
Dalam analisis feminis, perempuan dicirikan sebagai kelompok tunggal atas dasar penindasan bersama. Konstruksi “Perempuan Dunia Ketiga” sebagai kelompok “tak berdaya” yang kerap ditempatkan sebagai korban implisit dari sistem sosial ekonomi tertentu. Hal ini membuahkan anggapan tentang perempuan sebagai kelompok yang selalu dibentuk, dicap tidak berdaya, dieksploitasi, dilecehkan secara seksual dan sebagainya.
Kita tahu bahwa setiap tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day). Seperti perayaan hari lainnya, International Women’s Day juga sebagai peringatan sekaligus pengingat tentang diri sebagai perempuan. Rangkaian agenda IWD yang acapkali dilaksanakan berbagai aksi dan demonstrasi,
Kegamangan merayakan Hari Perempuan Internasional sebagai negara Dunia Ketiga di tengah paham feminis barat dan patriarki tidak gampang yang ditengarai pula streotip, fitrah dan kodrat. Urusan rumah, mendidik dan merawat anak sebagai kewajiban istri, melayani suami sebagai suatu kewajiban istri – nyatanya kehidupan lebih banyak memihak “kewajiban” pada diri manusia yang bervagina. Hal ini diperkuat lantaran kita sebagai makhluk ‘perempuan’ di Dunia Ketiga.
Tema #breakthebias tahun ini masih belum terpatahkan. Bias masih menjadi produksi masyarakat. Prasangka analisis pertama yang saya fokuskan dalam tulisan ini mencakup dalam lokasi strategis kategori sebagai “perempuan” berhadap-hadapan dengan konteks analisis. Asumsi tentang perempuan sebagai kelompok dengan minat dan keinginan yang identik terlepas dari lokasi kelas, etnis atau ras beserta kontradiksi-kontradiksinya, menyiratkan gagasan tentang gender atau perbedaan seksual atau bahkan patriarki yang dapat diterapkan secara universal dan lintas budaya.
Latar Belakang Hari Perempuan Internasional
Pergerakan untuk menuntut kesetaraan dilatarbelakangi oleh penindasan dan ketidaksetaraan terhadap perempuan yang puncaknya pada tahun 1908 yaitu sebanyak 15.000 perempuan menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah yang lebih baik dan hak memilih.
Tanggal 28 Februari 1909 sesuai dengan deklarasi dari Partai Sosialis Amerika diperingati sebagai Hari Perempuan Nasional yang diperingati di seluruh Amerika Serikat. Jadi, perempuan Amerika merayakan Hari Perempuan Nasional pada hari Minggu terakhir bulan Februari yang berlangsung hingga tahun 1913.
Peringatan secara internasional sendiri dicetuskan pertama kali oleh Clara Zetkin, seorang pemimpin dari Kantor Perempuan untuk Partai Sosial Demokrat. Dia menginisiasi Hari Perempuan Internasional yang dirayakan secara global di seluruh negara. Hal ini diwujudkan dalam sebuah konferensi yang dihelat lebih dari 100 orang dari 17 negara. Mereka ialah perwakilan serikat pekerja, partai sosialis, kelompok pekerja perempuan termasuk tiga perempuan pertama yang terpilih dalam parlemen Finlandia.
Austria, Denmark, Jerman dan Swiss merayakan Hari Perempuan Internasional pertama kali pada 19 Maret 1911 yang dihadiri lebih dari satu juta perempuan dan laki-laki menggelar aksi demonstrasi untuk menuntut hak perempuan untuk bekerja, memilih hak pilih, memegang jabatan politik dan menghentikan diskriminasi.
Hingga pada masa Perang Dunia I tahun 1913-1914 disepakati bahwa Hari Perempuan Internasional jatuh setiap tanggal 8 Maret yang akan terus dirayakan hingga hari ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1975 secara resmi mengakui peringatan International Women’s Day.
Bagaimana ‘Perempuan’ di Dunia Ketiga sebagai Analisis Digunakan dalam Wacana Feminis Barat.
Dalam teks-teks yang akan dibahas ini, perempuan didefinisikan sebagai korban kekerasan laki-laki; sebagai tanggungan universal; korban proses kolonial; korban sistem keluarga; korban kitab hukum Islam; dan terakhir korban proses pembangunan ekonomi. Penggunaan diksi ‘perempuan’ sebagai kategori analisis didefiniskan sebagai perempuan dari statusnya sebagai objek yaitu bagaimana mereka dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh institusi dan system tertentu. Bagaimanapun, objektifikasi terhadap ‘Perempuan Dunia Ketiga’ dalam konteks perempuan Barat perlu ditunjuk dan ditantang. Teori-teori feminis yang memeriksa praktik-praktik kebudayaan kita sebagai ‘residu feodal’ atau menyebut kita sebagai perempuan tradisional, perempuan yang belum dewasa secara politik sehingga perlu dimahirkan dan dididik dalam etos feminis Barat.
- Perempuan sebagai Korban Kekerasan Laki-Laki
Kekerasan fisik terhadap perempuan seperti perkosaan, penyerangan seksual, pemotongan alat kelamin, infibulasi dan lain sebagainya kian dijalankan dengan ‘konsensus yang sangat mencengangkan pada laki-laki di dunia’. Perempuan didefinisikan sebagai korban kontrol laki-laki – sebagai yang tertindas secara seksual. Perempuan sebagai arketipe korban ‘objek-yang membela diri’ sedangkan laki-laki ‘subjek-pelaku kekerasan’.
- Perempuan sebagai Tanggungan Universal
Lindsay dalam bukunya Comparative Perspective of Third Women: The Impact of Race, Sex and Class (1983) menyiratkan bahwa perempuan Dunia Ketiga merupakan kelompok yang dapat diidentifikasi murni berdasarkan ketergantungan bersama satu sama lain. Mereka kerap dilihat sebagai kelompok apolitis tanpa status subjek. Perempuan dibentuk sebagai sebuah kelompok melalui hubungan ketergantungan dengan laki-laki, yang secara implisit dianggap bertanggung jawab atas hubungan ini. Tempat perempuan dalam kehidupan sosial manusia dalam pengertiannya yang langsung bukanlah produk dari hal-hal yang dia lakukan melainkan makna yang didapat oleh aktivitas-aktivitasnya melalui interaksi sosial yang konkret.
- Perempuan dan Sistem-Sistem Kekeluargaan
Sifat politik khusus dari struktur kekerabatan yang harus dianalisis sebagai praktik ideologis yang menetapkan laki-laki dan perempuan sebagai ayah, suami, istri, ibu, adik dan sebagainya. Keluarga patriarkal sebagai dasar bagi pandangan yang nyaris identik tentang perempuan yang dimiliki masyarakat Arab dan Muslim. Jadi, saat di satu sisi perempuan memperoleh nilai atau status di dalam keluarga, di sisi lain diasumsikan bahwa sistem kekerabatan patriarkal lah yang sepertinya menstrukturkan perempuan sebagai kelompok yang tertindas. Sistem kekerabatan yang satu dan koheren ini dianggap memengaruhi entitas lain atas nama ‘perempuan’.
- Perempuan dan Ideologi-Ideologi Keagamaan
Kategori analisis lainnya dari ‘perempuan’ dapat dilihat dalam analisis-analisis lintas budaya yang menganut reduksionisme ekonomi tertentu yang menggambarkan hubungan antara faktor ekonomi, politik dan ideologi. Ada sebuah ritual yang dibekukan di mana agama sebagai penyebab ketimpangan gender sama seperti agama dijadikan sumber keterbelakangan dalam banyak teori modernisasi.
- Perempuan dan Proses Pembangunan
Para pendukung mazhab ini berusaha mengkaji dampak pembangunan terhadap Perempuan Dunia Ketiga. Setidaknya, ada minat dan komitmen yang nyata untuk meningkatkan kehidupan perempuan di negara ‘berkembang’. ‘Pembangunan’ umumnya bersinonim dengan ‘pembangunan ekonomi’ atau ‘kemajuan ekonomi’ di mana pembangunan di sini menjadi alat penyetara terbaik. Perempuan berdampak secara positif dan negatif oleh kebijakan pembangunan ekonomi dan ini menjadi dasar bagi perbandingan lintas budaya. Masalah dan kebutuhan yang diungkapkan oleh perempuan pedesaan dan perkotaan di negara-negara ini umumnya berkisar pada Pendidikan dan pelatihan, pekerjaan dan upah, akses ke layanan kesehatan, partisipasi politik dan hak-hak hukum.
Perempuan sebagai kelompok dan kategori analisis seperti di atas mengasumsikan kesatuan universal yang ahistoris antara semua perempuan berdasarkan gagasan umum tentang subordinasi mereka. Alih-alih mendemonstrasikan bagaimana perempuan sebagai sebuah kelompok sosio-ekonomi yang politis dalam konteks lokal tertentu, langkah ini justru membatasi definisi perempuan sebagai subjek ke dalam identitas gender. Perempuan dibentuk sebagai kelompok yang koheren maka perbedaan seksual pun menjadi terkait dengan subordinasi mereka dan kekuasaan yang secara otomatis didefinisikan dalam kaidah biner. Laki-laki mengeksploitasi, perempuan dieksploitasi. Formula simplistik itu secara historis mereduksi, selain juga tidak efektif dalam merancang strategi untuk memerangi penindasan. Lagi-lagi, formula semacam itu hanya memperkuat pemisahan biner antara laki-laki dan perempuan.
Akankah selalu seperti ini analisis ‘perempuan’ Dunia Ketiga?
Momentum Hari Perempuan Internasional menjadi titik balik para Perempuan Dunia Ketiga untuk tidak jatuh dalam perangkap yang dibahas di atas. Misalnya saja, ibu-ibu rumah tangga di daerah Nusa Tenggara Barat yang membuat aneka anyaman untuk menjadi konsumsi ekspor pasar dunia. Dalam analisis ‘ideologi ibu rumah tangga’ di mana gambaran tentang perempuan yang duduk di rumah, seperti menyediakan elemen subjektif dan sosiokultural yang diperlukan untuk penciptaan dan pemeliharaan sistem produksi yang berkontribusi pada peningkatan kemiskinan perempuan dan membuat mereka benar-benar terpisah dan tidak terorganisir sebagai pekerja. Tidak ada generalisasi gampangan ke arah ‘perempuan Dunia Ketiga’.