Eksistensi Akun “Kampus Cantik”: Sebuah Bentuk Pelanggaran Privasi?

Kata “cantik” dan “perempuan” merupakan dua hal yang selalu dikaitkan dalam konstruksi kehidupan masyarakat. Dalam budaya patriarki, pengakuan atas kecantikan menjadi suatu hal yang tak lepas dari diri perempuan. Hal ini juga terjadi dalam lingkungan kampus. Kemunculan akun “kampus cantik” kini bukan hal baru lagi. Akun “kampus cantik” merupakan akun Instagram yang berisi foto-foto mahasiswi yang dianggap menarik dan cantik dari berbagai universitas di Indonesia.

Sumber: pinterest.com

Berkembangnya zaman kini menjadikan Instagram sebagai salah satu platform media sosial yang digandrungi masyarakat Indonesia, terutama generasi muda. Saat ini, hampir semua kampus di Indonesia memiliki akun “kampus cantik” di Instagram. Akun-akun tersebut biasanya memiliki username dengan menggunakan tambahan kata “cantik” setelah nama kampusnya. Mahasiswi yang fotonya diunggah oleh akun “kampus cantik” rata-rata merupakan perempuan yang dianggap mampu mengikuti standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. Mereka tidak hanya berparas cantik, tetapi juga memiliki penampilan feminin, merias wajah serta menggunakan pakaian yang mengikuti tren, memiliki warna kulit cerah, serta bentuk tubuh langsing. Foto-foto para mahasiswi yang ada di akun “kampus cantik” tersebut sontak menjadi konsumsi publik, khususnya para pengikut akun itu sendiri yang kadang jumlahnya bisa mencapai ribuan. 

Lantas, di mana letak permasalahannya?

Eksistensi akun “kampus cantik” sejatinya tak lebih dari sebuah manifestasi budaya patriarki, di mana perempuan dipandang dan ditempatkan sebagai objek belaka yang dapat dinikmati oleh laki-laki. Tak sampai di situ saja, akun “kampus cantik” pun turut berkontribusi dalam melahirkan atau memperkuat standar kecantikan tertentu dalam masyarakat yang seringkali hanya didasarkan pada kriteria yang biner. Mengutip dari ksm.ui.ac.id, meskipun unggahan akun “kampus cantik” dapat menembus berbagai identitas etnis dan ras, tetapi apa yang ditampilkan tetaplah potret perempuan berkulit putih dan bertubuh langsing. Karenanya, pandangan terhadap orang-orang berkulit putih, secara khusus perempuan cantik, yang seringkali berbasis pada racial bias dikhawatirkan akan semakin menguat dengan adanya akun “kampus cantik”. 

Sumber: instagram.com/ugmcantik, Oktober 2021

Privasi mahasiswi yang fotonya diunggah oleh akun “kampus cantik” juga kerap menjadi pertanyaan. Rata-rata akun “kampus cantik” juga menyertakan informasi pribadi mahasiswi yang bersangkutan, seperti nama, asal jurusan/fakultas, dan tahun angkatan. Terdapat sejumlah mahasiswi yang mengaku foto serta informasi pribadi mereka diunggah oleh akun “kampus cantik” tanpa meminta izin terlebih dahulu, atau meminta izin tidak secara detail. Ada pula yang mengaku saat sudah memberikan persetujuan, ia tetap tidak diberikan kebebasan untuk menentukan foto dirinya yang boleh diunggah di akun “kampus cantik”. Dalam kata lain, si pengelola akunlah yang akan memilih dan menentukan foto mana yang ingin diunggah di sana. 

Sumber: instagram.com/ugmcantik, Oktober 2021

Adapun sejumlah kasus di mana si pengelola akun meminta izin hanya sebagai formalitas saja. Mereka menghubungi si pemilik foto untuk meminta izin, tetapi mengunggah fotonya sebelum pihak yang bersangkutan memberikan jawaban. Tanpa disadari, sesungguhnya hal seperti ini sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan siber. Sebab, mengunggah foto serta identitas pribadi seseorang tanpa izin merupakan bentuk pelanggaran privasi. Dari segi etika pun, tindakan ini sangatlah tidak etis dan melanggar norma kesantunan. Pada dasarnya, setiap orang memiliki otoritas penuh atas dirinya sendiri, sesuai dengan kepentingan atau alasan pribadi masing-masing.

Permasalahan selanjutnya ialah perbuatan tidak menyenangkan yang seringkali dialami oleh para mahasiswi yang fotonya dimuat dalam akun “kampus cantik”. Biasanya selain mengunggah foto dan informasi pribadi mahasiswi yang bersangkutan, pengelola akun “kampus cantik” juga menandai atau menyebutkan akun Instagram pribadi mahasiswi tersebut. Karenanya, tak jarang mahasiswi-mahasiswi ini mengalami gangguan privasi dari orang-orang asing yang tidak bertanggung jawab. Bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi korban kekerasan berbasis gender secara siber (KBGS), seperti mendapatkan pesan bernada seksual atau yang bersifat teror dan ancaman, serta bentuk-bentuk KBGS lainnya. Oleh sebab itu, tidak sedikit mahasiswi yang mengalami trauma hingga mengganti username akun pribadi, atau bahkan menghapus akunnya.

Hal inilah yang sayangnya kerap luput dari pertanggungjawaban pengelola akun “kampus cantik”. Bahkan kehadiran komentar-komentar negatif yang mengandung unsur perisakan atau pelecehan dalam unggahan mereka yang menyerang si pemilik foto pun seringkali mereka abaikan. Selain objektifikasi seksual, akun “kampus cantik” seringkali juga menjadi lapak bagi orang-orang tidak bertanggungjawab untuk menghina mahasiswi yang fotonya diunggah di sana, tetapi oleh sebagian orang dianggap tidak sesuai dengan standar kecantikan.

 Sumber: instagram.com/ugmcantik, Oktober 2021

Selain itu, akun “kampus cantik” seringkali memanfaatkan popularitas yang mereka dapatkan dari unggahan-unggahan tersebut untuk melakukan paid promote atau promosi berbayar dengan tarif yang relatif tinggi. Hal ini tidak hanya tidak etis, tetapi juga tidak adil bagi para mahasiswi yang fotonya diunggah oleh akun “kampus cantik”. Di saat mereka harus menghadapi berbagai macam gangguan privasi, perisakan, hingga KBGS oleh orang-orang tidak bertanggungjawab, si pengelola akun “kampus cantik” justru meraup untung. 

Sebenarnya, negara kita telah memiliki aturan mengenai pelanggaran privasi di ranah digital yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang didukung oleh Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016. Kedua regulasi tersebut mengatur mengenai perlindungan data pribadi di ranah digital, termasuk hak gugatan serta hukum pidana bagi yang melanggar. Keberadaan dan aktivitas akun “kampus cantik” jelas telah melanggar perihal perizinan unggah, pemilihan foto yang diunggah (kepemilikan data), pencantuman informasi pribadi, serta penggiringan sesama pengguna Instagram dengan cara menandai akun pemilik foto yang bersangkutan. Sayangnya, proses hukum untuk menindaklanjuti akun “kampus cantik” hingga kini memang belum berjalan, salah satunya dikarenakan fenomena ini cenderung dinormalisasi dan tidak dianggap sebagai masalah yang serius.

Terakhir, hal yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting eksistensi akun “kampus cantik”? Apakah memang akun-akun seperti ini dapat menjadi motivasi bagi perempuan untuk lebih merawat diri? Ataukah hanya menumbuhkan obsesi berlebihan untuk memenuhi standar kecantikan yang ada dan menjadi pusat perhatian? Apakah benar akun “kampus cantik” hanya ingin memberikan apresiasi terhadap mahasiswi-mahasiswi berparas rupawan? Seandainya iya, tampaknya kita perlu mengkaji ulang definisi “apresiasi” yang dipahami dan dianut oleh orang-orang di balik akun “kampus cantik”, agar tidak bertabrakan dengan definisi “eksploitasi” dan “pelecehan”. Lagipula, apabila tindakan apresiasi yang dilakukan justru lebih banyak menimbulkan dampak negatif, seperti pelanggaran privasi, perisakan, dan KBGS, bukankah seharusnya tindakan tersebut dihentikan? 

Pada dasarnya, eksistensi akun “kampus cantik” tak lebih dari sekadar produk budaya patriarki yang mengeksploitasi perempuan dan menjadikan mereka sebagai objek yang bisa dipertontonkan, dinikmati, dan dinilai secara semena-mena. Karenanya, sudah saatnya kita membuka mata bahwa kata “cantik” tidak selamanya berkonotasi sebagai pujian, dan perlu adanya tindakan tegas bagi akun “kampus cantik” maupun bentuk-bentuk objektifikasi perempuan lainnya.

Referensi:

Saputri, M. I. M., & Pinem, M. L. Glorifikasi Kecantikan di Media Sosial: Studi Kasus Isu Eksploitasi Mahasiswi pada Akun Instagram@ ugm. cantik. Journal of Social Development Studies, 3(1).

Catatan:

  • Judul “Eksistensi Akun “Kampus Cantik” sebagai Produk Patriarki: Sebuah Bentuk Pelanggaran Privasi?” kurang efektif. Fokusnya jadi tidak jelas, mau bicara soal eksistensi akun “kampus cantik” sebagai produk patriarki secara umum atau isu pelanggaran privasi? 
  • Hindari keberulangan kata/substansi atau penggunaan kalimat yang kurang efektif untuk mengejar batas minimal kata. 
  • Sistematika penulisan masih kurang runtut. Antara satu paragraf dengan yang lainnya seringkali tidak ada kesinambungan, sehingga terkesan topiknya “melompat-lompat” (dari A ke D lalu ke B, tiba-tiba ke Z, lalu tiba-tiba balik ke B lagi). Saranku coba ke depannya sebelum menulis buat garis besar tulisannya dulu, seperti pembuka, isi, dan penutup. Lalu dari 3 itu dikembangkan lagi: tulisan ini mau dibuka dengan apa? Misalnya, kasus yang lagi trending (yang berkaitan dengan topik yang mau diangkat), baru masuk ke definisi, deskripsi, dll.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *