Kisah Penyintas KBGO dalam Bentuk Post a Picture (PAP)

Kekerasan Berbasis Gender yang menerpa perempuan bukan lagi barang baru di Indonesia. Menurut data dari CATAHU Komnas Perempuan 2022 dalam kurun waktu 10 tahun pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan (2012-2021) angka kekerasan berbasis gender cenderung naik. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) itu sendiri merupakan salah satu modifikasi kekerasan baru di dunia siber. Kekerasan ini merupakan salah satu serangan yang dilakukan terhadap tubuh, seksualitas serta identitas gender seseorang yang menggunakan teknologi digital sebagai fasilitasnya. Kemudahan mengakses internet telah mengubah pola hubungan interpersonal yang menentukan norma dalam bertindak dan berinteraksi. Melalui media sosial inilah yang kemudian dapat menjadi ancaman bagi masyarakat khususnya dalam memperpanjang kasus kekerasan gender yang ada. Ditambah dengan adanya fakta bahwa pengguna media sosial terbanyak dengan rentang umur 13-18 tahun sebesar 99,16% harus menjadi perhatian khusus. Hal tersebut karena pada usia remaja pada umumnya masih mudah untuk terbawa arus. Salah satu kejahatan seksual yang dapat menimpa remaja adalah tindakan pornografi melalui Post a Picture (PAP). Selaras dengan pendapat dari Klein and Cooper (2019) yang menyatakan bahwa media dalam dunia digital memberikan citra baru dari berbagai jenis tindakan pornografi salah satunya Post a Picture atau PAP.  Post a Picture merupakan salah satu bentuk tindakan dengan cara meminta, memberi atau membagikan foto dan video organ tubuh yang ada pribadi dan tabu. 

Penulis menghadirkan tiga korban penyintas Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang bermula dari PAP. Mereka membagikan pengalaman hidupnya agar dapat menjadi pembelajaran bagi setiap orang yang membaca kisahnya. Kekerasan berupa PAP terjadi ketika korban dipaksa mengirimkan foto pornografi dan mendapatkan pelecehan melalui foto-fotonya. Foto-foto tersebut seperti; 1) Foto mengenakan pakaian dalam, 2) Foto dengan memperlihatkan sedikit payudara, 3) Foto dengan baju dan pose seksi. Ketiga korban mengungkap bahwa pelecehan yang diterimanya dilakukan oleh pacar. Selaras dengan data dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan dimana Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) kerap dilakukan oleh mantan pacar sebanyak 549 kasus dan pacar sebanyak 230 kasus. Dalam wawancara yang penulis lakukan, korban menyatakan bawah kekerasan di dunia siber yang dialaminya berlanjut di dunia nyata. Dimana mereka juga mendapatkan kekerasan secara verbal, ketidaknyamanan hingga gangguan emosional dan psikis. 

Terdapat hal menarik yang berhasil penulis temukan yaitu adanya kesamaan pola dari ketiga pelaku untuk mengelabui korban. Para korban bercerita bahwa pemaksaan tersebut dilakukan secara tidak langsung melainkan dengan cara yang manipulatif. Artinya, pelaku tidak dengan serta merta melakukan kekerasan untuk memaksa korban tetapi menggunakan cara-cara halus yang dapat mengelabui korban. Adapun cara tersebut adalah dengan bersikap dingin, mendiamkan korban, atau dengan melontarkan kata-kata merayu yang nantinya membuat korban secara terpaksa memberikan apa yang diinginkan pelaku. Setidaknya ketiga informan (korban) sepakat jika pelaku seringkali cuek, tidak membalas chat, atau bahkan mengacuhkan dirinya saat foto PAP yang diinginkan tak dikabulkan. Hal yang lebih menyeramkan dari pemaksaan ini adalah ketika pelaku sudah berani melakukan kekerasan secara fisik, dibuktikan dengan salah satu informan (korban) bahwa pelaku kerap menjambak, menarik rambut, dan hampir menampar korban ketika bertemu apabila korban menolak mengirim PAP.  Penjelasan di atas dapat menunjukkan jika ada bentuk kekerasan yang terjadi setelah korban menolak memberikan PAP kepada pelaku.

Lantas mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal tersebut karena kepiawaian pelaku dalam memanipulasi pola pikir dan sikap korban. Sikap manipulatif pelaku pada akhirnya korban mentoleransi tindakan pelaku. Pada awal hubungan pelaku melakukan bonding yang baik dengan korban. Di sisi lain korban mengira perhatian yang diberikan adalah bentuk cinta. Bahkan, tak jarang pelaku meminta maaf akan kesalahan yang telah dilakukan. Kondisi tersebut membuat korban merasa bingung. Penyebab lain mengapa korban kerap kali mentoleransi kejahatan yang ia terima adalah 1)Perasaan cinta yang begitu kuat dan besar yang dirasakan korban terhadap pelaku; 2)Trauma masa lalu yang menyebabkan inner child pada korban, sehingga korban takut ditinggalkan atau takut tidak bertemu seseorang seperti pelaku; 3) Takut jika hubungan berakhir; 4)Pelaku yang terlalu manipulatif sehingga KBGO PAP terjadi seperti pola berulang; 5) Adanya dominasi pelaku terhadap korban sehingga korban tidak bisa menolak permintaan pelaku; 5) Hubungan yang terjalin lama dan korban terlalu percaya pada pelaku; 6) Korban percaya pelaku akan berubah suatu hari nanti; 6) Komunikasi yang terlalu sering menyebabkan alur pembicaraan semakin toksik; 7) Perselingkuhan dan kegagalan cinta sebelumnya.

Perlunya komitmen bersama untuk mengatasi permasalahan ini. Kekerasan Berbasisi Gender Online (KBGO)merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mampu memberikan dampak cukup signifikan bagi korban. Dampak yang dirasakan ketiga korban antara lain adanya rasa tidak berdaya (powerlessness), takut, dan tertekan ketika korban bertemu pelaku, adanya perasaan khawatir, cemas, hingga mental yang down yang membuat korban menjadi mudah sakit secara fisik yang ditunjukan dengan adanya penurunan berat badan, dan kenaikan asam lambung akibat stress, adanya sikap menyalahkan diri sendiri, merasa diri gagal dan pantas mendapat perlakuan tersebut dimana hal ini menunjukkan adanya distorsi kognitif pada korban sehingga korban beranggapan bahwa penyebab kekerasan di luar dari kesalahan pelaku melainkan pada dirinya sendiri, adanya ancaman secara tidak langsung oleh pelaku seperti dengan bersikap dingin dan bersikap acuh pada korban juga termasuk sebagai penganiayaan emosional sehingga menghadirkan perasaan tidak dicintai dan takut ditinggalkan. 

Keterangan: 

Wawancara dilakukan oleh: Indah Ariesty Liyan1, Okamaisya Sugiyanto2, Andrea Cecilya Pationom3 pada (Desember 2022)

Penulis : Okamaisya Sugiyanto

Editor : Desy Putri R.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *