FEMALE GENITAL MUTILATION

Sumber: www.gshrudayana.org

Di Indonesia, mungkin sudah tidak asing lagi dengan kewajiban berkhitan / sunatan di kalangan masyarakat muslim. Khitan atau sunat merupakan salah satu syariat islam bagi anak laki-laki untuk melepaskan kulit yang ada di ujung penisnya. Tidak hanya bentuk memenuhi ajaran agama saja, khitan atau sunat memiliki banyak manfaat secara medis, seperti mencegah terjadinya penyakit seksual menular, mencegah infeksi saluran kemih, mencegah masalah penis, dan penurunan resiko kanker penis. Selain terhadap laki-laki, khitan atau sunat juga kerap kali dilakukan terhadap perempuan. Masyarakat yang melakukan sunat terhadap perempuan meyakini bahwa praktek tersebut sebagai bentuk penyucian jiwa atau kemuliaan, artinya perempuan akan lebih terjaga kehormatannya kerena praktek sunat ini bertujuan untuk mengurangi syahwat pada perempuan.

Praktek ini menuai banyak perdebatan di kalangan aktivitis perempuan maupun akademisi. Menurut World Health Organization (WHO) sendiri secara tegas menyatakan sunat perempuan merupakan tindakan mutilasi yang dilarang atau disebut Female Genital Mutilation (FGM) yang melanggar hak asasi manusia. Perempuan yang mengalami FGM mengalami kesakitan yang berkepanjangan seperti kehilangan kepekaan yang mengakibatkan kesakitan ketika melakukan hubungan seksual, terjadi infeksi vagina, disfungsi seksual, infeksi saluran kencing, sakit kronis, kemandulan, kista kulit, kompilasi saat melahirkan bahkan kematian. Berbeda dengan praktek sunat terhadap laki-laki, FGM tidak memberikan manfaat bagi kesehatan perempuan.

Pemotongan sebagian maupun keseluruhan genital kelamin perempuan tanpa manfaat medis sangat berdampak terhadap kesehatan perempuan. Praktik ini menunjukkan bentuk diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak anak dan perempuan. Pelanggaran pada Pasal 1 CEDAW The Right to be Free from All Forms of Gender Discrimination karena menunjukkan pengendalian terhadap hasrat seksual perempuan dan mengontrol atas kehidupan sosial perempuan. Pelanggaran pasal 6 ICCPR The Rights to Life and to Physical Integrity bahwa perempuan memiliki kebebasan untuk memilih apa yang akan dilakukan kepada tubuhnya dan tidak memberikan orang lain untuk berlaku atau menginvasi hak itu. Pelanggaran pasal 12 ICESCR The Right to Health, karena menghilangkan bagian tubuh perempuan untuk kepuasan seks dan keamanan kehidupan seks di kalangan masyarakat. Pelanggaran Children’s Right to Special Protections, karena FGM dilakukan pada anak perempuan dalam rentang usia 0-15 tahun dan dilakukan tanpa persetujuan dari anak itu.

Namun, walaupun secara medis telah menjelaskan bahaya dan menyatakan pelarangan praktek FGM, hal ini tidak berarti bagi kalangan masyarakat yang meyakini praktek ini sebagai perintah ajaran agama ataupun tradisi yang harus dipelihara. Data UNICEF 2016 mencatat lebih dari 200 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia menjadi korban sunat perempuan. Sementara itu, Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan angka sunat perempuan atau FGM tertinggi di dunia setelah Mesir dan Etiopia. Menurut hasil kajian PSKK UGM tahun 2017 dilakukan pada 4.250 rumah tangga di 10 provinsi Indonesia, sebanyak 87,3 persen responden mendapatkan informasi mengenai sunat perempuan dari orang tuanya. Sebanyak 92,7 persen responden mengungkapkan perintah agama menjadi alasan untuk melakukan sunat perempuan dan 84,1 persen karena alasan tradisi. Doktrin agama dan juga tradisi di masyarakat menjadi alasan pelaksanaan sunat pada perempuan.

Pada perkembangan sejarah sunat perempuan atau FGM di kalangan masyarakat di Israel praktek ini tidak ditemukan secara ilmiah sebagai dasar perintah agama, justru praktek ini dilakukan secara kultural yang didasari mitos-mitos tradisi masyarakat kala itu. Kemudian muncul berbagai anggapan hingga menanamkan keyakinan bahwa praktek ini mendatangkan kebaikan. Lalu tradisi ini berlanjut hingga ke masa-masa berikutnya, berkembang dan diperkuat dengan fatwa-fatwa ulama serta dilegalitaskan sebagai hukum islam. Berdasarkan kajian sejarah sunat perempuan ada 28 negara Afrika, beberapa negara di Timur Tengah, sebagian kecil di negara Amerika Utara, Amerika Latin dan Eropa, sebagian kecil negara di Asia masih mempraktekan sunat perempuan hingga saat ini. Di Nusa tenggara praktik FGM dilakukan oleh dukun dan orang tua pada anak usia balita dengan upacara adat. Di Kalimantan berkembang sejak tahun 1988 yang tidak hanya diperuntukan bagi usia bayi, tetapi juga perempuan dewasa yang baru memeluk agama islam dan dilakukan oleh tukang sunat. Di Sulawesi FGM wajib bagi perempuan yang dikenal dengan istilah adat Mopolihu Lo Limu dan Mongubingi dengan tujuan untuk menjaga kesucian dari perilaku buruk yang merusak diri.

Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Ratna Suraiya (2019) mendefinisikan sunat perempuan sebagai aktivitas memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klitoris (preputium clitoris), atau membuang sedikit dari bagian klitoris (kelentit), atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva di bagian atas kemaluan perempuan atau memotong kulit yang berbentuk jengger ayam jantan dibagian atas vagina perempuan. WHO dan UNFPA (2020) dalam Feni Sulistyawati dan Abdul Hakim (2022) mengklasifikasikan sunat perempuan menjadi 4, yaitu:

  1. Tipe 1: Klitoridektomi (pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar klitoris);
  2. Tipe II: Eksisi (pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar klitoris dan labia minora tanpa labia mayora);
  3. Tipe III: Infibulasi (penyempitan lubang vagina dengan memotong dan menjahit labia minora dan labia mayora);
  4. Tipe IV: Semua prosedur berbahaya yakni menusuk, menggores dan membakar area genital.
Sumber: www.ultimagz.com

Female Genital Mutilation atau sunat perempuan ini diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi manusia terhadap anak dan perempuan. Karena prakteknya yang berbahaya bagi kesehatan perempuan dan sangat tidak manusiawi dilakukan. Namun, disamping dampak berbahaya dan sejumlah pelanggaran terhadap hak anak dan perempuan, praktek ini masih terus dilakukan. Faktor yang mempengaruhi FGM ini dilakukan karena adanya tuntutan adat, perintah agama, menjaga tradisi dan keperawanan, kesucian, melindungi martabat keluarga, penerimaan sosial terkait norma dan tekanan sosial di masyarakat. Masyarakat memiliki keyakinan FGM dapat mengurangi hasrat seksual perempuan dan membantu pencegahan aktivitas seksual pra nikah.

Tradisi atau adat istiadat tidak bisa dihilangkan dengan mudah, akan tetapi upaya-upaya membangun kesadaran dan menawarkan perspektif baru yang lebih banyak memberikan manfaat bagi masyarakat dan kebaikan bagi sesama dapat dilakukan. Pada perspektif pekerja sosial, ada salah satu prinsip self-determination. Self-determination ini merupakan hak untuk menentukan diri sendiri. Perempuan yang tinggal dengan masyarakat yang memiliki keyakinan atau adat tradisi melakukan praktek FGM seharusnya diberikan kesempatan untuk self-determination. Pada prakteknya Self-determination merupakan kemampuan kontrol perilaku yang berasal dari diri individu untuk menentukan kebutuhan-kebutuhannya dan cara mencapai kebutuhan tersebut. Keputusan ini tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal dan kecenderungan individu untuk mencari pengetahuan baru tentang diri sendiri yang nantinya digunakan untuk melakukan keputusan-keputusan yang dibutuhkan oleh diri. Kesempatan Self-determination yang diberikan kepada perempuan akan membantu perempuan untuk menentukan hak-hak yang dibutuhkan bagi dirinya.

Referensi

“Hukum Khitan Bagi Anak Laki-laki Adalah Wajib Dalam Islam, Ketahui Manfaatnya | merdeka.com.” merdeka.com, 14 Dec. 2021, www.merdeka.com/jabar/hukum-khitan-bagi-anak-laki-laki-adalah-wajib-dalam-islam-berikut-penjelasannya-kln.html.

 “Praktik Sunat Perempuan Masih Banyak Ditemukan Di Indonesia | Universitas Gadjah Mada.” Praktik Sunat Perempuan Masih Banyak Ditemukan Di Indonesia | Universitas Gadjah Mada, 28 Feb. 2023, www.ugm.ac.id/id/berita/18994-praktik-sunat-perempuan-masih-banyak-ditemukan-di-indonesia.

Supriatami, S. M., Alimi, R., & Nulhaqim, S. A. (2022). Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Praktik Female Genital Mutilation. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 5(1), 92-105

Sulistyawati, F., & Hakim, A. (2022). Sunat Perempuan Di Indonesia: Potret terhadap Praktik Female Genital Mutilation (FGM). Jurnal Hawa: Studi Pengarus Utamaan Gender dan Anak, 4(1), 31-38N

Penulis: Iin Rizkiyah

Editor: Desy Putri R.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *