karena tidak jarang komentar yang muncul dalam unggahan-unggahannya bersifat melecehkan. Mahasiswi yang fotonya diunggah oleh akun “kampus cantik” pun kerap menerima pesan yang kurang pantas dan mengganggu kenyamanan dari orang-orang asing.
Bagaimana Cara Menghadapi Dampak Negatif Standar Kecantikan?
Sebagaimana manusia, perempuan memiliki perbedaan yang dianggap sebagai keberagaman yang harus dihargai. Perempuan seharusnya tidak dipaksa menerima konsep kesamaan sehingga mereka yang dianggap berbeda atau tidak sesuai dengan tatanan simbolik seolah-olah dianggap bukan perempuan yang seutuhnya. Setiap orang dari kelompok mana pun bebas mengekspresikan kecantikan tanpa menggunakan formulasi dari kelompok dominan tertentu. Pada dasarnya, tidak ada definisi khusus, aturan, dan referensi yang absolut dari sebuah kecantikan. Itu hanya bagian dari selera individu atau suatu kelompok saja dan akan berubah sesuai selera tiap manusia. Berikut ini ada beberapa tips untuk menghadapi standar kecantikan “beracun”, di antaranya :
- Percaya diri
Kecantikan itu haruslah ditemukan dalam diri kita terlebih dahulu. Dengan demikian, orang-orang pun dapat melihat kecantikan yang ada dalam diri kita. Kecantikan itu dapat dipancarkan jika kita dapat menemukan kepercayaan diri. Tidak perlu membandingkan diri sendiri dengan apa yang kita lihat di sosial media, dan yang terpenting adalah kita harus memiliki rasa cinta terhadap diri sendiri.
- Memiliki lingkungan yang suportif
Apabila kita memiliki lingkungan yang tidak mendukung, maka kita akan sulit untuk mengatasi ketidakpercayaan diri. Maka dari itu, memiliki orang-orang yang suportif di sekeliling kita sangatlah diperlukan. Lingkungan yang suportif bisa membuat kamu lebih percaya diri dan bahagia. Oleh karena itu, kita harus mulai menanamkan pola pikir yang positif dalam diri kita sehingga kita dapat menjadi lingkungan yang suportif bagi orang lain karena perubahan dapat dimulai dari diri sendiri.
- Meningkatkan kualitas diri
Tidak perlu menyesuaikan diri dengan standar masyarakat. Tak dipungkiri bahwa beauty privilege memang ada. Namun, akan lebih baik apabila kita dapat meningkatkan kemampuan diri di bidang yang sesuai dengan minat atau bakat, sehingga kita menjadi pribadi yang lebih berkualitas dan tidak hanya dinilai dari penampilan saja.
Akhir kata, daripada kita terus-menerus menaruh perhatian pada akun-akun “kampus cantik” yang pada akhirnya hanya akan menumbuhkan obsesi berlebihan untuk mengikuti standar kecantikan tertentu, lebih baik kita menyimak akun-akun media sosial lainnya yang lebih bermanfaat, yang memberdayakan perempuan, menjadi wadah bicara perempuan, serta memberi apresiasi kepada perempuan berdasarkan prestasinya.
You go, girl! Semua perempuan itu berhak cantik!
Referensi:
Christanti, Ovy Nita dan Raditya, Ardhie. 2013. Konstruksi “Perempuan Cantik” di Kalangan Siswi SMAN 1 Sooko Mojokerto. Jurnal paradigma, 1(3): 1-7. Diakses pada 13 Juli 2022.
Salamon. 2013. Instagram, Ketika Foto Menjadi Mediator Komunikasi Lintas Budaya Di Dunia Maya. Diakses pada 13 Juli 2022, dari https://reprository.petra.ac.id/16642
Hashmi, L. 2018. Students should redefine beauty standards – The Cougar. The Daily Cougar. Diakses pada 14 Juli 2022, dari http://thedailycougar.com/2018/11/07/redefine-beauty-standards/