Emansipasi Perempuan: Bentuk Perjuangan Perempuan Melawan Patriarki Bukan Laki-Laki!

Setiap hari, di berbagai belahan dunia, perempuan selalu dihadapkan dengan permasalahan sosial yang menyebabkan adanya ketidakadilan sosial dan ketidaksetaraan sosial. Perempuan sering dijadikan objek kekerasan, pelecehan, penyiksaan dan perlakuan diskriminatif oleh siapa saja dan di mana saja. Hal tersebut seolah selalu melanggengkan ketertindasan perempuan dan mendukung posisi perempuan sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki.

Namun, sebelum membahas lebih jauh terkait permasalahan sosial yang selalu menempatkan perempuan sebagai objek, kalian perlu tahu dulu nih terkait perbedaan “kesetaraan” dan “keadilan”. Jadi, istilah “kesetaraan” ditujukan kepada keseluruhan aspek yang menyangkut semua bidang, misalnya kesetaraan hak bagi perempuan dan laki-laki dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik dan sebagainya. Sementara istilah “keadilan” lebih ditujukan kepada adanya hambatan-hambatan tertentu yang membedakan antara perempuan dengan laki-laki, misalnya munculnya stereotype tentang aturan jam malam bagi perempuan, di mana laki-laki tidak memiliki peraturan yang demikian. Kemudian, adanya stigma negatif terhadap perempuan yang berprofesi sebagai sopir bus, sopir taxi dan lain sebagainya.

Pada dasarnya, adanya pembedaan-pembedaan profesi yang didasarkan pada gender tersebut dapat dikategorikan sebagai bias gender. Nah, ternyata bias gender ini juga turut berkontribusi menjadi alasan sulitnya kelompok perempuan untuk mendapat pengakuan legal dari masyarakat atas profesi-profesi tertentu selain ibu rumah tangga.

Maka tidak heran apabila di banyak negara, termasuk Indonesia banyak perempuan yang terlanggar haknya untuk dapat menikmati kebebasan dan kesetaraan hanya karena status gender dan seksualitas mereka. Secara khusus jika kita perhatikan, di Indonesia ini masih lekat dengan adanya budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa atau si dominan. Eksistensi dari patriarki ini memiliki pemahaman bahwa ranah publik menjadi ranahnya laki-laki, sebaliknya ranah domestik (rumah tangga) menjadi ranahnya perempuan. Sehingga, tidak heran juga jika sampai saat ini di Indonesia masih banyak persepsi yang mengatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena kodratnya adalah di dapur. Singkatnya, bias patriarki tersebut membuat subjektivitas perempuan sebagai warga negara dan sebagai manusia menjadi disangsikan.

Terlebih lagi, eksistensi budaya patriarki ini juga telah melahirkan adanya stigma sosial yang memiliki makna “Kondisi saat laki-laki dan perempuan yang keluar dari kotak maskulin dan feminin akan disalahkan”. Sehingga, stigma sosial ini juga sering dikaitkan dengan kriminalisasi sosial yang selalu menempatkan perempuan pada posisi yang tersudut dan terbelakang, lemah, tidak diprioritaskan dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, banyak perempuan yang kemudian memperjuangkan kesetaraan gender sebagai bagian dari emansipasi perempuan. Di mana emansipasi perempuan sendiri dimaknai sebagai usaha-usaha yang dilakukan untuk mendapatkan hak yang sepatutnya didapatkan oleh seorang perempuan demi melepaskan dirinya dari status sosial yang rendah sehingga pada akhirnya perempuan dapat memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki di segala bidang.

Singkatnya, dalam konteks ini yang perlu menjadi catatan adalah bahwa pada dasarnya setiap perjuangan perempuan untuk menuntut keadilan dan kesetaraan bukan dengan tujuan untuk melawan atau bahkan untuk menyingkirkan laki-laki, melainkan untuk menghilangkan patriarki! Sehingga, kelak istilah-istilah seperti “The Second Sex”, “Surgo Nunut Neroko Katut”, “Kanca Wingking” dan lain sebagainya yang dimaknai sebagai istilah patriarkis untuk menyudutkan posisi perempuan dapat diminimalisir atau justru dihilangkan. Karena, akan sia-sia upaya perempuan untuk mewujudkan emansipasi perempuan apabila tidak ada solidaritas dari laki-laki. Maka, inti dari seluruh gerakan yang mengatasnamakan perempuan seperti Feminisme dan Emansipasi Perempuan adalah adanya “Kemitraan Gender” yang melibatkan kerjasama laki-laki dan perempuan untuk dapat terus maju bersama melawan ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Penulis: Rahajeng Galuh I.K

.

Referensi:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *