Mendobrak Hambatan atau Membangun Belenggu? Dampak Child Marriage terhadap Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan

Source: deasafirabasori.com/social-media-child-marriage

Child marriage atau perkawinan anak merupakan isu yang marak dijumpai di Asia Tenggara, Timur Tengah, Amerika Latin, Asia Selatan, dan Eropa. Statistik menunjukkan bahwa sekitar 12 juta anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun setiap tahunnya (Girls Not Brides Website, 2017). Fakta tersebut menjadikan child marriage sebagai isu global yang harus yang harus ditangani secara kolektif oleh komunitas internasional.

Indonesia dianggap sebagai salah satu kontributor terbesar dalam kasus pernikahan anak di dunia. Pada tahun 2018 pernikahan dini di Indonesia mencapai angka 1.184.100 dengan esensi perempuan yang menikah di usia kurang lebih 18 tahun (Pusparisa, 2020). Child marriage di Indonesia dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, kebudayaan, sosial, dan minimnya pendidikan, yang mengarah pada siklus yang melazimkan ketidaksetaraan gender dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak perempuan.

Apa saja akar penyebab maraknya isu child marriage di Indonesia?

Komnas Perempuan mencatat, terdapat 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan sepanjang tahun 2021. Hal ini menandakan bahwa child marriage merupakan isu krusial yang tengah dihadapi Indonesia.  Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap keberlangsungannya, antara lain:

  1. Kemiskinan: Kesulitan ekonomi merupakan faktor umum yang menyebabkan terjadinya pernikahan anak di Indonesia, karena keluarga mungkin melihatnya sebagai cara untuk mengurangi beban keuangan untuk menghidupi anak-anak mereka.
  2. Kepercayaan budaya: Di beberapa komunitas budaya di Indonesia, pernikahan anak dipandang sebagai praktik tradisional yang sangat lazim dan diwariskan secara turun-temurun.
  3. Kurangnya pendidikan: Anak-anak yang tidak bersekolah dan memiliki keterbatasan akses pendidikan lebih rentan menjadi korban praktik perkawinan anak. Hal ini dikarenakan mereka yang mungkin tidak menyadari dampak dan konsekuensi negatif dari pernikahan usia dini.
  4. Regulasi dan penegakan hukum yang lemah: Hukum di Indonesia mengenai child marriage tidak ditegakkan secara konsisten yang tentunya dibuktikan dari masih banyaknya praktik perkawinan anak. Aparat penegak hukum di Indonesia juga tidak melihat urgensi penetapan batas usia perkawinan yang menyebabkan amandemen UU Perkawinan tidak kunjung terealisasi.
  5. Tekanan keluarga: Tidak sedikit ditemukan kasus dimana anggota keluarga mendorong anak mereka untuk menikah dini karena berbagai alasan, termasuk keinginan untuk mengontrol seksualitas mereka atau untuk mengatur aliansi pernikahan.
  6. Pola asuh dan lingkungan sosial: Kedua faktor ini berperan penting dalam mempengaruhi kemungkinan seorang anak menjadi korban child marriage. Hal ini dikarenakan pola asuh dan interaksi sosial dapat membentuk pola pikir seseorang dalam menanggapi kasus child marriage, yang dimulai dari norma dan ekspektasi sosial dalam masyarakat hingga doktrin kesenjangan peran gender yang tertanam melalui budaya patriarki di lingkungan keluarga.

Faktor-faktor ini, ditambah dengan kurangnya partisipasi politik dan sumber daya yang terbatas dalam mengampu pendidikan dan perlindungan anak, menjadi kontribusi membelenggunya fenomena perkawinan anak di Indonesia.

Mengapa fenomena child marriage menjadi penghambat pemberdayaan perempuan?

Child marriage berbahaya bagi anak-anak, terutama anak perempuan, karena sering kali membatasi kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan, menempatkan mereka pada risiko kekerasan dalam rumah tangga, dan meningkatkan kemungkinan masalah kesehatan yang terkait dengan kehamilan dini. Anak perempuan yang menikah muda sering kali harus putus sekolah, sehingga membatasi peluang karier dan ekonomi mereka di masa depan.

Pertama, child marriage menyebabkan anak perempuan kehilangan masa kecil dan pendidikannya. Dengan menikah di usia muda, anak perempuan dipaksa untuk meninggalkan sekolah dan memikul tanggung jawab orang dewasa seperti pekerjaan rumah tangga, membesarkan anak, dan berhubungan seksual. Hal ini membuat mereka kehilangan hak atas pendidikan dan membatasi kesempatan mereka untuk mengembangkan diri secara pribadi dan profesional. Akibatnya, pengantin anak cenderung buta huruf dan tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk kemandirian ekonomi.

Kedua, pernikahan anak meningkatkan risiko kekerasan dan pelecehan dalam rumah tangga. Banyak ditemukan kasus pernikahan usia muda antara anak perempuan dengan laki-laki lebih tua yang memiliki lebih banyak kekuasaan dan kontrol atas mereka. Hal ini menempatkan mereka pada risiko yang lebih tinggi terhadap kekerasan fisik, seksual, dan emosional, serta eksploitasi dan pemaksaan. Efek psikologis dari pelecehan bisa sangat menghancurkan dan dapat mengakibatkan trauma jangka panjang dan rasa rendah diri.

Ketiga, pernikahan anak meningkatkan risiko masalah kesehatan yang terkait dengan kehamilan dini. Anak perempuan yang menikah di usia muda lebih mungkin untuk hamil ketika tubuh mereka belum sepenuhnya berkembang, yang dapat menyebabkan fistula uteri, kematian ibu, dan masalah kesehatan lainnya. Kehamilan dini juga membatasi mobilitas dan kesempatan anak perempuan untuk mengembangkan diri dan profesi mereka, sehingga menyulitkan mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.

Terakhir, pernikahan anak melanggengkan ketidaksetaraan gender dan memperkuat norma-norma patriarki. Dengan memaksa anak perempuan untuk menikah di usia muda, pernikahan anak memperkuat gagasan yang menganggap bahwa perempuan lebih rendah dan peran mereka di masyarakat hanya sebagai istri dan ibu. Hal ini juga memperkuat stereotip gender dan membatasi kesempatan anak perempuan untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional.

Lantas, bagaimana seharusnya kita menanggapi isu-isu perkawinan anak?

Child marriage adalah permasalahan serius yang berdampak luas bagi kesejahteraan dan prospek masa depan anak perempuan. Penting untuk menanggapi masalah ini dengan mengatasi akar penyebabnya, seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan norma-norma budaya. Hal ini dapat diwujudkan melalui program pendidikan dan pemberdayaan untuk anak perempuan dan keluarga mereka, serta intervensi berbasis masyarakat untuk mengubah norma-norma sosial.

Upaya nyata yang dapat dilakukan adalah mempertegas hukum yang melarang pernikahan di usia muda dengan menetapkan usia minimum pernikahan, memberikan penyuluhan dan sosialisasi agar masyarakat memahami konsekuensi negatif pernikahan dini, menjadikan pendidikan formal sebagai wadah untuk mengedukasi anak tentang problematika pernikahan usia dini, edukasi terkait bahayanya child marriage terhadap kesehatan reproduksi, serta memberikan gambaran kasus terkait dampak yang terjadi akibat pernikahan dini.

Perlu diketahui pula bahwa sangat penting untuk melibatkan laki-laki dan anak laki-laki dalam diskusi dan meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif perkawinan anak. Karena, pada akhirnya diperlukan pendekatan dari berbagai sisi untuk benar-benar mengakhiri praktik yang merugikan ini.

Referensi

Fadilah, D. (2021). Tinjauan Dampak Pernikahan Dini Dari Berbagai Aspek. Pamator Journal 14 (2): 88–94.

Harruma, I. (2022). Kasus Pernikahan Dini di Indonesia. https://nasional.kompas.com/read/2022/10/02/00000061/kasus-pernikahan-dini-di-indonesia. Diakses pada 11 Februari 2023.

Lahaling, H., Lasori, S. A., Makkulawuzar, K., Yunus, Y., & Salam, S. (2022). Children’s Rights In The Context Of Child Marriage In Gorontalo Province. SASI, 28(2), 234-243.

Maudina, L. D. (2019). Dampak pernikahan dini bagi perempuan. Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, 15(2), 89-95.

Qolbi, I. K. (2018). Mengurai Problematika Hukum Perkawinan Di Bawah Umur di Indonesia. https://kemenag.go.id/read/mengurai-problematika-hukum-perkawinan-di-bawah-umur-di-indonesia-n3gbn. Diakses pada 5 Februari 2023.

Penulis: Syabilla Himaningtyas Sudarpo

Editor: Desy Putri R

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *