
Dewasa ini isu mengenai hak serta keadilan kerja bagi kelompok disabilitas menjadi perbincangan hangat. Pembahasan ini ramai diperbincangkan lantaran kebutuhan perlindungan bagi penyandang disabilitas yang dinilai hanya segelintir orang saja yang mengetahui apalagi memahami isinya. Perlindungan ini adalah hak bagi penyedia usaha dan pekerja disabilitas yang hendak melakukan kontrak kerja. Adanya perlindungan ini diharap dapat menyelaraskan dunia kerja secara adil.
Dikutip dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental. .
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa pekerja atau buruh adalah setiap orang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa, ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Menurut Mr, M. G. Levanbach, hukum yang berkenan dengan hubungan kerja, di mana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu menyatakan bahwa angka penyandang disabilitas yang bekerja di Indonesia mencapai angka 720.748 orang pada 2022. Angka ini telah mengalami kenaikan hingga 160,18% dari tahun sebelumnya yang hanya mencatat 277.018 penyandang disabilitas tahun 2021.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan banyak undang-undang guna menyejahterakan penyandang disabilitas. Salah satunya berbunyi, setiap 100 karyawan harus terdapat satu penyandang disabilitas dalam setiap perusahaan. Undang-undang ini menjadi salah satu bentuk upaya pemerintah untuk menjamin hak pekerjaan bagi penyandang disabilitas yang mampu dan memiliki nilai keterampilan.
Banyaknya undang-undang perlindungan serta penjaminan hak pekerjaan bagi penyandang disabilitas tidak serta-merta langsung menjamin keadaan lapangan. Faktanya banyak perusahaan yang meski sudah diberlakukan undang-undang wajib memperkerjakan 1 penyandang disabilitas untuk setiap 100 orang masih menjadi pelanggaran yang umum terjadi. Dalam hal ini, peluang penyandang disabilitas untuk mendapat pekerjaan dinilai masih sulit dan sering kali gagal di tengah jalan lantaran kondisi yang menyangkut individu tersebut. Padahal, sesuai Pasal 1 angka 2 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Seharusnya, pasal ini cukup untuk menggugah pengusaha guna memperkerjakan seseorang berdasarkan kemampuan serta bidang yang akan dituju individu tersebut.
Realitas yang terjadi dengan rancangan undang-undang yang sebegitu matang nyatanya masih belum efektif dalam meningkatkan statistik penyandang disabilitas yang dapat bekerja di perusahaan negeri maupun swasta. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa tercatat 17 juta penyandang disabilitas dalam usia produktif per tahun 2022 yang bekerja baru tercatat 7,6 juta.
Dalam pelaksanaan ketenagakerjaan, terdapat beberapa cara untuk menekan rendahnya angka kerja penyandang disabilitas, diantaranya:
- Direksi penerima pekerja memahami kebutuhan perusahaan serta undang-undang yang berlaku.
- Direksi penerima kerja tidak memiliki jiwa nepotisme.
- Membuat persyaratan khusus untuk divisi rekrutan guna memaksimalkan potensi pelamar kerja.
- Direksi penerima kerja dengan tegas memberikan bangku khusus bagi penyandang disabilitas apabila dalam 100 orang belum ada penyandang disabilitas yang ditempatkan.
Disisi lain, hak perlindungan kerja bagi penyandang disabilitas masih dinilai tidak merata dan terkesan diskriminatif. Pekerja dengan kebutuhan khusus sering kali mendapat perlakuan yang sama atau bahkan berbeda dengan pekerja umum tanpa mempertimbangkan dampak bagi individu tersebut. Sedangkan, dalam undang-undang jelas dinyatakan bahwa hak perlindungan kerja secara teori itu dibedakan menjadi 3 yaitu:
- Perlindungan Sosial
Hak ini memberi ruang bagi penyandang disabilitas untuk senantiasa mengembangkan kehidupan layaknya orang normal tanpa diskriminasi sosial. Yang mana hal ini sudah disebut dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 99 Angka 1 bahwa, setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. Selain itu, demi menciptakan lingkungan kerja yang nyaman bagi penyandang disabilitas perlu dilakukan penekanan regulasi bagi seluruh pekerja secara adil dan tanpa membebankan salah satu pihak.
- Perlindungan Teknis
Hak ini memberi jaminan bagi penyandang disabilitas yang memiliki pekerjaan untuk dijamin keamanan serta keselamatan selama bekerja di suatu perusahaan. Sebagaimana yang disebut dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 87 Angka 1 bahwa, setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan
- Perlindungan Ekonomi
Hak ini menyebutkan bahwa setiap pekerja harus dijamin kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk saat dimana pekerja tersebut tidak dapat bekerja dengan alasan yang tidak terduga. Hal ini disebutkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 88 Angka 1 bahwa, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Namun, semua itu tidak lepas dari kontrak kerja yang telah disetujui oleh pekerja dan penyedia usaha. Dalam hal ini, penyedia usaha harus memberikan seluruh kemampuannya untuk menjamin kesejahteraan pekerja.
Selain problematika statistik pekerja penyandang disabilitas rendah, terdapat beberapa alasan mengapa sering terjadi penolakan terhadap orang berkebutuhan khusus diantaranya:
- Penyandang disabilitas dinilai kurang maksimal dalam melakukan pekerjaannya.
- Banyak pekerja tanpa gangguan yang lebih menjanjikan.
- Penyedia usaha enggan memberikan jaminan keselamatan lebih bagi penyandang disabilitas yang berpotensi mengalami kecelakaan kerja selama berada di lingkungan perusahaan.
Hal tersebut semakin mendorong terjadinya pelanggaran hak serta keadilan bagi penyandang disabilitas. Meski penyandang disabilitas tunduk pada hukum, tidak dapat dipungkiri bahwa jalan untuk mendapatkan pekerjaan adalah tergantung pada penyedia usaha yang menjadi poros utama. Semakin cakap pemerintah dalam menyikapi kebijakan undang-undang ketenagakerjaan, semakin tinggi pula angka kerja di Indonesia termasuk bagi penyandang disabilitas tanpa takut adanya diskriminasi sepihak.
Referensi :
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/06/22/jumlah-pekerja-disabilitas-indonesia-meningkat-pada-2022-didominasi-laki-laki Jum’at, 7 Juli 2023 05.17
https://difabel.tempo.co/amp/1561356/17-juta-difabel-usia-produktif-yang-bekerja-baru-76-juta-orang Jumat, 7 Juli 2023 pukul 05.00 WIB
Tjokorda Gde Agung Smara Raditia, Dewa Gede Pradnya Yustiawan (2020). Pemenuhan Hak-hak Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas Yang Bekerja Pada Yayasan Di Bali
UU Ketenagakerjaan, https://kemenperin.go.id Jum’at, 7 Juli 2023 pukul 05.30 WIB
Suhartoyo. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh
Penulis : Sikna Aurel R.
Editor : Desy Putri R.