Denormalisasi Male Entitlement, Ciptakan Kesetaraan di Bumi Pertiwi

Sumber: https://www.lonelygirlphenomenology.co.uk/male-entitlement-a-discussion-into-privilege

Hingga kini, disparitas gender yang terdapat dalam dinamika sosial masyarakat masih merupakan polemik yang kita alami sehari-hari. Ketidaksetaraan yang menciptakan diskriminasi gender pun umumnya dirasakan oleh perempuan akibat adanya anggapan bahwa sosok perempuan cenderung inferior baik secara fisik maupun kedudukannya dalam dunia sosial (Shastri, 2014). Pasalnya, ketidaksetaraan yang dirasakan oleh kelompok marjinal merupakan hal yang dirasakan di berbagai macam sektor, seperti sosial, pendidikan, pekerjaan, dan masih banyak lagi. Salah satu dari banyak alasan terciptanya ketidaksetaraan gender adalah keberadaan konsep male entitlement yang masih dinormalisasi dan terjustifikasi. 

Male entitlement merupakan pandangan bahwa sejatinya seorang laki-laki harus memimpin, berada dalam kedudukan dominan, dan harus menunjukkan maskulinitasnya agar diterima di tengah masyarakat. Masih berkaitan dengan konsep maskulinitas, male entitlement juga seringkali ditafsirkan sebagai ‘hak’ yang dimiliki laki-laki untuk melestarikan otoritas partriarkinya (Bouffard, 2010). Penjelasan lain terkait male entitlement juga seringkali dikorelasikan sebagai privilege yang dimiliki laki-laki (McIntosh, 1946), seperti bagaimana laki-laki memiliki akses yang lebih mudah dalam memperoleh pendidikan maupun pekerjaan, dipandang lebih tinggi dalam jajaran keluarga, serta perlakuan-perlakuan istimewa lainnya yang terus kali diberikan walaupun merugikan atau bahkan mengambil hak orang lain. 

Secara ekstrem, terdapat suatu polemik serius yang tumbuh akibat eksistensi male entitlement adalah bagaimana konsepsi ini terkadang menjustifikasi perilaku diskriminatif hingga berujung kekerasan yang dilakukan oleh para laki-laki. Salah satunya adalah honour killing. Dailey et al (2016) mendeskripsikan honour killing sebagai tindakan pembunuhan, yang seringkali korbannya adalah perempuan atau seorang anak perempuan oleh anggota keluarga laki-laki, berlandaskan kehormatan keluarga atau prestige. Dalam kondisi struktural masyarakat patriarki, aktivitas perempuan dipantau secara ketat dan dianggap merupakan tanggung jawab kerabat laki-lakinya. Hal ini menyebabkan bila seorang perempuan dalam keluarga melakukan kesalahan, seperti menolak untuk dijodohkan dan dituduh melakukan tindakan “amoral”, akan menjadi sasaran pembunuhan karena dianggap mencemari nama baik keluarga (Dailey, 2016). 

Tingkat terjadinya honour killing juga tidak mengalami penurunan dan kerap mencapai angka  mengkhawatirkan apalagi di beberapa negara Asia. Di Indonesia sendiri kasus tercatat yang dikategorisasikan sebagai honour killing pada negeri ini terjadi pada tahun 2020, ketika gadis berusia 16 tahun dibunuh oleh keluarganya sendiri setelah diketahui sedang berpacaran (Hunt, 2010). Selain kasus yang terjadi pada gadis tersebut, sebenarnya ada banyak kasus-kasus pembunuhan atas dasar kehormatan lainnya yang terjadi utamanya di daerah-daerah pelosok. Bahkan, di beberapa daerah tertentu pada seluruh penjuru dunia, fenomena honour killing telah dinormalisasi oleh masyarakat setempat. Tindakan kriminal dengan alibi kehormatan ini juga dilandasi oleh akar kultural yang tertanam di masyarakat. Stereotip yang menempatkan posisi perempuan inferior dari laki-laki juga menitikberatkan konsep kehormatan pada perempuan. Hingga, di beberapa kebudayaan sekali pun, perempuan masih kerap dianggap sebagai possession laki-laki dan laki-laki memiliki kontrol sepenuhnya untuk mengatur kehidupan perempuan.

Dalam konteks modern, prevalensi male entitlement juga kian memberi input negatif bagi banyak aspek kehidupan. Contohnya saja, dalam suatu hubungan, terdapat beberapa kasus ketika pihak laki-laki melakukan hal semena-mena pada pasangannya dengan justifikasi atas posisinya sebagai pihak yang lebih dominan. Pihak laki-laki yang bersangkutan dapat saja memaksa pasangannya untuk menuruti kemauannya karena ia merasa itu adalah “hak”nya sebagai laki-laki untuk dipatuhi. Contoh lain ada saat perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama, seperti dalam bidang pendidikan maupun pekerjaan, karena laki-laki dianggap lebih memiliki status yang pantas untuk menduduki posisi tersebut karena jenis kelamin mereka seperti posisi pemimpin yang identik dengan laki-laki. Secara umum, dapat dikatakan bahwa male entitlement telah terserap pada sistem struktural sosial kita tanpa kita sadari dan membayang-bayangi detail-detail kecil pada kehidupan kita.

Adanya male privilege juga terkadang membatasi ruang bicara bagi para perempuan (Shastri, 2014). Perempuan dikonseptualisasikan sebagai figur pengikut yang bergerak menuruti perintah laki-laki. Perempuan yang sedari awal tidak diberi kesempatan dalam berpendapat, diiringi dengan pandangan publik yang mengakomodasi berkembangnya konsep male entitlement menyebabkan jatuhnya para perempuan dengan posisi marjinal ke jurang patriarki. Bukannya perempuan tidak ingin melawan dan menolak, tetapi minimnya resources dan aksesibilitas mereka untuk berbicara saja tidak mumpuni dari awal. 

Tidak hanya bagi perempuan, keberlanjutan konsep male entitlement juga sebenarnya merugikan laki-laki. Berkat adanya tekanan sosial yang beranggapan bahwa laki-laki harus bisa memegang kontrol dengan segala sarana yang dimilikinya, toxic-masculinity juga kerap menghantui laki-laki. Kadang kala, laki-laki akan dicap bergaya feminim bila melakukan hal-hal yang sebenarnya sangat lumrah seperti menggunakan skincare. Laki-laki yang tidak menerapkan “gaya hidup maskulin” secara penuh juga diremehkan. Tentunya adanya pandangan ini secara tidak langsung merestriksi tiap individu untuk mengekspresikan dirinya sendiri meskipun menjadi diri sendiri seharusnya adalah hak yang patut diperoleh setiap orang. 

Sampai kapan masyarakat menormalisasi eksistensi male entitlement yang jelas-jelas memberikan ruang bagi para oknum-oknum tertentu menyalahgunakan  “hak laki-laki”? Untuk menciptakan ruang kesetaraan yang mampu menciptakan inklusivitas tiap individu, anggapan bahwa terdapat suatu gender yang lebih superior tentunya harus ditinggalkan. Setiap individu, tentunya berhak untuk memiliki kesempatan yang sama dalam bersosialisasi dan mengekspresikan dirinya. 

Referensi

Bouffard, L.A., 2010. Exploring the utility of entitlement in understanding sexual aggression. Journal of Criminal Justice, 38(5), hlm.870–879.

Dailey, J. Douglas and Singh, . Raghu N. 2016. honor killing. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/honor-killing

Hunt, L. (2020). Indonesia Records Its First Honor Killing. [online] Thediplomat.com. Tersedia dalam: https://thediplomat.com/2020/06/indonesia-records-its-first-honor-killing/ [Diakses pada 19 Feb. 2023]

McIntosh, P., 1946. White Privilege and Male Privilege: A Personal Account of Coming to See Correspondences.Shastri, A., 2014. Gender inequality and women discrimination. IOSR Journal of Humanities and social science, 19(11), hlm.27–30.

Penulis : Allyana Honosutomo

Editor : Desy Putri R

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *