Fenomena Glass Ceiling di Dunia Kerja

Sumber: iStock

Pada tahun 2013, mantan COO Meta Platforms (dulu Facebook), Sheryl Sandberg, menulis sebuah buku berjudul “Lean In: Women, Work, and the Will to Lead”. Dalam buku tersebut, ia menyebutkan bahwa tantangan terbesar bagi perempuan untuk meraih kesuksesan sesungguhnya berasal dari diri sendiri, yaitu karena perempuan seringkali merasa ragu, takut, dan tidak percaya diri. Meskipun buku Sandberg berhasil meraih titel best seller, tetapi buku tersebut tidak luput dari kritik. Bahkan, ibu negara Amerika Serikat ke-44, Michelle Obama menyebutnya sebagai “omong kosong”.

Buku “Lean In: Women, Work, and the Will to Lead” hanyalah satu dari sekian banyak contoh kegagalan masyarakat dalam menyadari eksistensi glass ceiling atau “langit-langit kaca” dalam dunia kerja. “Langit-langit kaca” atau “glass ceiling” merupakan sebuah metafora untuk menggambarkan sekat tak kasat mata yang menghalangi perempuan maupun kelompok minoritas lainnya dalam mengembangkan potensi serta meraih kesuksesan di dunia kerja. Istilah ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1978 oleh penulis dan aktivis keberagaman Amerika Serikat, Marilyn Loden. Sekat-sekat yang dimaksud tersebut hadir dalam bentuk diskriminasi berbasis SARA dan seksualitas, kesenjangan kelas, disabilitas fisik dan mental, dan lain sebagainya, yang umumnya telah mengakar begitu kuat dalam masyarakat.

Sumber: Medium

Permasalahan utama dari glass ceiling adalah ia seringkali lekat dengan faktor-faktor yang sifatnya permanen, bawaan, atau sulit bahkan mustahil untuk diubah. Misalnya, diskriminasi berbasis ras. Seseorang tentunya tidak dapat mengubah ras mereka sendiri. Inilah mengapa narasi-narasi seperti yang disuarakan oleh Sheryl Sandberg terdengar tidak masuk akal bagi sebagian perempuan. Perempuan-perempuan yang memiliki banyak privilese seperti Sandberg (re: ras kulit putih dan kelas menengah ke atas di Amerika Serikat) mungkin hanya perlu berbekal modal kepercayaan diri saja untuk mendobrak berbagai tantangan di dunia kerja. Namun, realita yang dihadapi oleh perempuan-perempuan yang masuk ke dalam kelompok minoritas dan marjinal akan jauh berbeda dan tidak cukup apabila dihadapi hanya dengan keberanian atau kepercayaan diri saja.

Pada saat buku “Lean In: Women, Work, and the Will to Lead” diterbitkan, jurnalis Susan Faludi mengkritik tajam dengan mengatakan bahwa ideologi feminisme yang dibawakan oleh Sheryl Sandberg hanyalah akal-akalan korporasi yang menekankan perjuangan individu untuk meraih kesuksesan, sehingga semua orang–terutama perempuan–lupa bahwa dunia kerja tidak luput dari diskriminasi sistemik yang dialami oleh perempuan secara kolektif.

Konsep “lean in” yang ditawarkan oleh Sandberg sarat akan nilai-nilai feminisme liberal. Ideologi feminis yang berbasis pada liberalisme meyakini bahwa perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang setara dan potensi yang sama. Ideologi ini mendorong agar perempuan menjadi lebih mandiri dan berani mengambil keputusan apabila mereka ingin berada pada posisi yang setara dengan laki-laki.

Feminisme liberal merupakan ideologi feminis pertama dalam sejarah modern yang lahir sekitar abad ke-18 di Eropa dan Amerika Serikat. Salah satu pionir gerakan ini adalah penulis Mary Wollstonecraft yang dalam karyanya, “A Vindication of the Rights of Woman” (1792) menyatakan bahwa kesenjangan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor pendidikan. Pada masa itu, akses perempuan terhadap pendidikan masih sangat terbatas. Selain itu, banyak perempuan yang setelah menikah diminta untuk tinggal di rumah saja, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk bersosialisasi dan memperluas wawasan. Karenanya, Wollstonecraft berargumen bahwa selain perempuan harus diberikan kesempatan setara dalam aspek pendidikan, perempuan sendiri juga harus berani bersuara untuk menuntut hak-haknya serta membuat keputusan. Feminisme liberal yang disebut juga sebagai feminisme gelombang pertama itu berhasil memperjuangkan hak politik dan ekonomi perempuan. Pada tahun 1920, perempuan di Amerika Serikat akhirnya diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.

Sumber: FC Tucker

Meskipun feminisme liberal merupakan titik awal perjuangan kesetaraan gender yang terus berlangsung hingga kini, tetapi ideologi tersebut tidak luput dari kritik, bahkan dari kalangan feminis sendiri. Feminisme liberal dinilai hanya menitikberatkan pada perjuangan individualis saja dan hanya dapat diaplikasikan pada perempuan kulit putih kelas menengah ke atas. Ideologi ini juga dianggap mengabaikan aspek-aspek diskriminasi lainnya, seperti ras, kelas sosial, dan seksualitas.

Sebagai jawaban bagi problematika feminisme liberal yang dinilai eksklusif, muncullah ideologi interseksionalitas. Istilah “interseksionalitas” pertama kali dicetuskan oleh pengacara asal Amerika Serikat, Kimberlè Crenshaw pada tahun 1989. Interseksionalitas merujuk pada kondisi di mana berbagai aspek identitas seseorang saling berkelindan dan berpengaruh terhadap tantangan yang dihadapi sehari-hari. Crenshaw menyatakan bahwa tidak semua kesenjangan bersifat sama, atau memiliki level kesulitan yang sama. Maka dari itu, permasalahan glass ceiling dalam dunia kerja harus dilihat menggunakan perspektif interseksionalitas, sehingga kita menyadari bahwa setiap perempuan memiliki aspek identitas serta latar belakang yang berbeda-beda, dan hal tersebut memengaruhi tantangan apa saja yang harus mereka hadapi dalam berkarir.

Sumber: Dreamstime

Menjawab problematika glass ceiling di dunia kerja tentu saja tidak cukup hanya dengan narasi “semua perempuan bisa asal percaya diri” ala Sheryl Sandberg. Kita perlu menyadari bahwa kesempatan setara tanpa adanya akses yang setara pula adalah sia-sia. Jika hal ini terus dibiarkan, pada akhirnya kesempatan-kesempatan tersebut hanya bisa didapatkan oleh perempuan yang memiliki privilese lebih, yang bisa sukses hanya dengan modal nekat dan percaya diri. Di satu sisi, belum tentu para perempuan itu memiliki kesadaran akan pentingnya memberdayakan sesama perempuan, serta memperjuangkan kesetaraan di dunia kerja.

Sumber: Wikipedia

Kita memerlukan sebuah usaha konkret dalam mendobrak “langit-langit kaca”, yaitu menghapus diskriminasi sistemik dalam dunia kerja itu sendiri. Itulah mengapa serikat pekerja, terutama pekerja perempuan sangat penting untuk dibentuk dan diberdayakan. Sebab, diskriminasi yang bersifat sistemik bukanlah sesuatu yang dapat dihadapi oleh perorangan saja, melainkan butuh perjuangan kolektif. Perlu diingat bahwa peran serikat pekerja bukan hanya untuk melakukan protes atau demonstrasi, seperti stereotip yang selama ini sering diidentikkan oleh masyarakat kepada mereka. Serikat pekerja juga memberikan edukasi mengenai hak dan kewajiban pekerja, serta apa saja yang dapat mereka lakukan ketika mengalami diskriminasi. Serikat pekerja juga dapat mengadvokasi pekerja yang menjadi korban diskriminasi atau kekerasan, entah bergerak sendiri maupun menghubungkan orang yang bersangkutan dengan lembaga yang memiliki kewenangan dan kapasitas untuk membantu.

         Persoalan glass ceiling memang bukanlah hal mudah untuk diselesaikan. Namun, sebelum kalian merasa bahwa perjuangan kalian sia-sia, ingatlah bahwa apa yang kita lakukan sekarang mungkin hasilnya bukan kita yang menikmati, tetapi generasi penerus yang akan datang. Dan sesuai dengan esensi feminisme yang paling mendasar, yaitu berjuang bukan hanya untuk diri sendiri atau untuk hari ini, tetapi juga untuk kepentingan orang banyak, serta masa depan yang jauh lebih baik.

Penulis konten: Rani

Referensi:

Durkin, Erin. 2018. Michelle Obama on “Leaning In”: ‘Sometimes That Shit Doesn’t Work’. https://www.theguardian.com/us-news/2018/dec/03/michelle-obama-lean-in-sheryl-sandberg.

Lewis, Jone Johnson. 2019. Liberal Feminism. https://www.thoughtco.com/liberal-feminism-3529177.

Waters, Shonna. 2022. How to Break the Glass Ceiling at Work and Unleash Your Potential. https://www.betterup.com/blog/breaking-glass-ceilings.

Anonim. 2020. Intersectional Feminism: What It Means and Why It Matters Right Now. https://www.unwomen.org/en/news/stories/2020/6/explainer-intersectional-feminism-what-it-means-and-why-it-matters.

Anonim. 2017. 100 Women: Why I Invented the Glass Ceiling Phrase. https://www.bbc.com/news/world-42026266.

Anonim. Tanpa tahun. Mary Wollstonecraft: Britain’s First Feminist. https://www.bbc.co.uk/teach/mary-wollstonecraft-britains-first-feminist/zkpk382.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *