
Kesetaraan dalam pernikahan kerap kali diasosiasikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan adanya kesamaan terhadap penghasilan yang dihasilkan oleh kedua belah pihak, adanya kesamaan dalam pembagian tugas rumah tangga seperti mencuci dan sebagainya, atau terkait dengan pembagian tanggung jawab dalam mengasuh anak. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa hal-hal tersebut akan menjadi hal yang esensial dalam keberlangsungan pernihan, tetapi konsep mendasar dari kesetaraan dalam pernikahan, tidak berlandaskan pada hal-hal tersebut.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), kesetaraan dalam pernikahan, terutama merujuk pada perempuan, tertuang pada pasal 15 dan pasal 16. Pada pasal 15 ayat 1, disebutkan:
“Negara-negara peserta wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di depan hukum”
Selain itu, pada pasal 16, secara garis besar, dijelaskan bagaimana dalam suatu hubungan pernikahan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, negara wajib menjamin hak-hak yang meliputi hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan, hak dan tanggung jawab sebagai orang tua terhadap urusan-urusan dengan anak, hak pribadi yang sama sebagai suami dan istri seperti hak untuk memilih nama keluarga, profesi dan jabatan, serta hak yang sama antara kedua belah pihak dalam pemilikan, perolehan, pengelolaan administrasi, penikmatan dan memindah tangankan harta benda.
Apabila bertolak pada dua pasal tersebut, maka dapat dipahami bahwa kesetaraan yang dimaksud dalam konteks pernikahan ini, berfokus pada bagaimana pasangan suami dan istri memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan urusan rumah tangga mereka dan juga memiliki kewajiban yang sama dalam melaksanakan urusan rumah tangga serta urusan mengenai anak. Selain itu, dalam CEDAW, tertera mengenai bagaimana negara berperan dalam menjalankan kewajibannya untuk menjamin hak-hak perempuan dalam menghadapi segala bentuk diskriminasi, terutama dalam kaitannya dengan suatu pernikahan. Negara yang telah menyetujui dan melakukan ratifikasi terhadap suatu perjanjian internasional atau konvensi, wajib untuk mengimplementasikan instrumen-instrumen yang terkandung di dalamnya mulai pada tingkat nasional hingga tingkat lokal. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa antara regulasi dan implementasi seringkali tidak sejalan.
Dalam menjamin terlaksananya instrumen atau nilai-nilai yang termuat dalam suatu regulasi atau kebijakan, maka peran negara – dalam konteks ini
pemerintah – sangatlah diperlukan. Hal ini mengingat bahwa negara merupakan pemangku kepentingan yang memiliki kuasa dalam menjalankan regulasi atau kebijakan tersebut, serta memberikan hukuman atau sanksi kepada mereka yang tidak menjalankan aturan yang telah ditetapkan. Pada CEDAW sendiri, berbagai negara di belahan dunia telah melaksanakan ratifikasi terhadap konvensi ini yang mana salah satunya adalah Jepang.
Jepang merupakan salah satu negara yang dapat dikatakan memiliki tingkat ketidaksetaraan gender yang cukup tinggi. Bahkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki semakin diperkuat dengan adanya konsep Katei (rumah tangga) yang mana menegaskan bahwasanya laki-laki menjadi tolak ukur dalam perubahan peranan di ruang publik yang bertujuan untuk membentuk karakter masyarakat suatu negara dengan kemajuan perekonomian. Selain itu, budaya patriarki di Jepang membuat posisi perempuan semakin ‘dipojokkan’. Hal ini disebabkan budaya tersebut lebih memposisikan laki-laki, atau ayah, sebagai pihak yang berada di atas dan berfokus pada pekerjaan untuk mencari nafkah, sedangkan perempuan menjadi pihak yang hanya harus berfokus pada urusan rumah tangga dan anak.
Kondisi ketidaksetaraan gender di Jepang ini pada gilirannya menarik perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 2009, PBB memberikan kritik pada Jepang yang disebutkan dalam dokumen CEDAW bahwa terdapat kesenjangan gender yang tinggi antara laki-laki dan perempuan di Jepang. Tak hanya itu, CEDAW juga turut mendesak Jepang untuk mengupayakan terciptanyan kesetaraaan gender antara laki-laki dan perempuan terutama kesenjangan pada bidang pekerjaan dan rumah tangga. Hal-hal mengenai praktik pemecatan kerja secara ilegal terhadap kaum perempuan yang sedang berada pada masa kehamilan dan masa persalinan agar dapat ditindak lanjuti segera oleh pemerintah Jepang.
Menanggapi kritikan tersebut, pemerintah Jepang kemudian memformulasikan dan mengkampanyekan kebijakan yang disebut Ikumen Project pada tahun 2010. Kebijakan Ikumen tersebut merupakan proyek pengasuhan anak oleh ayah yang bertujuan untuk menciptakan kesetaraan gender dan juga untuk menghapuskan budaya patriarki di Jepang secara tidak langsung. Selanjutnya, pada tahun 2015, keterlibatan pemerintah pada program ikuboss yang diprakarsai oleh Non-Profit Organization (NPO) Fathering Japan, suatu organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran seseorang perihal urusan rumah tangga, terutama terkait dengan anak, menjadi upaya lanjutan untuk meningkatkan kesetaraan gender di Jepang. Program tersebut merupakan sutu mekanisme pengambilan cuti pengasuhan anak yang mana ditujukan untuk dapat memengaruhi para petinggi perusahaan dalam memberikan kemudahan bagi karyawan yang hendak mengambil cuti dalam mengasuh anak.
Dilihat dari bagaimana negara Jepang mampu untuk meningkatkan kesetaraan gender, terutama dalam rumah tangga, menunjukkan bagaimana komitmen dan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui kesetaraan gender. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa peran pemerintah Jepang dalam memformulasikan kebijakan menjadi langkah yang krusial bagi penentu kesetaraan gender di negeri yang terkenal dengan bunga sakura tersebut.
Perlu diketahui bahwasanya peran pemerintah tidak berhenti hanya pada saat meratifikasi suatu perjanjian internasional atau konvensi, yang kemudian diadopsi menjadi kebijakan yang berlaku pada tingkat nasional hingga tingkat lokal. Namun, pemerintah tentu akan sangat berperan dalam pengimplementasian instrumen-instrumen yang tercantum pada perjanjian internasional atau konvensi. Menjadi penting bagi pemerintah dalam manjamin dan melindungi hak warga negaranya, terutama hak perempuan dalam suatu urusan rumah tangga. Hal ini disebabkan, perempuan merupakan kelompok masyarakat yang dapat dikatakan rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan rentan akan terenggutnya hak-hak mereka. Dalam konteks ini, hak-hak yang dimaksud merujuk pada hak perempuan dalam memilih atau memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan urusan rumah tangga dan anak – sehingga hal tersebut merugikan pihak perempuan. Maka dari itu, negara, dalam konteks ini pemerintah, wajib untuk menjamin dan melindungi hak perempuan melalui pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan hak perempuan dalam rumah tangga, agar baik perempuan maupun laki-laki memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
REFERENSI:
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Ind), (1979) (Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa). https://ham.go.id/download/konvensi-mengenai-penghapusan-segala-bentuk-diskriminasi-terhadap-perempuan-ind/
Prakoso, H. A., & Rudiono. (2022). Fathering Japan : Strategi Jepang Dalam Mencapai Kesetaraan Gender Sebagai Respon Terhadap Kritik PBB. Jurnal Perempuan Dan Anak, 5(1), 11–22.
Sharma, N. (2022). Talking about equality in marriages. THE TIMES OF INDIA. https://timesofindia.indiatimes.com/readersblog/whattheblog/talking-about-equality-in-marriages-41149/
Penulis: Digna Defianti
Editor: Desy Putri R