Fenomena Kemiskinan Menstruasi di Indonesia: Mengubah Perspektif dengan Menjalankan Upaya Kolaboratif

Sumber: Canva

Kemiskinan menstruasi merupakan kondisi di mana sulitnya perempuan dalam mengakses produk kebutuhan menstruasi yang aman dan higienis, serta kondisi sulitnya dalam mengakses pengetahuan terkait menstruasi. Fenomena ini sendiri utamanya disebabkan oleh faktor ekonomi yang menyulitkan perempuan dalam membeli produk menstruasi seperti pembalut, obat pereda nyeri dan pakaian dalam. 

Dilansir dari BBC, dipaparkan bahwa perempuan di Asia tidak menyanggupi untuk membeli produk kebutuhan menstruasi. Sebuah analisa yang dilakukan oleh BBC pada 21 negara dan wilayah di Asia, mengungkapkan bahwa perempuan di Indonesia mengeluarkan sekitar 1.7% dari pendapatan bulanan mereka untuk membeli produk kebutuhan menstruasi, yang mana angka ini 20% lebih tinggi apabila dibandingkan dengan rata-rata perempuan di negara lain yang dianalisis. Dengan kata lain, perempuan di Indonesia menghabiskan sekitar Rp.16.900.000 untuk memenuhi kebutuhannya terhadap menstruasi. 

Tak hanya itu, berdasar pada penemuan oleh UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund) Indonesia, dipaparkan bahwa 25% remaja perempuan Indonesia tidak pernah melakukan diskusi perihal menstruasi sebelum mereka mendapatkan menstruasi pertama. Selain itu, 17% di antara mereka tidak mengetahui bahwa menstruasi merupakan tanda dari pubertas. Bertolak dari temuan UNICEF Indonesia tersebut, maka secara tidak langsung, dapat dilihat bagaimana pembicaraan mengenai menstruasi masih menjadi hal yang tabu bagi sebagian orang. 

Di Indonesia, tak jarang pula remaja perempuan yang membeli pembalut, tidak mengetahui bahwa pembalut tersebut telah kadaluwarsa. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya, para remaja perempuan tersebut tidak mendapatkan edukasi mengenai kesehatan organ reproduksi sebagaimana mestinya. Terlebih lagi, sekolah-sekolah tidak menyediakan produk kebutuhan menstruasi di sekolah dan pembersih di kamar mandi perempuan. selain itu, masih terdapat beberapa perempuan yang menggunakan kain tradisional sebagai pengganti dari pembalut. Hal ini pada gilirannya menimbulkan kekhawatiran terkait dengan kebersihan kain tersebut. 

Sulitnya akses dalam mendapatkan produk kebutuhan menstruasi dan rendahnya edukasi terkait menstruasi tidak menjadi satu-satunya hambatan bagi perempuan di Indonesia dalam menghadapi menstruasi. Menstrual bullying yang dilakukan oleh teman laki-laki juga kerap dialami oleh remaja perempuan. Menstruasi dianggap suatu hal yang kotor, dan bahkan penggunaan tampon ketika menstruasi ditakutkan dapat merusak keperawanan seorang perempuan. Adanya mispersepsi terhadap menstruasi ini pada gilirannya menimbulkan kekhawatiran, disebabkan mispersepsi tak hanya menyebar di wilayah sekolah, tetapi juga terjadi di rumah.

Pada tahun 2015, UNICEF, Burnet Institute, Survey METER, WaterAid Australia dan Aliansi Remaja Independen melakukan suatu survei dan mengolahnya ke dalam laporan yang berjudul ‘Menstrual Hygiene Management in Indonesia: Understanding Practices, Determinants and Impacts Among Adolescent School Girl’. Survei ini sendiri dilakukan pada 1.402 remaja perempuan yang berasal dari 16 sekolah yang berbeda-beda, yang terdiri dari wilayah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Papua dan Nusa Tenggara Timur. 

Dalam laporan tersebut ditemukan bahwa mayoritas remaja perempuan menggunakan pembalut sekali pakai selama menstruasi terakhir mereka. Selanjutnya, kain juga menjadi salah satu ‘produk’ yang mereka gunakan ketika menstruasi, yang mana penggunaan kain umumnya lebih banyak di daerah pedesaan dibanding dengan daerah perkotaan. Provinsi Sulawesi Selatan sendiri, dalam penggunaan kain ketika menstruasi terakhir, lebih banyak digunakan oleh remaja perempuan di sana dibandingkan dengan remaja perempuan di provinsi lain. Tak hanya itu, ditemukan pula bahwa beberapa remaja perempuan memiliki kesalahpahaman bahwa pembalut mengandung pemutih dan bahan kimia yang mana mampu menimbulkan iritasi hingga pada kanker. 

Selanjutnya, ditemukan pula bahwa hanya dua pertiga perempuan yang berasal dari wilayah perkotaan dan kurang dari setengah perempuan dari pedesaan yang mengganti pembalut atau kain mereka setiap 4-8 jam atau setiap kali produk yang digunakan kotor. Hal ini berarti bahwa sekitar 46% remaja peremuan lainnya mengganti produk kurang dari dua kali per hari. Kemudian, terkait dengan pembuangan produk, beberapa di antara mereka ada yang membuang pembalut di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dan terdapat juga yang mengubur pembalut hingga ada pula yang membakarnya. 

Kemudian, terkait dengan fasilitas yang tersedia terkait dengan menstruasi, mengalami beberapa kendala, mulai dari sanitasi, air dan kebersihan serta pembuangan air. Apabila merujuk pada masalah sanitasi, dapat diketahui bahwa jumlah jamban yang berfungsi tidak mencukupi, jamban yang kecil, kotor dan bau, kurangnya privasi yang disebabkan oleh kedekatan kamar mandi perempuan dengan laki-laki, pintu yang sulit untuk dikunci hingga tiadanya akses yang dapat memudahkan remaja perempuan dengan penyandang disabilitas. Selain itu perihal air dan kebersihan ialah seperti tidak mencukupinya pasokan air yang digunakan untuk mencuci pembalut dan kurangnya sabun dan tisu. Selanjutnya, terkait dengan pembuangan air, yakni seperti tiadanya tempat sampah dalam kamar mandi, dan hal ini menjadi sulit ketika tempat sampah berada di tempat yang terbuka atau tempat sampah yang hanya terletak di dekat ruang kelas. 

Berbagai hambatan tersebut pada gilirannya memberikan dampak bagi remaja perempuan pada segi kesehatan dan segi pendidikan. Dilihat dari segi kesehatan, ditemukan bahwa hampir 25% remaja perempuan melaporkan mengalami gatau atau nyeri genital ketika menstruasi dan 9% mengalami nyeri ketika buang air kecil. Bahkan beberapa siswi di Focus Group Discussion (FGD) melaporkan gatal dan iritasi pada alat kelamin akibat memakai pembalut dalam waktu lama disebabkan tidak dapat menggantinya di sekolah. Selain itu, dari segi pendidikan, diketahui bahwa 17% dari mereka melaporkan pernah bolos sekolah akibat menstruasi. Ketidakhadiran ini sendiri lebih banyak dilakukan oleh remaja perempuan di pedesaan, dibandingkan dengan perkotaan. Beberapa remaja perempuan tersebut mengungkapkan bahwa nyeri haid membuat mereka memutuskan untuk bolos, dan bahkan beberapa di antara mereka beranggapan bahwa menstruasi membatasi partisipasi dan kinerja mereka di sekolah yang membuat mereka takut mengalami kebocoran. 

Dalam menghadapi berbagai hambatan yang dilalui oleh remaja perempuan ketika mengalami menstruasi, baik terkait edukasi dan kebersihan, berbagai upaya kemudian dilakukan oleh beberapa pihak. World Menstrual Hygiene Management Day (MHM) yang jatuh pada tanggal 28 Mei merupakan hari peringatan yang bertujuan untuk ‘mematahkan’ tabu terkait menstruasi dan juga meningkatkan kesadaran tentang pentingnya manajemen kebersihan saat menstruasi. 

Plan Indonesia menjadi lembaga swadaya masyarakat (LSM) pertama yang merintis MHM di Indonesia sejak tahun 2017. Hingga tahun 2021, Plan Indonesia telah melaksanakan program MHM di 104 sekolah, meliputi Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Luar Biasa (SLB), dan memberikan manfaat bagi 22.653 anak perempuan dan laki-laki di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. 

Tak hanya itu, keterlibatan pihak sekolah, yakni guru, dalam memberikan edukasi terkait dengan menstruasi dan kesehatan organ reproduksi, juga menjadi penting untuk dilakukan. Salah satu guru laki-laki yang bernama Agung Winanda – yang merupakan guru SMPN 3 Cisauk di Tangerang, Banten – berpartisipasi dalam pelatihan MHM di Tangerang yang dilaksanakan oleh UNICEF dengan dukungan dari KAO Corporation mealui Japan National Committee untuk UNICEF. Pelatihan MHM tersebut memberikan Bapak Agung pengetahuan yang membuatnya dapat menjangkau pemahaman murid-muridnya terkait menstruasi untuk sekaligus meningkatkan kesadaran mereka. 

Selain keterlibatan guru, upaya lainnya yang dilakukan dalam program MHM ini ialah dengan peluncuran buku cerita, pada tahun 2019, yang berjudul “Rahasia Dua Dunia”, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran remaja mengenai isu MHM. Buku ini sendiri merupakan hasil dari kerja sama antara mahasiswa, pembimbing dan tokoh agama setempat.

Kemudian, program MHM juga turut melibatkan Kader Kesehatan Remaja (KKR), yakni kelompok relawan mahasiwa yang membantu memprakarsai, mengatur dan memimpin kegiatan dan juga kampanye. Program ini berdasar pada survei yang dilakukan oleh UNICEF, yang menemukan bahwa mayoritas anak perempuan cenderung lebih nyaman berbicara mengenai pubertas dengan perempuan lain, terutama kakak perempuan atau teman perempuan. Sementara itu, program MHM juga turut melibatkan siswa laki-laki dalam membantu menghilangkan mitos dan miskonsepsi terkait menstruasi serta diharapkan mampu dalam mengurangi perundungan yang dilakukan oleh siswa laki-laki.

Selanjutnya di Papua, yang terkenal akan budaya patriarkinya yang kuat, Demianus Dike yang merupakan salah satu orang lokal di sana berupaya untuk mematahkan mitos dan miskonsepsi terkait menstruasi di komunitasnya. Demianus bekerja untuk Yayasan Noken Papua, sebuah LSM yang berfokus terhadap pembangunan kesehatan dan pendidikan di Papua. Demianus tak hanya memberikan edukasi terhadap masyarakat mengenai manajemen kesehatan dan kebersihan menstruasi (MKM), tetapi ia juga turut mengedukasi siswa, guru, dan kepala sekolah tentang pembuatan pembalut dari kain yang dapat digunakan kembali. 

Tak hanya edukasi secara langsung, edukasi berbasis online juga turut dilaksanakan. UNICEF merilis aplikasi pelacak menstruasi untuk ponsel yang disebut Oky. Kehadiran Oky ini sendiri berujuan agar remaja perempuan mampu melacak dan sekaligus memahami bagaimana menstruasi dapat berpengaruh terhadap tubuh dan suasana hati mereka. Selain itu, Oky juga menyediakan fakta dengan informasi dan tips terpercaya agar tetap sehat dan bahagia.

Upaya-upaya kolaboratif yang dilakukan seperti paparan di atas, tentu membutuhkan dukungan dari pemerintah. Penyediaan fasilitas yang memadai untuk melaksanakan program MHM tersebut memang diperlukan. Selain itu, berbagai upaya dalam mengedukasi masyarakat juga telah dilakukan. Namun, mengingat bahwa faktor utama kemiskinan menstruasi adalah kondisi ekonomi, maka sebaiknya pemerintah dapat mulai membenahi alokasi anggaran negara mereka agar dapat digunakan untuk memberikan akses secara gratis terhadap produk kebutuhan menstruasi, seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah Skotlandia pada tanggal 24 Desember 2020.

Tak dapat dipungkiri bahwa kemiskinan menjadi akar dari permasalahan jangka panjang, seperti halnya kemiskinan menstruasi yang pada gilirannya dapat mengganggu kesehatan organ reproduksi perempuan apabila tidak ditangani dengan benar. Mengingat bahwa kemiskinan menstruasi merupakan masalah bersama, maka diperlukan upaya kolaboratif berbagai pihak dalam penyelesaiannya. Upaya-upaya tersebut diharapkan kedepannya mampu meminimalisasi kemiskinan menstruasi yang terjadi di Indonesia, dan sekaligus dapat mengubah persepsi masyarakat mengenai menstruasi yang seringkali dipandang tabu. 

REFERENSI:

Burnet Institute, SurveyMETER, WaterAid Australia, & Aliansi Remaja Independen. (2015). Menstrual Hygiene Management in Indonesia: Understanding Practices, Determinants and Impacts Among Adolescent School Girl.

Febriani, R. (2022). Potret Period Poverty: Susahnya Perempuan Akses Sanitasi Saat Menstruasi. Konde.Co. https://www.konde.co/2022/01/potret-period-poverty-susahnya-perempuan-akses-sanitasi-saat-menstruasi.html/

Gracellia, J. (2021). Period Poverty, Sulitnya Akses Produk dan Pengetahuan Menstruasi di Indonesia. Kompasiana. https://www.kompasiana.com/jeniffer68599/607b11acd541df1819516ff2/period-poverty-sulitnya-akses-produk-dan-pengetahuan-menstruasi-di-indonesia

Hastuti, Dewi, R. K., & Pramana, R. P. (2019). Menstrual Hygiene Management (MHM): A Case Study of Primary and Junior High School Students in Indonesia. https://smeru.or.id/sites/default/files/publication/mkm_en_0.pdf

Owen, L. (2019). Kemiskinan membuat perempuan Asia lebih sulit membeli produk terkait menstruasi. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/majalah-48473068.amp

Plan International Communications Team. (2021). Menstrual Hygiene Management is Everyone’s Business, Not Only Women! Plan International. https://plan-international.or.id/en/kesehatan-dan-kebersihan-menstruasi-urusan-semua-pihak-bukan-hanya-perempuan/

Savitri, S. (2020). Two Indonesian teens discuss why their country needs better menstrual health education. ASSEMBLY. https://assembly.malala.org/stories/menstrual-health-education-in-indonesia

UNICEF. (2021a). Empowering girls to take control of their periods during the pandemic. UNICEF. https://www.unicef.org/indonesia/stories/empowering-girls-take-control-their-periods-during-pandemic

UNICEF. (2021b). Meet the “Pad Man” breaking taboos and transforming lives in Papua. UNICEF. https://www.unicef.org/indonesia/stories/meet-pad-man-breaking-taboos-and-transforming-lives-papua

UNICEF. (2022a). Indonesian students break taboos, misconception surrounding menstruation. UNICEF. https://www.unicef.org/indonesia/water-sanitation-and-hygiene/stories/indonesian-students-break-taboos-misconception-surrounding-menstruation

UNICEF. (2022b). Teacher participation a key factor in successful Menstrual Health and Hygiene Management program. UNICEF. https://www.unicef.org/indonesia/water-sanitation-and-hygiene/stories/teacher-participation-key-factor-successful-menstrual-health-and-hygiene-management-program

Penulis : Digna Defianti

Editor : Desy Putri R

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *