Benarkah Fashion Alat Untuk Menggaungkan Kesetaraan?

Penulis: Hasri Ainun

Editor: Febi Fidhiyanti

Fesyen dan feminisme

Fesyen atau fashion acapkali diasosiasikan dengan feminisme. Fesyen dan feminisme memiliki sejarah yang panjang, keduanya terus saling mempengaruhi. Sepanjang sejarah, hubungan antara feminisme dan penggunaan fesyen sebagai alat untuk menciptakan perubahan sosial sudah sangat kompleks. Dimana fesyen bukan sekedar ekspresi estetika, melainkan sebuah pernyataan sikap. Tidak heran, fesyen digunakan sebagai bagian dari gerakan perempuan di abad ke-19 dan ke-20.

Pada saat itu, feminis Barat menggunakan fesyen untuk menentang limitasi sosial yang berkaitan dengan kesetaraan gender. Sebagaimana struktur patriarki yang kaku menghalangi perempuan untuk mencari kebebasan. Hal tersebut juga termanifestasi dalam gaya pakaian perempuan yang kental dengan feminitas. Selama pertengahan abad ke-19, mayoritas wanita menggunakan gaun yang berat dan tidak praktis. Gaun dengan korset yang ketat dan rok berat menjadi item fesyen yang identik dikenakan oleh perempuan di Barat. Hal ini dipengaruhi oleh konstruksi sosial atas objektifikasi perempuan yang didikte untuk menggunakan pakaian yang terlihat indah.

Keresahan perempuan akan realitas sosial berupa ketidaksetaraan ini kemudian mendorong semangat reformasi dalam fesyen. Tidak heran, gaya berpakaian arus utama saat itu menyiksa tubuh dan membatasi ruang gerak perempuan. Keyakinan bahwa perempuan juga memiliki otonomi untuk menentukan pilihan hidupnya, termasuk pada pakaian yang dikenakan. Lebih jauh, keinginan untuk mendobrak peran gender tradisional menuju kesetaraan, dapat dimulai dengan reformasi pakaian. Peran perempuan di ruang publik seyogyanya didukung dengan pakaian yang memungkinkan mobilitas lebih bebas.

Secara historis, fesyen mengalami evolusi yang tidak terlepas dari perjuangan perempuan dalam mendapatkan kesetaraan melalui reformasi fesyen. Jika sebelumnya perempuan dituntut untuk menggunakan gaun dengan korset ketat dan rok yang berat, Amelia Bloomer mempopulerkan penggunaan celana sebagai alternatif yang memudahkan perempuan tentunya. Dalam hal ini, celana sebagai item fesyen dimanfaatkan sebagai fashion statement untuk memperjuangkan kesetaraan gender.

Aksi Bloomer didukung oleh sejumlah keterlibatannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan kemudian memantik gerakan reformasi pakaian melalui “Bloomer Dress”. Pakaian yang lebih mudah diatur, praktis, dan ramping menjadi alternatif bagi perempuan untuk lebih aktif terlibat dalam aktivitas sehari-hari. Kebebasan ini dianggap sebagai katalis dalam fenomena perempuan menentang aliran fesyen arus utama dan mengeksplor gaya baru dalam berpakaian. 

Fesyen sebagai bagian dari gerakan feminis

Dari masa ke masa, fesyen telah digunakan sebagai alat untuk menggaungkan kesetaran gender. Dimana dalam sejumlah gerakan sosial, fashion statement menjadi bagian yang krusial dalam emansipasi. Selain digunakan sebagai bentuk ekspresi diri, alat untuk mengkomunikasikan nilai dan visi, fesyen juga menyiratkan solidaritas politik. Fesyen telah berjalan beriringan dengan gerakan feminis selama beberapa dekade. Keinginan perempuan untuk bergerak lebih bebas dan nyaman seiring dengan menuntut adanya kesetaraan diutarakan melalui sederet gerakan sosial.

Sumber: TIME

Salah satu gerakan perempuan yang menggunakan fesyen sebagai ekspresi simbolis dalam gerakan adalah protes yang terjadi di Amerika Serikat pada dekade 1960-an dan 1970-an.  Protes ini berkembang dari keinginan akan adanya kesetaraan. Rasa frustasi yang muncul atas maraknya diskriminasi dan objektifikasi akan perempuan membakar semangat para feminis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. “Gerakan pembebasan perempuan” ini digunakan fesyen sebagai ekspresi simbolis untuk melucuti pakaian berbau hiper-feminim seperti bra dan sepatu hak tinggi. Tujuan awalnya adalah untuk keluar dari fesyen yang didikte oleh budaya patriarkis, dengan revolusi menuju kesetaraan dan kebebasan berekspresi bagi perempuan.

Dalam gerakan ini, fesyen digunakan sebagai taktik visual sentral untuk menciptakan kohesi antara para pengunjuk rasa. Sehingga gerakan menjadi lebih efektif dan menciptakan ekspresi simbolis serta pemberontakan terhadap tradisi, standar, dan aturan dalam masyarakat.

Para pengunjuk rasa membuang barang-barang hiper-feminim mereka seperti sepatu hak tinggi, tas tangan, pakaian dalam, hairspray, dan lipstik ke dalam tempat sampah yang disediakan khusus. Aksi ini melambangkan ketidaksetujuan dengan sistem patriarki dan harapan sosial untuk perempuan ke depannya. Dengan melucuti pakaian berbau hiper-feminim, mereka percaya bahwa akan lebih memungkinkan bagi perempuan untuk hidup lebih bebas di masyarakat. Dengan menekankan pada independensi dan otonomi perempuan dalam membuat keputusan. 

Keberhasilan gerakan ini dalam menentang tradisi patriarkis telah mengubah corak fesyen perempuan. Gerakan ini memberikan perempuan keberanian untuk lebih bebas mengekspresikan diri dan memberi otonomi terhadap independensi perempuan. Lebih dari itu, gerakan ini berfokus pada kesetaraan gender dengan melawan diskriminasi upah, pendidikan, dan pekerjaan. Sederhananya, bagaimana perempuan dapat menjadi setara dengan laki-laki, seperti bekerja dan menempuh pendidikan, jika pakaian yang dikenakan justru menghalangi ruang gerak perempuan?

Tidak diragukan lagi, fesyen memiliki kekuatan performatif karena pakaian adalah elemen dari identitas seseorang. Fesyen dapat menjadi katalis bagi gerakan feminis dan melambangkan kebutuhan akan perubahan sosial. Oleh karena itu, fesyen seringkali digunakan sebagai alat untuk menggaungkan kesetaraan. Dimana kesetaraan gender diperoleh melalui sejumlah kemenangan reformis yang memberi perempuan kapabilitas untuk menentukan pilihan. Emansipasi perempuan salah satunya dapat dilihat melalui rekam jejak fesyen selama beberapa abad terakhir dan relasi timbal baliknya dengan feminisme. Tidak hanya sekedar kebutuhan primer dan estetika, fesyen berperan lebih dari itu dalam menggaungkan masyarakat yang egaliter. 

 “I believe feminism is grounded in supporting the choices of women even if we wouldn’t make certain choices for ourselves.” – Roxane Gay

Referensi

Azeez, A. (2016, Agustus 21). Can Fashion And Feminism Go Hand In Hand? Retrieved from Feminism in India: https://feminisminindia.com/2016/08/21/fashion-and-feminism-compatible/#:~:text=Yes!,very%20feminist%20in%20its%20approach.

Evans, C. (2019, November 13). Fashion is a feminist issue – archive, 1989. Retrieved from The Guardian: https://www.theguardian.com/fashion/2019/nov/13/fashion-is-a-feminist-issue-archive-1989

Pennington, S. (2021, Maret 8). Feminist Fashion: How Clothes Helped Fuel A Movement. Retrieved from YUGEN: https://www.weareyugen.com/blogs/stories/feminist-fashion

Ziege, N. (2019). The Importance of Clothing in 1960s Protest Movements. Retrieved from Western Kentucky University: https://digitalcommons.wku.edu/stu_hon_theses/773

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *