
Blame the woman syndrome mungkin masih menjadi istilah yang asing bagi masyarakat. Namun nyatanya tanpa disadari ia telah lama menyebar bahkan mengakar di kehidupan sehari-hari, terutama di lingkungan yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki.
Lalu, apa sebenarnya sindrom blame the woman itu?
Dilansir dari Washington Post, sindrom blame the woman dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk menyalahkan wanita atas setiap hal buruk yang terjadi. Sebagai contoh, dalam beberapa kasus yang pernah menjadi buah bibir pada beberapa waktu yang lalu, wanita dianggap memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi pria agar melakukan tindak kekerasan tertentu untuk membelanya. Kemudian masyarakat berbondong-bondong langsung menyalahkan pihak wanita sebagai dalang tunggal seolah-olah si pria tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri. Kemudian di lain kasus, jika terjadi pelecehan seksual terhadap wanita yang pertama kali dipertanyakan adalah pakaian seperti apa yang ia kenakan, seolah-olah kejadian itu terjadi karena ia sendiri yang memprovokasinya. Ketika perselingkuhan terjadi antara pria yang sudah memiliki pasangan dan seorang wanita, wanita itu dilabeli sebagai perebut. Di sisi lain pasangan dari si pria ikut disalahkan karena dianggap tidak mampu menjaga pasangannya, seolah-olah pria itu adalah objek yang pasif. Lalu di lain kesempatan, jika seorang anak mengalami masalah kesehatan, yang pertama kali dipertanyakan adalah bagaimana pola asuh ibunya, bahkan tidak jarang masyarakat langsung melabeli wanita itu sebagai ibu yang tidak becus. Terlepas dari benar atau tidaknya peran wanita dalam kasus-kasus tersebut dan banyak kasus lainnya di luar sana, kecenderungan untuk menyalahkan wanita dengan cepat atas kejadian buruk yang terjadi agaknya telah menjadi “budaya” yang mengakar di masyarakat.
Apa yang menyebabkan sindrom blame the woman muncul dan terus bertahan?
Masih mengakarnya budaya patriarki, kalimat yang mungkin mulai terdengar klise karena hampir selalu dijadikan penyebab utama dari adanya ketidakadilan bagi kaum wanita. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa budaya patriarki memang masih menjadi momok dan aktor utama dari berbagai ketidakadilan itu. Budaya patriarki memupuk ketimpangan gender, membentuk stereotip bahwa wanita di bawah pria, dan selanjutnya mulai merambah ke berbagai aspek kehidupan yang lain, termasuk menjadi salah satu akar penyebab munculnya kecenderungan untuk menyalahkan wanita dengan mudah atas banyak hal.
Ketika suatu masalah terjadi, masyarakat membutuhkan objek untuk melampiaskan kekesalan, kemarahan, atau perasaan tidak nyaman yang mereka miliki. Ketika masalah tersebut berhubungan dengan wanita, baik secara langsung maupun tidak, maka ia menjadi sasaran empuk untuk pelampiasan tersebut. Hal ini dikarenakan masih maraknya anggapan yang memandang kedudukan wanita lebih rendah dibanding pria dan wanita dipandang hanya sebagai objek yang dapat dipergunakan sesuai kebutuhan.
Selain itu, sistem patriarki ini juga memunculkan berbagai tuntutan masyarakat terhadap seorang wanita yang kemudian menghasilkan standar semu yang harus dipenuhi agar wanita dianggap “berhasil” dalam perannya. Misalnya ketika menjadi pasangan atau seorang ibu, wanita dianggap sudah menjadi ibu atau pasangan yang baik jika telah memenuhi standar baik menurut masyarakat. Jika terjadi masalah, maka wanita yang disalahkan karena tidak menjadi pasangan atau ibu yang baik. Padahal standar baik dan buruk yang dipakai saja tidak jelas asalnya.
Sindrom blame the women pada praktik selanjutnya juga memunculkan penilaian ganda terhadap posisi wanita. Di satu sisi wanita sering dianggap sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya. Namun di sisi lain ketika terjadi suatu masalah, wanita juga tak jarang disalahkan karena dianggap tidak menggunakan power-nya untuk mencegah hal itu terjadi. Misalnya saja pada kasus pelecehan seksual yang telah disebutkan sebelumnya. Masih ada pihak yang menganggap bahwa boys will be boys, mereka memang ditakdirkan memiliki sifat nakal. Oleh karena itu seharusnya wanita lebih mampu menjaga dirinya, pakaiannya, dan tingkah lakunya agar tidak mendorong pria untuk melecehkan mereka. Menurut Dr. Jessica Taylor, penulis buku Why Women are Blamed for Everything, perilaku menyalahkan wanita atas kejadian buruk yang menimpanya merupakan sebuah sikap yang justru menunjukkan kelemahan masyarakat itu sendiri. Dengan mempertanyakan bagaimana pakaian korban saat itu, bagaimana sikap mereka, apa yang sedang mereka lakukan saat hal buruk itu terjadi, masyarakat sebenarnya sedang mencari cara untuk merasa aman. Ketika mereka telah mengetahui kondisi korban secara rinci, mereka akan merasa aman dari kejadian serupa asalkan tidak memakai pakaian atau tidak memiliki karakteristik seperti korban. Jika sudah demikian, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat dari seorang perempuan? Wanita dianggap sebagai kaum yang lemah sekaligus dianggap memiliki kekuatan untuk mengendalikan keadaan.
Sayangnya sindrom ini bukan hanya dimiliki oleh pria, namun juga wanita. Tidak heran jika sering terjadi seorang wanita mengkritik wanita lain dalam suatu kasus. Adanya sindrom ini akan mendorong wanita untuk berusaha selalu menjadi “sempurna” dan lebih memilih diam atas tindakan buruk yang menimpanya hanya karena takut menjadi pihak yang disalahkan. Jika hal ini terus-menerus berlanjut, maka tidak akan ada lagi wanita yang berani membela dan memperjuangkan dirinya sendiri dan pada akhirnya sistem patriarki semakin menguat, posisi wanita semakin melemah, hingga tidak ada lagi ruang untuk saling menyalahkan antarsesama wanita karena mereka sama-sama merasakan berada dalam posisi terancam.
Referensi:
Evans R. 2020. Why Do We Always Blame Women-Even When They’re Murdered? [Online] Available at: https://graziadaily.co.uk/life/in-the-news/blame-women-headlines-jessica-taylor/
Gupta R. 2021. Why Does Society Find It Easier To Blame Women Than Men? [Online] Available at: https://www.shethepeople.tv/top-stories/opinion/indian-society-blames-women/
Washington Post. 1994. Blame-The Woman-Syndrome. [Online] Available at: https://www.washingtonpost.com/archive/lifestyle/wellness/1994/12/06/blame-the-woman-syndrome/50095e32-280a-441f-94d4-60c7c73eb11a/
Penulis: Lailatussyifah Nasution
Editor: Desy Putri R.