
Perkembangan dunia digital pada masa kini telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, kehidupan manusia tidak mungkin terpengaruh oleh proses digitalisasi yang di sebabkan oleh teknologi yang berkembang pesat. Salah satu nya yaitu banyak masyarakat di sekitar kita menggunakan media sosial untuk mencari informasi terkini dan juga berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar nya.
Akan tetapi, masih banyak pengguna internet yang menggunakan media sosial dengan perilaku menyimpang. Sehingga, banyak pengguna internet yang terpapar oleh informasi yang berdampak negatif.
Berbicara hal negatif di dunia maya, pasti nya tidak akan lepas dari kejahatan yang terjadi di media sosial. Kejahatan di media sosial yang masih minim disadari dan di lumrahkan di masyarakat yaitu salah satu nya kekerasan seksual di media sosial atau di kenal dengan cybersexism.
Cybersexism adalah perilaku seksis, melecehkan, mempermalukan, menindas, mengucilkan para perempuan yang terjadi di dunia maya. 58% perempuan muda mengaku bahwa pernah mendapatkan pelecehan di dunia maya 50%. Pelecehan seksual di media sosial sering kali kerap terjadi di bandingkan dengan pelecehan seksual di jalanan.
Menurut Richard dan Couchot-Schiex peneliti dari Université de Paris-Est Créteil, mengatakan bahwa cybersexism dapat mencakup kekerasan seksual di dunia maya, seksis, berbau seksual, dan merendahkan suatu gender. Korban dari cybersexism tidak hanya perempuan saja, tetapi laki-laki pun kerap menjadi korban cybersexism.
Para pelaku cybersexism seringkali mengirimkan kata-kata, gambar, atau kekerasan simbolik yang mengandung kebencian dengan latar belakang rasis atau seksis. Perilaku ini muncul dikarenakan pelaku yang mengadopsi perilaku patriarki dalam setiap aspek. Maka dari itu sebagian besar menganggap perilaku cybersixism adalah hal lumrah.
Di Indonesia sendiri cybersexism merupakan salah satu Kekerasan Berbasis Gender Online. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan bahwa cybersexism meningkat ketika masa COVID-19 melanda di Indonesia.
Selain itu, cybersexism disebabkan oleh implementasi struktur sosial dan struktur aktivitas reproduktif yang timpang gender, cenderung memberikan ruang dan kuasa sosial kepada laki-laki.
Celaka nya, hal ini di anggap lumrah oleh publik. Akibat nya, dunia akan selalu mengistimewakan perilaku patriarki. Tentu saja hal ini tidak tidak bisa kita biarkan.
Menurut laporan UN Broadband Commission for Digital Development Working Group on Broadband and Gender mengatakan bahwa perempuan dan anak-anak perempuan menjadi bukti nyata bahwa mereka seringkali menjadi target perilaku cybersexism.
Laurie Penny seorang feminis dan juga Jurnalis asal Inggris ini mengatakan bahwa “tidak ada ruang yang aman dan menjamin kebebasan bagi perempuan, termasuk internet sekalipun”
Berdasarkan hasil laporan nya, Penny mengatakan bahwa sebagian besar cybersexism adalah cyber harrassment, revenge porn atau pengiriman konten pornografi sebagai balas dendam, ancaman pemerkosaan, kekerasan seksual, bahkan pembunuhan. Pelaku umum nya adalah pasangan atau mantan pasangan, teman kerja, teman sekolah, bahkan bisa menjadi anonim yang tidak dapat dikenali.
Tidak hanya rasa malu, korban cybersexism merasa terbatasi untuk berekspresi di dunia digital dan terbungkam akibat ancaman-ancaman tersebut. Akibatnya, kekerasan di dunia maya bisa menimbulkan trauma yang berat bagi para korban.
Perilaku cybersexism ini terkait erat dengan budaya patriarki yang masih mengakar di sekitar kita dan sebagian besar adalah pengguna di internet. Patriarki ini telah menjadi surveillance bagi seluruh umat manusia beribu tahun lalu dan sekarang ia menempati ruang baru yang mestinya memberi kebebasan kepada siapa saja.
Cybersexism adalah salah satu contoh bentuk yang mendominasi patriarki. Perilaku ini mampu menyebar dan berubah-ubah bentuk nya. Siklus perilaku cybersexism berlangsung bolak balik yaitu di dunia nyata dan di dunia maya karena internet bukan lah ruang yang terpisah dari dunia nyata.
Hal-hal yang terjadi di internet secara tidak langsung adalah sebuah refleksi relasi yang terjalin di dunia nyata. Salah satu nya sikap cybersexism yang merupakan hasil perilaku kultur budaya patriarki di dunia nyata.
Internet secara tidak langsung menjadi wahana transmisi norma sosial yang menunjukan dominasi dan stereotip feminitas dan maskulinitas. Hal itu yang menyebabkan banyak perilaku seksisme di internet sebanyak kita menemukan perilaku seksisme di dunia nyata.
Oleh karena itu, upaya yang bisa kita lakukan untuk melawan cybersexism yaitu dengan tidak menyebarkan kembali meme-meme seksis yang beredar di media sosial.
Jangan ragu untuk melaporkan orang-orang yang membuat mu merasa tidak nyaman seperti memblock akun-akun dan melaporkan pelaku. Paling tidak kamu membatasi mereka untuk menghubungi mu atau akun-akun baru yang mereka buat nanti nya.
Jika kamu mendapatkan teman baru di media sosial, apalagi berkaitan dengan profesi yang kamu jalani saat ini. Sebaik nya, kamu tidak memberikan informasi-informasi penting yang berkaitan dengan identitas mu seperti nomor telepon atau e-mail pribadi.
Jangan ragu untuk mencari pertolongan professional jika kamu atau orang yang kamu merasa tidak aman. Para korban cybersexism sering kali merasa diri nya tidak aman karena di hantui oleh rasa takut oleh ancaman-ancaman dari pelaku. Tidak ada salah nya untuk berkonsultasi dengan psikolog apabila terjadi dalam waktu yang cukup lama.
Referensi
Maulana, M. F. (2022, Juli 6). Mengenal cyber sexism: masih rentannya perempuan menjadi korban pelecehan di dunia maya. Retrieved from https://theconversation.com/mengenal-cyber-sexism-masih-rentannya-perempuan-menjadi-korban-pelecehan-di-dunia-maya-185298.
Pennie, L. (2010). Cyber Violance Against Women and Girls. UNESCO, 1-70.
Richard , G., & Schiex , S. C. (2020). Cybersexism: How Gender and Sexuality Are at Play in Cyberspace. Gender, Sexuality, and Race in Digital Age, 17-30.
Penulis: Maytsa Thifal Qonita
Editor: Desy Putri R.