Married By Accident : Betulkah Sebuah Solusi Pada Kehamilan Anak?

Pernikahan dini dalam masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang lumrah. Di berbagai daerah Indonesia, pernikahan dini kerap sekali ditemukan. Faktor utama yang selalu terjadi adalah kehamilan pada anak yang tidak direncanakan.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2017 persentase perempuan yang menikah dan hamil sebelum berusia 18 tahun sebesar 63.08 persen. Dari data Susenas terdapat juga korelasi antara pernikahan anak dan kehamilan anak. Persentase angka pada anak yang menikah dan hamil dibawah usia 15 tahun tersebut sebanyak 46,84 persen. Dari data tersebut dapat terlihat jika pernikahan anak menjadi solusi bagi kehamilan yang tidak direncanakan.

Married by accident selalu dijadikan solusi bagi anak-anak yang telah melakukan hubungan seksual dan berujung pada kehamilan. Pernikahan tersebut selalu terjadi atas dasar paksaan dari pihak keluarga. Tujuan utamanya tentu menutup aib atau malu bagi keluarga. Sehingga pasangan anak tersebut pun menjalani kehidupan rumah tangga tanpa memahami esensi dan makna pernikahan itu sendiri.

Kenapa Married By Accident Bukanlah Solusi yang Tepat

Tentu tidak ada kesiapan bagi anak untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Pernikahan tersebut dilakukan sebatas formalitas semata karena telah terjadi kehamilan yang tidak direncanakan dan diinginkan. Terlebih lagi biasanya pernikahan yang dilaksanakan hanya bersifat paksaan dari keluarga.

Menghadapi kehidupan pernikahan dengan segala dinamikanya dan tanpa pengetahuan yang cukup akan memberi tekanan berat pada mental. Terlebih lagi pasangan tersebut belum memiliki kondisi psikologis yang matang sehingga belum mampu bersikap bijak dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Akibat pernikahan remaja juga membuat mereka harus meninggalkan sekolah. Berdasarkan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2018, rata-rata lama sekolah baik untuk perempuan maupun laki-laki yang melangsungkan perkawinan setelah usia 18 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang melangsungkan perkawinan sebelum 18 tahun.

Dari data tersebut terlihat jika mereka harus meninggalkan sekolah dan dipaksa untuk menjadi dewasa sebelum waktunya demi keberlangsungan rumah tangga. Masih ditambah lagi kurangnya pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja lalu berujung kesulitan finansial maupun kesejahteraan ekonomi.

Pernikahan anak juga bisa menimbulkan ketidaksetaraan gender. Dari jurnal Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya karya Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, disebutkan jika mempelai anak memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung. Dominasi pasangan sering menyebabkan anak rentan terhadap KDRT.

Perkawinan anak juga dapat berdampak negatif pada kehamilan. Kehamilan pada usia dibawah 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun anak. Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan yang dapat meningkatkan risiko keguguran, kesulitan saat persalinan, obstructed labour (kelahiran macet), bahkan kematian.

Lalu Bagaimana Solusinya?

Mengatakan ‘tidak’ kepada anak yang sedang mengalami masa peralihan adalah hal yang sia-sia. Pada fase peralihan tentu mereka sedang dilingkupi banyak pertanyaan dan ingin mencoba banyak hal. Meskipun begitu mereka akan memahami jika perkataan ‘tidak’ tersebut dibarengi dengan pemahaman seputar seks dan kesehatan reproduksi sehingga mereka akan mempunyai pertimbangan yang lebih baik jika ingin melakukannya.

Sebuah contoh menarik dapat dilihat dari Belanda. Di sana, pendidikan seks telah dimulai dari tingkat pendidikan yang paling dasar, yakni taman kanak-kanak. Sejak usia tersebut mereka telah diajarkan perbedaan biologis antara tubuh perempuan dan laki-laki serta kesehatan reproduksi. Lalu sebelum tingkat sekolah menengah mereka diajarkan tentang keberagaman seksual, identitas gender, pengambilan keputusan jika ingin berhubungan intim, dan penggunaan kontrasepsi. Alhasil Belanda menjadi negara yang memiliki angka kehamilan dini terendah di antara negara-negara Uni Eropa.

Di Indonesia sendiri pendidikan seks yang diajarkan dalam pendidikan formal masih terbatas dalam pelajaran sains semata. Pengetahuan seputar seks, asas konsensual dalam berhubungan, penggunaan kontrasepsi, kesehatan reproduksi, dan kesetaraan gender belum ditemukan dalam kurikulum pendidikan formal. Pembahasan yang diajarkan masih terbatas tentang organ reproduksi dan penyakit menular seksual tanpa mengajarkan bagaimana prosesnya. Penggunaan kontrasepsi, akses terhadap kontrasepsi, atau asas konsensual dalam berhubungan biasanya tidak diajarkan.

Padahal penelitian mengungkapkan jika remaja yang menerima pendidikan seks bisa mengurangi hubungan yang berisiko dan menurunkan angka kehamilan dini. Hal ini dipercaya jika remaja memiliki informasi soal seks dan kontrasepsi mereka bisa mempersiapkan diri dalam mengambil suatu keputusan. Edukasi seks secara luas dan menyeluruh dianggap lebih efektif dibandingkan edukasi tentang pencegahan hubungan di luar nikah semata.

Penelitian di Inggris juga mengungkapkan jika orang tua dinilai lebih efektif sebagai sumber bagi anak-anak dalam edukasi seks. Edukasi yang dilakukan adalah dengan cara mengadakan pertemuan antara orang tua dan guru di sekolah untuk membahas cara-cara komunikasi tentang masalah seksual. Bahkan para orang tua juga diberi materi video sehingga bisa belajar secara mandiri dan memiliki pemahaman yang mendalam (tidak hanya mengandalkan pertemuan di sekolah). Hal ini dilakukan untuk membantu orang tua agar tidak canggung dalam memberikan informasi seputar seks dan untuk mengurangi angka kehamilan pada anak.

Sayangnya edukasi seks di Indonesia masih dianggap tabu. Masih banyak pemikiran yang salah jika edukasi seks sama dengan mempromosikan seks bebas. Padahal edukasi seks bisa membantu remaja dalam mempersiapkan diri dan mempertimbangkan secara matang jika ingin melakukan suatu hubungan. Selain itu juga dapat berperan dalam menurunkan angka kehamilan dini, pernikahan anak, maupun pelecehan seksual.

Agar tidak ada lagi married by accident, yuk perdalam wawasan kita! Dimulai dari diri kita sendiri lalu ajaklah orang-orang di sekitar kita!

Penulis : Wa Ode Isyraq Asjad Hawwa

Referensi

Drwal, M., Głaszcz, K., Taracha, A., Krupa, A., Padała, O., & Maciejewski, R. (2016). Prevention of STI And Teenage Pregnancies Through Sex Education. Polish Journal of Public Health, 126(1).

Equality Now. 2021. What Are the Long Term Impacts of Child Marriage? Your Questions Answered. Diakses dari https://www.equalitynow.org/long_term_impacts_child_marriage

Fadlyana, E., & Larasaty, S. (2016). Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Sari Pediatri, 11(2), 136-41.

Rough, B., 2021. How the Dutch Do Sex Ed. [online] The Atlantic. Diakses dari https://www.theatlantic.com/family/archive/2018/08/the-benefits-of-starting-sex-ed-at-age-4/568225/

Statistik, B. P. (2020). Pencegahan Perkawinan Anak. Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda. https://www.unicef.org/indonesia/media/2851/file/Child-Marriage-Report-2020.pdf

Turnbull, T., van Wersch, A., & van Schaik, P. (2008). A Review of Parental Involvement In Sex Education: The Role For Effective Communication In British Families. Health Education Journal, 67(3), 182–195. https://doi.org/10.1177/0017896908094636

What Are The Long Term Impacts of Child Marriage? Your Questions Answered. Equality Now. Diakses dari https://www.equalitynow.org/long_term_impacts_child_marriage.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *