Marital Rape: Kejinya Pemerkosaan dalam Rumah Tangga

Pernikahan adalah sebuah institusi antropologi, budaya, dan hukum yang menetapkan hak dan kewajiban yang diakui secara sosial antara individu. Namun, terjadinya kekerasan seksual dan serangan fisik dalam rumah tangga/pernikahan, secara tradisional masih ada dalam wilayah hukum yang abu-abu. Mungkin kalian akan berpikir, memangnya ada kekerasan seksual dalam pernikahan? 

Apa itu Marital Rape

Kekerasan seksual dalam pernikahan jelas ada, dan hal ini seringkali disebut dengan marital rape atau perkosaan dalam suatu pernikahan. Definisi hukum marital rape bervariasi di berbagai negara. Tapi secara umum didefinisikan sebagai hubungan seksual yang tidak diinginkan atau penetrasi baik oral, anal, atau vagina yang diperoleh dengan paksaan atau ancaman kekerasan. Sedangkan dalam artikel“The Dark Shadow of Marital Rape: Need to Change the Narrative”, marital rape merupakan kekerasan seksual paksa oleh satu pasangan terhadap yang lain tanpa persetujuan (non-consensual). 

Komnas Perempuan menjelaskan beberapa jenis marital rape. Hal ini terjadi ketika suami memaksa istri untuk berhubungan seks saat menstruasi. Suami memaksa istri memasukkan benda ke dalam vaginanya, suami memaksa istri untuk melakukan threesome, istri dipaksa berhubungan seks setelah baru melahirkan, istri dipaksa oral seks, anal sex sampai berdarah, dan lain sebagainya 

Namun, sangat disayangkan, bahwa di Indonesia saat ini belum ada instrumen hukum yang secara jelas memberikan definisi perkosaan dalam pernikahan/marital rape. 

Data Statistik Marital Rape di Indonesia

Marital rape termasuk ke dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan tahun 2021, kekerasan terhadap istri mencapai 3.221 poin atau 50% dari seluruh tuntutan di ranah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam artikel “Feminist Consciousness To Prevent Marital Rape Victimization of Women During the Covid-19 Pandemic”, kekerasan terhadap istri meliputi empat bentuk, yaitu ekonomi, fisik, psikis dan seksual. Kekerasan seksual bermacam-macam jenisnya, salah satunya pemerkosaan dalam pernikahan yang jarang mendapat perhatian dan luput dari pemberitaan. Khusus marital rape sendiri, pada 2019 angkanya mencapai 195 kasus, 2018 sebanyak 100 kasus dan 2017 sebanyak 57 kasus. 

Kendati demikian, Komnas Perempuan menyatakan bahwa terdapat penurunan laporan kasus marital rape dan hal ini tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Terdapat angka gelap yang tidak dilaporkan dalam kasus pemerkosaan dalam pernikahan. Jadi, dapat dikatakan bahwa perkosaan dalam pernikahan sebagian besar, tetapi tidak secara eksklusif, dialami oleh perempuan.

Konstruksi Sosial Masyarakat Tentang Marital Rape

Perempuan dalam suatu pernikahan yang menjadi korban marital rape umumnya tidak menyadari bahwa mereka adalah korban. Konstruksi sosial menjadikan seolah-olah suami berhak menguasai seluruh tubuh istri. Dengan kata lain, pemerkosaan dalam pernikahan didukung oleh kelas sosial dalam masyarakat atau masyarakat yang menganggap bahwa laki-laki memiliki hak otonom dalam keluarga. Karena laki-laki merasa berhak melakukan apa saja terhadap perempuan, maka kebanyakan laki-laki menganggap pernikahan sebagai legitimasi resmi kekuasaannya atas perempuan. 

Dilatarbelakangi oleh marital rape yang jarang mendapat perhatian publik, posisi istri dalam keluarga menjadi lemah. Faktor kelemahan istri yang paling banyak dalam keluarga dan masyarakat adalah budaya patriarki. Hal ini menempatkan istri tidak setara dalam keluarga dan masyarakat. 

Tiadanya Regulasi yang Mengatur Marital Rape 

Dari sisi hukum, terdapat ketidakjelasan konstruksi yuridis mengenai marital rape, yang memperparah kondisi perempuan korban perkosaan dalam pernikahan. Jika hubungan seksual terjadi dalam pernikahan yang sah, hubungan seksual suka sama suka atau tidak, akan dianggap normal dan ideal. Kondisi ini berkontribusi pada bagaimana kasus perkosaan dalam pernikahan diselesaikan melalui jalur hukum. Setelah 17 tahun, filosofi UU Penghapusan KDRT untuk menjaga keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera belum juga terwujud. Ketiadaan regulasi mengenai perkosaan dalam pernikahan mengakibatkan putusan pengadilan perkosaan dalam pernikahan tidak memberikan perlindungan yang maksimal bagi korban. 

Perempuan sebagai korban dari marital rape, mendapatkan berbagai viktimisasi karena perbuatan suaminya tersebut. Dikarenakan seringkali perempuan tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban (ada konstruksi sosial), dampaknya adalah mereka semakin disalahkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, perempuan mengalami victim-blaming. Padahal, istri sebagai korban seharusnya mendapatkan pembelaan, malah disalahkan.  Hal inilah yang pada akhirnya membuat korban semakin menderita secara psikologis. Korban dapat menderita secara psikologis seperti depresi, stres, dan post traumatic stress disorder (PTSD). 

Dengan demikian, kita harus memahami bahwa perempuan bukanlah objek seksual; perempuan adalah manusia yang setara dengan laki-laki dan berhak untuk melindungi tubuhnya dari segala bentuk kekerasan sebagai manifestasi dari harga dirinya. Namun dalam praktiknya, perempuan seringkali dijadikan objek seksualitas oleh laki-laki. 

Pemerkosaan tidak hanya dialami oleh perempuan yang belum menikah tetapi juga perempuan yang sudah menikah. Suami yang seharusnya melindungi dan mencintai perempuan sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri dan tubuhnya sendiri, malah melukai perempuan baik secara fisik maupun psikis. 

Kita dapat membantu perempuan korban marital rape agar segera terlepas dari belenggu sang suami. Salah satu caranya adalah terus mengadvokasinya seberapa kejamnya realita bahwa perkosaan dalam pernikahan itu nyata adanya dan fenomena tersebut secara sadar atau tidak ada di sekitar kita. Selain itu, upaya untuk memaksimalkan UU Penghapusan KDRT juga harus turut diperjuangkan agar korban dari kasus-kasus marital rape mendapat keadilan. 

Referensi

Banerjee, D., & Rao, T. S. S. (2022). The Dark Shadow of Marital Rape: Need to Change the Narrative. Journal of Psychosexual Health, 4(1), 11–13. https://doi.org/10.1177/26318318221083709

CNN Indonesia. (2021, June 18). Konsep Marital Rape, Masih Dianggap Antara Ada dan Tiada. CNN Indonesia. Retrieved August 6, 2022, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210617134110-12-655661/konsep-marital-rape-masih-dianggap-antara-ada-dan-tiada

Ferro, C., Cermele, J., & Saltzman, A. (2008). Current Perceptions of Marital Rape: Some Good and Not-So-Good News. Journal of Interpersonal Violence, 23(6), 764–779. https://doi.org/10.1177/0886260507313947

Kasuma, I., Azhara, F., Ilfa, A.,and Farhana, S.(2022). Another Second Chance: Rehabilitation of marital rape offender for the victim’s recovery. The Indonesian Journal of Socio-Legal Studies, 1(2), Article 4. 

Situmorang, J. R. (2021). Feminist Consciousness To Prevent Marital Rape Victimization of Women During the Covid-19 Pandemic. Buana Gender: Jurnal Studi Gender & Anak, 6(1), 1-12. 

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *