
Keluarga merupakan tempat pertama untuk dijadikan pondasi serta tempat belajar bagi anak dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang dianut dalam sebuah keluarga akan membentuk dan mempengaruhi perilaku anak. Sebagaimana penelitian milik Salahuddin dalam (Fitria,2016) mengungkapkan bahwa menurut pandangan behaviorisme, yang mana sifat-sifat manusia tidak ada yang turun temurun. Melainkan hasil dari konstruksi menurut kebiasaan-kebiasaan yang dibangun dalam sebuah lingkungan. Pada hal ini, bagaimana perlakuan orang tua dalam menanamkan nilai pada anak. Nilai yang diajarkan orang tua pada anak dapat terlihat pada pola asuh yang diterapkan. Yang mana, pola asuh setiap keluarga tentu berbeda satu sama lain. Lantas bagaimana kecenderungan pola asuh yang ada?
Bias Gender dalam Pola Asuh
Berdasarkan beberapa literatur menyebutkan bahwa pola asuh yang ada di Indonesia masih bias gender. Melihat data dari Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini milik Sofiani, dkk (2020) terdapat bias gender dalam pengasuhan anak sebesar 65,31%. Bias gender itu sendiri diartikan sebagai kecenderungan terhadap jenis kelamin tertentu yang mengakibatkan ketidakadilan gender (Khusen, 2014). Bias gender dalam pola asuh terlihat bagaimana cara pandang orang tua terhadap anak perempuan dan laki-laki. Stereotip gender kerap terlihat dalam pola pengasuhan. Adanya label-label tertentu yang memang dilekatkan pada anak sehingga menjadi sebuah keyakinan. Menurut hasil penelitian milik Sofiani, dkk (2020) orang tua memandang anak perempuan sebagai sosok yang lembut, penurut, ramah, jarang bertengkar, manja. Sedangkan anak laki-laki dianggap sosok yang aktif, lebih kuat, percaya diri, pembangkang, dan egois. Cara mengasuh anak perempuan lebih ke arah feminin dengan memberikan alat bermain seperti masak-masakan, boneka dan rumah-rumahan. Berbeda dengan anak laki-laki dengan pola asuh yang menerapkan konsep maskulinitas. Contohnya dengan memberikan alat bermain seperti mobil-mobilan, robot dan bola. Tidak hanya itu, ada pula stereotip warna yang dilekatkan. Pada pemilihan pakaian anak laki-laki akan didominasi oleh warna biru sedangkan anak perempuan berwarna merah muda. Orang tua kerap melarang anak perempuan untuk keluar rumah dengan dalih melindungi karena perempuan rentan akan tindak kejahatan. Perlakuan berbeda tampak pada anak laki-laki di mana mereka dianggap dapat menjaga dirinya sendiri sehingga lebih bebas. Bahkan menurut penelitian milik Fitria (2016) menjelaskan bahwa kebebasan yang diberikan kepada anak laki-laki cenderung membentuk egosentrisme yang berdampak pada sikap individualis pada laki-laki. Bagaimana dampak lainnya jika bias gender dipertahankan dalam pola asuh?
Dampak Bias Gender dalam Pola Asuh
Bias gender bukanlah barang baru dalam masyarakat Indonesia. Kondisi tersebut telah mengakar kuat di dalam masyarakat kita. Tentu hal itu tidak terlepas dari budaya patriarki yang telah menjamur. Budaya patriarki terus dilegalkan hingga di masa modern saat ini. Hingga tanpa disadari ajaran tersebut melahirkan relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki diajarkan untuk menjadi sosok yang kuat karena akan menjadi pemimpin sedangkan perempuan harus bersikap lemah lembut. Maka ketika anak laki-laki menangis akan dianggap lemah hal tersebut menyebabkan munculnya toxic masculinity. Anak laki-laki pada etika pergaulan sosial yang berhubungan dengan loyalitas kelompok dan nilai-nilai maskulinitas mengedepankan kekuatan fisik dan persaingan. Sedangkan perempuan ditekankan pada norma kesopanan dan susila serta kepantasan dalam bergaul. Lantas bagaimana dengan anak laki-laki yang menerapkan sikap feminin dan perempuan yang menerapkan sikap maskulin. Hal tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai suatu hal yang menyimpang. Sebab adanya pemahaman yang bersifat paten ditanamkan pada anak. Anak-anak tidak mengenal apa itu gender, mereka hanya mampu membedakan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Menurut Laura Davis dan Janis Keyser dalam bukunya yang berjudul “Becoming The Parent You Want to Be” dikutip dalam parenting.co menyebutkan bahwa anak-anak akan membedakan bagaimana laki-laki dan perempuan berdasarkan stereotip gender yang ada di lingkungannya. Sehingga hal tersebut akan membentuk persepsi pada anak-anak mengenai bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan perempuan. Menurut Davis yang dikuitp dalam parenting.co.id menyebutkan bahwa stereotip gender pada anak akan membuat anak terfokus pada “mana yang seharusnya mereka” dan “mana yang bukan mereka”.
Maka dari itu perlu adanya keseimbangan pemahaman antara konsep maskulin dan feminin pada pola asuh. Sebab apabila stereotip gender yang ditanamkan pada anak tetap dipertahankan akan berdampak pada terbatasnya seorang anak untuk mengekspresikan diri. Mengutip dari Sofia, dkk (2020) dampak lain yang dapat muncul jika bias gender tetap dipertahankan adalah adanya kecemburuan dalam diri anak sehingga mereka akan membanding-bandingkan dirinya dengan saudaranya, kurangnya rasa percaya diri, iri hati, gangguan emosi, anak dapat menjadi sosok yang memberontak dan pembangkang, serta gangguan perilaku. Dampak lain yang mungkin muncul antara lain membatasi pilihan anak, membatasi kreativitas dan imajinasi anak, menghambat tumbuh kembang anak, anak tidak dapat memahami emosinya, membatasi cita-cita anak, serta anak dapat menjadi bahan olok-olok yang berujung pada bullying jika anak berperilaku tidak sesuai dengan norma yang telah dibangun.
Netral Gender dapat Menjadi Solusi
Istilah netral gender atau Gender Neutral Parenting memang menjadi salah satu istilah yang pro kontra di dalam masyarakat. Ibcwe.id menyebutkan bahwa istilah netral gender memiliki maksud untuk menghindari norma gender yang berlaku secara umum bukan untuk menghapus perbedaan jenis kelamin. Pola asuh netral gender merupakan pemahaman di mana orang tua membesarkan anak mereka tanpa memaksakan norma-norma gender yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu pengasuhan netral gender muncul bukan untuk “menetralkan” jenis kelamin anak melainkan memberikan kesempatan bagi anak untuk menemukan identitas mereka. Pengasuhan netral gender merupakan hak yang baru dan terbatas. Masih terbatasnya penelitian terkait dampak netral gender terhadap tumbuh kembang anak dalam jangka panjang. Pola pengasuhan ini bagi anak mungkin dapat menjadi sebuah petualangan untuk penemuan jati diri. Namun bagi beberapa anak hal itu juga dapat menjadi hal yang membingungkan sebab adanya ketidakpastian. Maka dari itu orang tua perlu mengenal anak dan mendengarkan alih-alih memaksakan ideologi kepada anak.
Referensi:
Fitria, N. (2016). Pola Asuh Orang Tua Dalam Mendidik Anak Usia Prasekolah Ditinjau Dari Aspek Budaya Lampung . Jurnal Fokus Konseling, Volume 2 No. 2, Hlm. 99-115.
Indonesia Bussiness Coalition for Women Empowerment. (2020). Pola Asuh Netral Gender Mendorong Anak untuk Menggali Semua Minat, Karir, dan Hobi yang Diinginkan. https://www.ibcwe.id/event/dets/184#:~:text=Jadi%2C%20pola%20asuh%20yang%20netral,hal%20apa%20yang%20mereka%20suka. (Diakses Senin, 3 Juli 2023)
Khusen, Maulana. (2014). Bias Gender dalam Buku Pelajaran Bahasa Arab untuk Tingkat Madrasah Tsanawiyah Karya Darsono dan T. Ibrahim. Skripsi. Jurusan Tarbiyah, STAIN Purwokerto
LTF. Stop Tularkan Stereotip Gender kepada Anak. Parenting.co: https://www.parenting.co.id/usia-sekolah/stop-tularkan-stereotip-gender-kepada-anak. (Diakses Senin, 3 Juli 2023)
Savage, M. (2022). Netral Gender pada Pola Asuh. BBC: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cydqn615925o.amp (Diakses Senin, 3 Juli 2023)
Sofiani, I.K., Sumarni, T., Mufaro’ah. (2020). Bias Gender dalam Pola Asuh Orang Tua pada Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 4 No 2, Hlm. 766-777.
Penulis : Okamaisya Sugiyanto
Editor : Desy Putri R.