Ancaman Non-Consensual Intimate Images (NCII): Ketahui Istilah dan Dampaknya

Sumber gambar: https://vancouver.citynews.ca/2021/02/15/manitoba-rcmp-tweet-revenge-porn/

Perkembangan dunia teknologi yang semakin maju nyatanya menyimpan banyak ancaman bagi penggunanya. Keterjangkauan yang mudah membuat perempuan tidak luput menjadi target ancaman berupa kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi dan internet. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah mengategorisasi bentuk Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) atau Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online (KBGO). Berdasarkan UU TPKS, dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i, terdapat tiga bentuk perbuatan yang tergolong KSBE/KBGO sebagaimana tercantum dalam pasal 14 ayat (1) huruf (a) melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; (b) mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau (c) melakukan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual. 

Berdasarkan UU tersebut, segala sesuatu yang diambil baik berupa foto atau rekaman video tanpa persetujuan dan memuat sesuatu yang berbau seksual kemudian menyebarluaskan maka termasuk dalam bentuk kekerasan seksual, begitu pun dengan penguntitan di media sosial dengan tujuan seksual. Namun, adanya payung hukum tersebut tidak lantas mampu menekan angka kejadian kasus kekerasan seksual khususnya dalam dunia digital. 

Salah satu hal yang masih menjadi masalah global dan ancaman bagi perempuan adalah Non-Consensual Intimate Images (NCII). Berdasarkan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia serta data dari SAFEnet, Indonesia adalah negara dengan persentase cukup tinggi terkait kasus NCII. Menurut catatan Komnas Perempuan dalam Data Catatan Tahunan (CATAHU) 2022 menunjukkan laporan kasus KBGO menempati posisi tertinggi dalam pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, yakni mencakup 69% dari total kasus. Masih banyak awam yang belum mengetahui terkait NCII Kemudian, apakah NCII itu? 

Istilah kata

Istilah Non-Consensual Intimate Images (NCII) merujuk pada pengambilan atau penyebarluasan konten yang sifatnya sensitif. NCII merupakan tindakan menyebarluaskan gambar atau video sensitif secara non-konsensual tanpa memperhatikan motif balas dendam. 

Pelaku dan Tujuan

Dalam kasus NCII pelaku bisa saja seseorang yang dikenal atau bahkan orang asing bagi korban. Jika pelaku adalah orang yang dikenal, biasanya adalah mantan pasangan korban, pelaku menyebarluaskan konten dengan maksud membuat dan menjatuhkan nama baik salah satu pihak sebagai konsekuensi akibat menyakiti pelaku, misalnya dalam kasus putus cinta, pelaku yang tidak terima merasa perlu melakukan balas dendam. Pelaku bahkan mencoba memanipulasi dan menyalahkan korban (victim blaming), seolah-olah ia telah melakukan kesalahan yang pantas dihukum dengan ancaman dan penyebaran konten seksual.

Sementara pelaku NCII juga bisa saja seseorang yang tidak dikenal korban, misalnya pada kasus seorang laki-laki yang mengambil gambar atau video perempuan yang diambil secara ilegal di angkutan umum kemudian menyebarluaskannya. NCII tidak selalu melibatkan motif balas dendam, pelaku biasanya memanfaatkan konten intim dengan tujuan mengontrol dan mengintimidasi korban agar menuruti kemauan pelaku. Bahkan sering kali dikomersialisasikan agar pelaku mendapatkan keuntungan (sextortion). Keuntungan yang didapat pelaku pada kasus pemerasan seksual atau sextortion bisa dalam bentuk materi berupa uang atau terlibat seks secara langsung dengan korban melalui paksaan yang membuat korban kehilangan otoritas atas tubuh dan seksualnya.

Menurut laporan situasi hak digital, berdasarkan relasinya dengan korban, pelaku KBGO paling banyak adalah yang memiliki relasi personal, seperti pasangan (pacar/suami/istri), mantan (pacar/suami/istri), kenalan (teman, berjumpa secara online, dikenalkan orang lain), atau anggota keluarga. Sementara itu, berdasarkan CATAHU pada tahun 2022, jumlah kasus KBGO di ranah personal tercatat mencapai sejumlah 821 kasus yang didominasi kekerasan seksual dan terbanyak dilakukan oleh mantan pacar sebanyak 549 kasus dan pacar 230 kasus. Hal ini menjadi peringatan kepada kita semua bahwa relasi yang terdekat malah menjadi ancaman terbesar dalam kasus KBGO. Terkadang karena pelaku adalah orang terdekat membuat korban semakin sulit untuk melapor sehingga perdamaian biasanya menjadi alternatif terbaik. Tentu ini menambah kekhawatiran dalam diri korban.   

Sama seperti kekerasan seksual yang terjadi di dunia nyata, dampaknya dapat dirasakan secara langsung dan berjangka panjang pada korban, mengingat kecepatan transmisi dan distribusi dokumen elektronik yang tak terkendali sehingga membuat korban mengalami trauma. Rentetan panjang dampak fisik, psikis, maupun sosial juga harus ditanggung korban. Korban yang materi pornografinya telah tersebar luas di internet dan identitasnya diketahui alih-alih dilindungi, tetapi dicemooh, diberhentikan dari pekerjaan, dan sering kali mendapatkan sanksi sosial berupa penolakan dari masyarakat (cancel culture) karena dianggap telah melanggar norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini akan memberatkan korban baik secara fisik maupun psikologis, apalagi dokumen elektronik yang telah luas beredar akan tersimpan dalam waktu yang lama. Reputasi dan harga diri korban menjadi ternodai, hilangnya kepercayaan diri, dan bahkan dapat memicu keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau sampai pada tindakan mengakhiri hidup.

Adanya peraturan perundang-undangan belum sepenuhnya mengakomodir peristiwa-peristiwa KBGO. Regulasi yang belum berorientasi pada korban dan seringkali bermasalah pada saat penegakan hukumnya. Lemahnya sistem hukum yang tidak pro-korban juga membuat pelaku tidak takut dalam melakukan aksinya. Kemajuan pengetahuan tentang teknologi digital tidak sejalan dengan pengetahuan dan literasi yang masih terbatas pada pengguna media sosial. Tidak hanya literasi digital yang rendah, melainkan adanya aksesibilitas internet yang tidak terbatas, kelalaian pengguna internet, payung hukum yang belum maksimal, dan lemahnya kontrol sosial menjadikan para pelaku cybercrime masih melakukan aksinya. Untuk menghindari ini diperlukan literasi digital, pemahaman bahwa dunia digital tidak seperti dunia nyata, di mana dalam dunia digital setiap informasi yang diunggah baik dalam bentuk identitas pribadi, foto, tulisan akan tersimpan hingga waktu yang lama dan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Batasan informasi atau akses terhadap informasi pribadi juga perlu mendapatkan perhatian dan sebaiknya tidak sembarangan menyebarkan informasi pribadi kepada siapapun dan dalam bentuk apa pun. 

Referensi:

Faizah, A. F & Hariri, M. R. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Revenge Porn Sebagai Bentuk Kekerasan Berbasis Gender Online Ditinjau dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Jurnal Hukum Lex Generalis, 3(7): 520-541.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2023). Kekerasan Terhadap Perempuan Di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Pelindungan dan Pemulihan Catatan (Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2022). Jakarta: Komnas Perempuan.

Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2021. (2022). Pandemi Memang Terkendali Tapi Represi Digital Terus Berlanjut. Denpasar: SAFEnet.

Pemerintah Indonesia. (2022). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6792. 

Penulis : Raodah Tul Ikhsan

Editor : Desy Putri R.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *