Kekerasan Seksual antara Suami dan Istri: Hal-hal yang Perlu Diketahui

Sumber: pixabay.com/Gerd Altmann

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mungkin sudah menjadi istilah yang familiar. Namun, apa saja jenis kekerasan itu? Jangan sampai sesuatu yang seharusnya sudah termasuk tindak kekerasan justru diabaikan begitu saja karena hal itu sudah biasa terjadi.

Menurut pasal 1 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa bentuk kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga.

Dari keempat jenis kekerasan yang disebutkan dalam UU PKDRT tersebut, salah satu jenis tindakan KDRT yang penting untuk dibahas ialah kekerasan seksual dalam rumah tangga, khususnya antara pasangan suami dan istri. Hal ini dikarenakan bagi sebagian orang kekerasan seksual dalam hubungan suami-istri masih dianggap tabu. Bagaimana mungkin dalam hubungan suami dan istri ada kekerasan seksual? Bukankah berhubungan seksual antara suami dan istri merupakan suatu hal yang wajar serta hak dari setiap pasangan? Bukankah sudah menjadi kewajiban istri untuk “melayani” suaminya? Lalu dimana letak kekerasannya?

Kekerasan seksual terjadi ketika seseorang memaksakan kehendak seksualnya kepada pasangan tanpa persetujuan mereka. Beberapa contoh tindakan kekerasan seksual (sexual violence) antara lain, menuduh pasangan berselingkuh tanpa bukti, cemburu berlebihan hingga membatasi relasi pasangannya dengan orang lain, memaksa pasangan untuk mengenakan pakaian tertentu dalam konteks seksualitas, menuntut untuk berhubungan seksual saat pasangan sedang sakit atau lelah, dan menyakiti pasangan (misalnya dengan menggunakan alat atau cara tertentu) ketika berhubungan seksual. Penjelasan ini berlaku secara universal untuk setiap jenis hubungan, tidak terkecuali pasangan suami dan istri. Hubungan resmi pernikahan seharusnya bukan menjadi alasan yang membenarkan tindakan seseorang, misalnya seorang suami, untuk memaksakan kehendak seksualnya tanpa memperhatikan persetujuan (consent) dari istrinya. Terlepas dari kebudayaan atau religiusitas apapun, hubungan pernikahan sudah seharusnya didasari oleh kesetaraan hak dan kewajiban antara suami dan istri, bukan hanya berdasarkan prinsip “melayani dan dilayani”.

Lalu, apa yang menyebabkan kekerasan seksual dalam hubungan suami dan istri terjadi?

Setidaknya ada tiga jenis faktor pendorong seperti yang diuraikan berikut ini.

  1. Faktor individual, seperti perasaan lebih berkuasa yang dimiliki seseorang terhadap pasangannya, misalnya karena status sosial, kekayaan, dan kekuatan fisik. Sementara itu dari sisi korban, faktor pendorong dapat berupa penghargaan diri yang rendah sehingga mudah menyalahkan diri sendiri dan merasa pantas mendapatkan perlakuan buruk dari pasangan.
  2. Faktor hubungan keluarga, misalnya adanya riwayat kekerasan dalam hubungan kedua orangtua yang menyebabkan pelaku terbiasa menyaksikan hingga menganggap kekerasan tersebut sebagai suatu hal yang wajar atau adanya riwayat kekerasan seksual yang diterima pelaku semasa kecil.
  3. Faktor sosial-masyarakat, misalnya masih kuatnya prinsip patriarki dan lemahnya penegakan hukum.

Bagaimana cara mencegah terjadinya kekerasan seksual dalam hubungan suami dan istri?

Pada dasarnya kekerasan seksual tidak akan terjadi dalam hubungan rumah tangga yang sehat. Rumah tangga yang sehat hanya dapat dibangun oleh pasangan yang sama-sama sehat secara fisik dan psikis. Oleh karena itu, upaya pencegahan seharusnya sudah dimulai sejak sebelum memutuskan untuk menikah. Sebelum menikah, setiap individu harus terlebih dahulu memperkuat penghargaan terhadap diri sendiri, menanamkan prinsip bahwa tidak ada manusia yang pantas mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu sangat penting untuk memperbanyak pengetahuan mengenai tindakan-tindakan yang termasuk ke dalam jenis kekerasan sehingga tahu kapan harus berhenti dan menyelamatkan diri. Jangan sampai perbuatan yang mengandung tindak kekerasan menjadi sulit diidentifikasi hanya karena jarang disebutkan atau karena tindakan tersebut dianggap sudah biasa terjadi di masyarakat. Tentunya tidak ada yang ingin menjadi korban dari perbuatan buruk yang sudah dinormalisasi, bukan? Hal yang juga sangat penting untuk dilakukan ialah mengenali calon pasangan dengan baik sebelum memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.

Bagaimana jika perilaku buruk pasangan (dalam konteks kekerasan seksual) baru diketahui setelah menikah?

Pada dasarnya perilaku tindak kekerasan dalam rumah tangga, termasuk tindakan kekerasan seksual akan sangat sulit dihentikan. Hal ini karena sebuah perilaku tidaklah terbentuk dalam waktu yang singkat. Selain itu tindak kekerasan seringkali membentuk sebuah siklus yang berulang sehingga dibutuhkan kerja keras untuk mengubahnya. Jika pelaku sadar dan berkomitmen untuk berubah, mereka mungkin dapat diberikan pengobatan atau terapi dari praktisi profesional. Namun demikian, beberapa ahli menyatakan bahwa akan sangat sulit mengubah perilaku KDRT meskipun dengan berbagai metode psikoterapi. Terapi dan pengobatan yang diberikan biasanya hanya dapat membantu pelaku untuk menurunkan intensitas tindak kekerasannya, atau mengarahkan emosi negatifnya ke hal yang lebih positif. Oleh karena itu, menyelamatkan diri dari hubungan yang tidak sehat mungkin akan menjadi pilihan terbaik. Jika tidak memungkinkan untuk diselesaikan secara pribadi, maka jangan ragu untuk meminta bantuan  pihak ketiga.

Siapa saja pihak ketiga yang dapat menolong korban?

Berikut ini merupakan beberapa pilihan yang dapat diambil.

  1. Meminta pertolongan dari keluarga atau orang terdekat yang dipercaya

Keluarga atau orang terdekat korban dapat menjadi perantara antara korban dan pelaku dalam penyelesaian masalah. Mereka juga dapat membantu korban untuk memperoleh bantuan medis dan psikis jika diperlukan.

  1. Melaporkan kasus kekerasan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA)

Saat ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) telah menyediakan Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 untuk memudahkan korban tindak kekerasan dalam melaporkan kasusnya secara daring. Korban maupun keluarga/orang terdekat korban dapat mengakses layanan ini melalui hotline 021-129 atau WhatsApp 08111-129-129.

  1. Melaporkan kasus kekerasan kepada Komnas Perempuan

Korban maupun keluarga/orang terdekat korban dapat melaporkan kasus kekerasan secara langsung kepada Komnas Perempuan dengan menghubungi nomor telepon  021-3903963, melalui alamat e-mail pengaduan@komnasperempuan.go.id atau melalui direct message media sosial milik Komnas Perempuan.

  1. Meminta pendampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Ada kalanya tindak kekerasan harus ditangani secara hukum agar memberikan efek jera kepada pelaku. Korban maupun keluarga korban dapat meminta pendampingan LBH untuk menangani kasusnya hingga tuntas. Beberapa LBH juga menyediakan layanan bantuan secara gratis dengan persyaratan tertentu.

  1. Meminta pendampingan dari organisasi atau yayasan yang berfokus pada perlindungan perempuan korban kekerasan

Saat ini telah banyak yayasan atau organisasi yang menjadikan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan sebagai landasannya. Korban dapat meminta pendampingan dari organisasi/yayasan tersebut.

Referensi:

“Risk and Protective Factors|Sexual Violence|Violence Prevention|Injury Center|CDC.” Risk and Protective Factors|Sexual Violence|Violence Prevention|Injury Center|CDC, 5 Feb. 2022, www.cdc.gov/violenceprevention/sexualviolence/riskprotectivefactors.html.

“10 Ways to Prevent Sexual Violence – Women and Families Center (WFC) in Connecticut.” Women & Families Center (WFC) in Connecticut, womenfamilies.org/sexual-assault-center/10-ways-to-prevent-sexual-violence.

“Instrumen Modul and Referensi Pemantauan.” Komnas Perempuan | Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/menemukenali-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt.

Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan. “KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK.” KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK, www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3569/sapa-129-wujud-kehadiran-negara-tangani-kasus-kekerasan-perempuan-dan-anak.

Penulis: Lailatussyifah Nasution

Editor: Desy Putri R.

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *