Ketepatan Penggunaan Istilah ‘Difabel’ dan ‘Disabilitas’

Sumber gambar: istockphoto.com

Suatu terminologi digunakan untuk memudahkan seseorang memaparkan suatu konsep, proses, keadaan, maupun sifat suatu objek agar mudah dipahami oleh orang lain. Terdapat makna yang mampu mempengaruhi secara psikologis ketika diungkapkan. Terminologi yang merujuk satu objek tertentu tentunya dapat menimbulkan efek positif maupun negatif ketika diungkapkan. Difabel dan disabilitas merupakan salah satu terminologi yang mengalami dilema dalam ketepatan penggunaannya. 

Diskursus terkait ketepatan penggunaan terminologi ini telah banyak dibahas oleh berbagai pihak. Namun, rupanya tidak sedikit masyarakat yang awam serta mengalami kebingungan dalam penggunaan terminologi–disebut juga istilah– difabel maupun disabilitas. Bahkan, mereka menganggap kedua istilah tersebut sama saja layaknya sinonim. Lantas, kapan saat yang tepat untuk menggunakan istilah difabel maupun istilah disabilitas?. Mari kita kupas satu persatu. 

Pengertian Difabel dan Disabilitas 

Apa itu Difabel?

Difabel merujuk pada istilah diffabled dalam Bahasa Inggris berasal dari akronim differently abled. Berdasarkan Urban Dictionary, difabel adalah orang dengan penyandang disabilitas yang dianggap memiliki kemampuan berbeda, bukan dianggap seseorang yang tidak mampu. Sehingga, dapat dipahami bahwa istilah difabel merujuk pada keterbatasan kemampuan seseorang yang mengalami disabilitas sesuai dengan macam yang dialaminya. Mereka tetap memiliki kemampuan untuk melakukan aktifitas sehari-hari walaupun dengan kondisi disabilitas yang dialami, namun dengan cara yang berbeda seperti misalnya menggunakan alat bantu. 

Pihak yang mendukung terkait istilah difabel menyatakan bahwa orang dengan disability tidak tepat apabila diartikan sebagai “ketidakmampuan”, namun mereka adalah orang dengan kemampuan yang berbeda. Istilah difabel muncul pertama kali di Amerika sekitar tahun 1980an. Pada 9 April 1985 muncul artikel dengan judul “Is the language itself disabled in that it can’t fairly define the handicapped?”. Artikel tersebut berisi gugatan yang ditujukan atas ketidakmampuan istilah yang ada untuk mendefinisikan orang penyandang disabilitas. Diskursus terkait istilah difabel menurut Mansour Fakih [2002] terdapat sumber persoalan pada diskursus ‘normal’ dan ‘cacat’ yang menopang konstruksi sosial istilah penyandang cacat dan berimplikasi pada berbagai bentuk diskriminasi, seperti; diskriminasi di bidang ekonomi, subordinasi, stereotyping, kekerasan, dan penyempitan akses soaial. 

Apa itu Disabilitas?

 Berdasarkan Undang-Undang No.8 tahun 2016, Pasal 1 disebutkan bahwa disabilitas merupakan setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. 

Perihal istilah ‘disabilitas’ tidak bisa terlepas dari perjalanan panjang para pegiat difabel untuk melakukan perubahan istilah yang sebelumnya disebut penyandang cacat. Dalam rangka ratifikasi CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) akhirnya diadakan semiloka pada tahun 2009  oleh Komnas HAM untuk mendefinisikan kata ‘disability’. Namun upaya tersebut tidak menghasilkan satu muara istilah, alih-alih menghasilkan berbagai alternatif istilah saja, diantaranya ; orang bekebutuhan khusus, penyandang ketunaan, dan difabel. Akan tetapi tidak memunculkan istilah ‘penyandang disabilitas’. Istilah penyandang disabilitas baru disepakati bersama kisaran tahun 2010  pada “Diskusi Pakar Untuk Memilih Terminologi Pengganti Istilah Penyandang Cacat” yang  diselenggarakan oleh Komnas HAM di Jakarta.  

Dipilihnya istilah ‘penyandang disabilitas’ dipengaruhi oleh atmosfer diskriminasi yang dialami akibat istilah yang populer digunakan sebelumnya yaitu ‘penyandang cacat’. Sehingga, pada tahun 2010 diambil kesepakatan bersama bahwa istilah baru tersebut mampu mendeskripsikan subyek yang dimaksud secara jelas dan tidak mengandung unsur negatif maupun kekerasan secara bahasa, tetap menumbuhkan semangat pemberdayaan dengan memperhatikan kesetaraan, harkat dan martabat manusia. Selain itu, istilah ‘penyandang disabilitas’ jika digunakan lebiih representatif, akomodatif, dan baku untuk kepentingan ratifikasi Konvensi. 

Terminologi ‘disabilitas’ jika dipahami melalui pendekatan paradigma model medis [Syafi’ie, 2020] menyatakan penyebutan tersebut tidak terlepas dari esensi ‘disabilitas’ sebagai penyakit individu. Melalui penyebutan ini pula dapat dibedakan terhadap golongan difabel yang dianggap tidak bisa mengoperasikan teknologi baru dan non difabel yang dianggap bisa mengoperasikan teknologi baru. Namun, paradigma ini kemudian mendapat kritik dari paradigma pendekatan sosial. Menyatakan bahwa, pendekatan model medis telah menjadi penyebab marginalisasi difabel secara kultural dan stuktural sebagai orang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah karena mengalami kekurangan fisik atau mental. 

Sehingga, dapat dipahami bahwa disabilitas merupakan istilah yang mengacu pada sebuah kondisi. Kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan kegiatan tertentu. Beberapa jenis disabilitas antara lain ; disabilitas fisik, sensorik, intelektual, dan mental. 

Kapan menggunakan istilah difabel dan disablitas ? 

Berbagai macam diskriminasi yang didapatkan oleh difabel menjadi sebuah tamparan bagi kita semua. Faktanya, kesetaraan mendapatkan hak dan perlakuan yang sama belum didapatkan oleh semua kalangan, termasuk kelompok difabel. Studi yang panjang atas perubahan terminologi ‘disabilitas’ dan ‘difabel’ menjadi bukti konkret memperjuangkan hak difabel dimana sampai perihal ‘istilah’ mempengaruhi jalannya pemenuhan hak-hak difabel tersebut. 

Istilah ‘disabilitas’ lahir dari adanya semangat memperjuangkan hak difabel. Sebab istilah sebelumnya yakni ‘penyandang cacat’ tertera pada undang-undang, berimplikasi pada penggunaan yang cenderung diskriminatif. Sehingga, dapat dipahami bahwa istilah ‘disabilitas’ lebih tepat apabila digunakan dalam lingkup formal maupun akademik selaras dengan undang-undang. Selain itu, perlu dipahami bersama bahwasannya ‘disabilitas’ merupakan sebuah kondisi yang dialami oleh seseorang, sehingga kurang tepat apabila sebagai istilah untuk menyebut suatu kelompok. 

Penggunaan istilah ‘disabilitas’ ternyata masih menimbulkan persoalan berupa pandangan terhadap kelompok difabel yang dianggap tidak mampu karena keterbatasan akibat penyakit individu. Hal tersebut selaras dengan sebutan cacat yang melekat pada kaum difabel sebelum pergantian istilah yang lebih humanis. Cacat dianggap memiliki makna setara dengan ‘ketidakmampuan’ (disabilities), berimplikasi pada cara pandang bahwa difabel bukan manusia seutuhnya. Istilah tersebut akhirnya mengarah pada aspek negatif yang lebih ditonjolkan berupa kekurangan dari kaum difabel. 

Berbeda dengan istilah difabel –differently abled– yang memiliki makna bahwa mereka adalah orang-orang dengan kemampuan berbeda. Istilah ini dianggap lebih humanis dan menjunjung rasa empati terhadap difabel. Sebab, istilah ini menganggap bahwa difabel merupakan orang-orang dengan kemampuan berbeda dan tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan alat bantu, serta berkarya sesuai dengan kelebihan yang dimiliki masing-masing individu tersebut. 

Faktanya pun berkata demikian, difabel memiliki kemampuan lebih pada bidang tertentu, meskipun ada salah satu bagian dirinya yang kurang sempurna. Dengan demikian, penyebutan istilah ‘difabel’ dianggap lebih memanusiakan, humanis, sarat akan rasa empati, dan menempatkan mereka untuk mendapatkan hak-hak secara adil dan setara. 

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat dipahami bahwa penggunaan istilah ‘difabel’ lebih baik digunakan dalam penyebutan sehari-hari dan penggunaanya untuk mengangkat derajat difabel serta berempati dalam rangka menggali kemampuan lebih yang mereka miliki. Disisi lain,  istilah ‘disabilitas’ tetap dapat digunakan pada ranah akademik dan formal karena masih menjadi terminologi undang-undang. Namun, tidak dipungkiri pula, istilah difabel dapat digunakan untuk istilah formal, karena telah disepakati bersama sebagai istilah yang sarat akan rasa empati kepada difabel. 

Referensi :

Maftuhin, Arif. Masalah Difabel. September 2014. http://pld.uin-suka.ac.id/2014/09/difabel-dan-penyandang-disabilitas.html# (accessed Juni 21, 2023).

Maftuhin, Arif. “Mengikat Makna Diskriminasi : Penyandang Cacat, Difabel, dan Penyandang Disabilitas.” INKLUSI: Journal of Disability Studies (The State Islamic University of Sunan Kalijaga) III, no. NO.2 (Juli-Desember 2016): 139-162.

Syafi’ie, M. “Diskursus Sebutan Warga Difabel.” law.uii.ac.id. November 11, 2020. https://law.uii.ac.id/blog/2020/11/11/diskursus-sebutan-warga-difabel/ (accessed Juni 20-22, 2023).

Tempo.co. Difabel. Januari 5, 2023. https://difabel.tempo.co/read/1675946/kerap-dianggap-sama-disabilitas-dan-difabel-ternyata-dua-makna-berbeda (accessed Juni 21-22, 2023).

Penulis : Aisyah Fitri A.

Editor : Desy Putri R.

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *