Mungkin banyak yang masih awam dengan istilah Intimate Partner Violence (IPV) sehingga muncul banyak pertanyaan seperti apa sih yang dimaksud dengan IPV? Berbedakah dengan kekerasan dalam rumah tangga? Oke, kita jelaskan disini yaa…Sebenarnya istilah IPV merupakan ekstensi dari istilah yang sering kita dengar yaitu kekerasan dalam rumah karena dalam pengertiannya memiliki ranah yang lebih luas dari sekedar ‘dalam rumah tangga’. IPV lebih menggambarkan keberagaman hubungan intim, namun tidak terbatas pada kekerasan antara pasangan, pasangan yang tinggal bersama, pasangan yang bercerai, dan individu dalam berbagai hubungan kencan yang targetnya pada umumnya adalah perempuan. Bagaimanapun bentuknya, tindakan tersebut tetap harus dilakukan dengan maksud yang merugikan secara fisik atau psikologis jika ingin dianggap sebagai IPV.

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 oleh Komnas Perempuan terdapat peningkatan IPV sebesar 4% dari tahun 2019. Sekiranya 69% (4.530 kasus) tercatat pada tahun 2020 yang menduduki peringkat atas pada kategori kekerasan ranah pribadi. Salah satu penyebab peningkatan tersebut adalah dengan munculnya pandemi COVID-19. Lalu, apa faktornya? Pada dasarnya terdapat beberapa faktor munculnya IPV, diantaranya faktor moral absolutisme yaitu seseorang yang merasa paling benar dan karena kurangnya keterampilan berkomunikasi yang baik, berpotensi melakukan kekerasan dengan memojokkan atau menyalahkan pasangannya karena tidak dapat mentolerir perbedaan jika terjadi konflik. Bahayanya, jika tidak dapat terkontrol, hal tersebut dapat berujung pada kekerasan fisik atau psikis pada pasangannya. Namun, dengan munculnya pandemi COVID-19, faktor situasional seperti kondisi ekonomi dan pekerjaan dapat meningkatkan potensi IPV terjadi. Probabilitasnya adalah tingkatan stres yang dialami laki-laki dapat memicu terjadinya kekerasan pada perempuan dalam hubungan tersebut. Sebagai contoh adalah dengan pemberlakuan kebijakan Work From Home (WFH). Semakin banyaknya waktu di rumah yang berpotensi menguatkan budaya patriarki dengan menempatkan perempuan sebagai pengurus urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Ditambah dengan kebijakan penutupan sekolah justru semakin berpotensi memperburuk beban mereka karena fokus pekerjaan terbagi ke anak. Sementara, ketidakstabilan finansial akibat pemutusan hubungan kerja membuat banyak pekerja laki-laki mengalami krisis maskulinitas. Sebagai perempuan yang tidak bekerja mungkin akan mengalami perubahan secara drastis karena juga harus turun tangan dalam mencari uang tambahan dengan tujuan untuk menstabilkan kondisi finansial keluarga. Namun dengan adanya tekanan dari laki-laki dapat menyebabkan terjadinya konflik yang memicu IPV.
Selain itu, platform digital juga berperan sebagai faktor terjadinya IPV dikarenakan dengan adanya pendekatan digitalisasi di masa pandemi ini, kerap terjadinya kekerasan secara online. Bahayanya, sering sekali perempuan tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban karena mudahnya melakukan manipulasi secara tidak langsung. Seperti contohnya adalah kekerasan seksual dalam bentuk pencabulan dan kekerasan berbasis gender di mana sebagian besar pelakunya adalah pacar sendiri atau mantan pacar.
Perlu diketahui bahwa efek dari IPV dapat memengaruhi kesehatan dalam banyak hal. Semakin lama tindakan tersebut, akan semakin serius juga akibatnya. Tidak sedikit perempuan yang memiliki luka memar atau luka yang lebih serius seperti ketidakmampuan dalam jangka panjang yang bahkan luka fisik tersebut dapat menyebabkan suatu ‘domino
effect’ terhadap kesehatan psikisnya. Contohnya seperti kehilangan rasa percaya diri, trauma untuk dapat percaya pada orang lain apalagi menjalin hubungan. Rasa marah dan stres yang dialami oleh para korban mungkin dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada pola makan dan depresi, dan jika tidak terawasi dapat berakibat fatal seperti melakukan tindakan bunuh diri.
Walaupun selama pandemi ini terdapat peningkatan kasus IPV bukan berarti seluruh perempuan telah melaporkan kasusnya pada pihak yang berwenang. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya intimidasi dari pasangan atau bahkan ketidaktahuan mereka soal mekanisme pelaporan yang menghambat para perempuan ini untuk menceritakan penderitaan mereka. Maka dari itu penting banget untuk mengetahui langkah-langkah preventif sampai dengan tahap pelaporan jika terjadi IPV nih WEI fellas. Berikut caranya:
- Ketahuilah masalahnya
Umumnya ada beberapa tanda peringatan yang mungkin ditunjukkan oleh pelaku kekerasan dalam suatu hubungan:
- Kecemburuan yang berlebihan
- Memanipulasi (membuat kamu yang bersalah, menginstruksi berbuat sesuatu di luar norma)
- Mencegah bersosialisasi
- Mengancam
- Mengintimidasi
- Mendokumentasikan kejadian
Sebisa mungkin menulis setiap kejadian karena dengan menulis, seluruh ingatan dapat tercatat. Hal ini penting dilakukan karena jika ingatan itu terus menumpuk untuk sekian lama dapat berpotensi untuk melupakan detail yang dapat menjadi suatu pembuktian.
- Mempelajari tanda isyarat IPV
- Menceritakan kepada orang terdekat
Memang masalah pribadi terkadang tidak harus dibicarakan secara terbuka tetapi jika terjadi kekerasan sebaiknya jangan bungkam. Namun, ada baiknya jika kita meluapkan emosi kita kepada seseorang yang kita percaya karena dengan bercerita akan meringankan beban dan juga sekaligus membantu memberikan saran atau melaporkan pihak berwenang.
- Menghubungi pihak berwenang
Hal ini dapat dijadikan langkah awal maupun opsi terakhir jika memang kekerasan berlangsung semakin parah sehingga kamu tidak berdaya dalam mengatasinya secara baik-baik. Ada baiknya jika segera meminta pertolongan dengan menghubungi Komnas Perempuan atau lembaga terkait seperti Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan.
Pesan penting: para perempuan harus tetap berhati-hati dengan lingkungan sekitar karena orang terdekat kita pun dapat menjadi pelaku IPV. Selanjutnya mencari tahu dengan banyak membaca dan bertanya tentang IPV selain menambah pengetahuan juga bisa dijadikan sebagai langkah preventif IPV itu sendiri terjadi lho, karena dengan ini kita juga bisa memberi tahu teman atau keluarga untuk meningkatkan kesadaran akan indikasi penting IPV.
Penulis: Indira Maya
Editor: Rahajeng Galuh I.K.
Referensi:
- Acevedo, B. P., Lowe, S. R., Griffin, K. W., & Botvin, G. J. (2013). Predictors of Intimate Partner Violence in a Sample of Multiethnic Urban Young Adults. Journal of Interpersonal Violence, 28(15), 3004–3022. https://doi.org/10.1177/0886260513488684
- Daoud, N., Sergienko, R., & Shoham-Vardi, I. (2017). Intimate Partner Violence Prevalence, Recurrence, Types, and Risk Factors Among Arab, and Jewish Immigrant and Nonimmigrant Women of Childbearing Age in Israel. Journal of Interpersonal Violence, 1–28. https://doi.org/10.1177/0886260517705665
- Febri. (2022, Maret 12). Apakah ANDA Mengalami KDRT? Tunjukkan Isyarat Tangan Ini untuk Mendapat Pertolongan! theAsianparent: Situs Parenting Terbaik di Indonesia. https://id.theasianparent.com/isyarat-tangan-kdrt
- Kposowa, A. J., & Aly Ezzat, D. (2019). Religiosity,Conservatism, and Acceptability of Anti-Female Spousal Violence in Egypt. Journal of Interpersonal Violence, 34(12), 2525–2550. https://doi.org/10.1177/0886260516660976
- Lucu, A. (2022, Maret 12). Kesehatan perempuan-kekerasan Oleh Pasangan. Milis Sehat. https://milissehatyop.org/kesehatan-perempuan-kekerasan-oleh-pasangan/
- Prishastika, A. R. (2022, Maret 12). Kekerasan dalam Rumah Tangga Semakin Meningkat pada masa Pandemi COVID-19. kumparan. https://kumparan.com/alfinrizki-prishastika/kekerasan-dalam-rumah-tangga-semakin-meningkat-pada-masa-pandemi-covid-19-1xJlBXoMCVI/3