sumber: https://www.freepik.com/
Seiring dengan perkembangan teknologi dan arus globalisasi yang semakin meluas, berbagai aktivitas yang penuh dengan tekanan pun tercipta dan berdampak pada munculnya berbagai permasalahan, termasuk gangguan kesehatan mental. Mulai dari tekanan saat sekolah, sulitnya mencari pekerjaan, hingga tekanan dalam keluarga, dapat menjadi pemicu munculnya masalah kesehatan mental. Isu ini menjadi masalah yang krusial karena sangat memengaruhi kualitas hidup seseorang.
Gangguan kesehatan mental memerlukan perawatan atau penanganan yang tepat. Setelah mendapat diagnosis dari ahli kejiwaan, pasien akan mendapat perawatan dengan berbagai metode. Salah satu metode yang digunakan dalam menangani permasalahan ini disebut Dialectical Behavior Therapy (DBT).
Apa itu Dialectical Behavior Therapy?
Istilah Dialectical Behavior Therapy pertama kali dicetuskan oleh Marsha Linehan, seorang psikolog asal Amerika Serikat, pada tahun 1993. Dialectical Behavior Therapy (DBT) merupakan suatu intervensi terapi psikoteraupetik yang bertujuan untuk membantu pasien dalam mengendalikan emosi dan mengelola hubungan interpersonal atau mengurangi konflik dalam hubungan. Sedangkan menurut American Psychological Association (APA), DBT didefinisikan sebagai psikoterapi fleksibel yang terdiri atas terapi perilaku, terapi perilaku kognitif (CBT), dan kesadaran.
Dialectical Behavior Therapy merupakan pengembangan dari metode konseling Cognitive Behavioural Therapy (CBT), karena ditemukan fakta bahwa teknik CBT kurang efektif untuk diterapkan pada pasien Borderline Personality Disorder (BPD) dan perilaku upaya bunuh diri. CBT hanya berfokus pada perubahan yang terjadi. Menurut Linehan, seseorang perlu menerima apa yang ada dalam dirinya sehingga ia mengembangkan teknik konseling DBT yang tidak hanya menekankan pada perubahan, tetapi juga pada penerimaan diri pasien.
Istilah “dialektis” dalam penyebutan terapi ini mengacu pada penggabungan dua gagasan yang saling berlawanan. Gagasan pertama yaitu penerimaan atas realitas hidup dan perilaku, serta gagasan kedua adalah perubahan situasi dan perilaku.
Proses terapi dalam metode ini dilakukan melalui empat tahap, yaitu:
- Tahap 1
Pada tahap pertama, terapis dan pasien bekerja sama untuk mengendalikan dan mengurangi perilaku yang berbahaya. Pasien juga akan belajar kemampuan untuk mengelola emosi.
- Tahap 2
Seseorang akan mulai belajar mengatasi rasa sakit akibat trauma yang pernah dialami. Selain itu, pasien juga diajak mengidentifikasi dan menguraikan emosi-emosi yang tidak tervalidasi pada masa kecilnya.
- Tahap 3
Tahap ini menekankan pada pengembangan self-esteem dan penyelesaian masalah yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari pasien. Tujuannya adalah untuk membantu seseorang bertanggung jawab atas tindakan mereka.
- Tahap 4
Pada tahap terakhir, pasien ditargetkan untuk merasa lengkap dan mampu menjalani hidup yang lebih bermakna melalui pemenuhan spiritualnya, serta senantiasa merasa bahagia.
Apa Tujuan dari Terapi Ini?
Terapi ini awalnya dirancang untuk membantu pengobatan gangguan kepribadian ambang atau Borderline Personality Disorder (BPD), yang ditandai dengan perilaku impulsif, perubahan suasana hati, dan perubahan cara berpikir mengenai dirinya sendiri dan orang lain. Kini, DBT telah diadaptasi oleh ahli kesehatan mental untuk mengobati berbagai kondisi lain, seperti gangguan makan atau eating disorder, depresi, bipolar, gangguan stress pasca-trauma (PTSD), dan penyalahgunaan zat terlarang.
Terapi ini bertujuan untuk membantu pasien mengelola emosi negatif dengan merasakan dan menerima emosi tersebut. Dengan kemampuan mengelola emosi, pasien akan lebih mudah untuk mengubah perilaku yang dapat membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain.
Empat tujuan khusus yang hendak dicapai dalam Dialectical Behavior Therapy (DBT) disebut empat hirarki target konseling, yang terdiri atas:
1. Pengurangan perilaku yang membahayakan nyawa
2. Pengurangan perilaku yang mengganggu konseling
3. Pengurangan perilaku yang mengurangi kualitas hidup
4. Peningkatan keterampilan dalam berperilaku
Empat Komponen dalam Dialectical Behavior Therapy
Terapi ini memiliki empat komponen utama, yakni:
- Grup pelatihan skill. Grup pelatihan ini berfokus pada peningkatan kemampuan perilaku pasien. Kelompok dibentuk seperti kelas pada umumnya, dengan pemimpin kelas mengajarkan keterampilan perilaku dan memberikan pekerjaan rumah untuk berlatih menerapkan keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
- Perawatan individual. Terapi DBT individu ini difokuskan pada peningkatan motivasi pasien dan membantu pasien untuk menerapkan keterampilan dalam peristiwa tertentu dalam hidup mereka. Terapi individu berlangsung sekali seminggu selama 60 menit dan berjalan bersamaan dengan grup keterampilan.
- Pelatihan melalui telepon. Pelatihan ini menyediakan real time coaching untuk pasien dalam menggunakan keterampilan untuk mengatasi situasi sulit saat itu juga, melalui panggilan telepon. Pasien dapat menelpon terapis pribadinya ketika mereka sangat membutuhkannya.
- Tim konsultasi, tim ini dibentuk untuk menjadi terapi bagi terapis dan orang-orang yang paling sering mengalami gangguan yang parah. Tim konsultasi dirancang untuk membantu terapis agar tetap termotivasi dan berkompeten dalam memberikan perawatan terbaik.
Kemampuan Utama dalam Dialectical Behavior Therapy
Untuk mencapai tujuan mengubah perilaku berbahaya, terdapat empat kemampuan utama dalam DBT, yakni:
- Mindfulness, untuk menekankan pasien agar fokus pada masa kini dan menerimanya tanpa harus memanipulasi keadaan tersebut.
- Toleransi terhadap kesulitan, belajar untuk menerima diri sendiri dan sabar dalam menghadapi suatu krisis. Empat teknik untuk bertahan dalam krisis yang bisa digunakan yaitu pengalihan, menenangkan diri sendiri, meningkatkan gerakan, dan memikirkan pro dan kontra dari krisis tersebut.
- Regulasi emosi, yaitu kemampuan untuk mengelola dan mengubah emosi intens penyebab berbagai masalah. Penerapan kemampuan ini menunjukkan bahwa emosi tidak seharusnya mengontrol diri seseorang.
- Efektivitas interpersonal, yang mengajak seseorang untuk menyampaikan pendapat, kebutuhan, dan keinginannya secara tegas dan lugas untuk mempertahankan harga diri dan memperkuat hubungannya dengan orang lain.
Kelebihan dan Kekurangan Dialectical Behavior Therapy (DBT)
Sebelum memutuskan untuk menjalani konseling Dialectical Behavior Therapy ini, seorang pasien dan terapisnya perlu mempertimbangkan beberapa kelebihan dan kekurangannya agar perawatan yang diterima sesuai dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan.
Kelebihan dari metode konseling ini, yaitu:
- Dapat membantu pasien untuk fokus pada masa kini.
- Berbasis skill, sehingga mudah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
- Mindfulness yang diterapkan dapat membantu mengurangi atau menghilangkan pikiran dan perilaku negatif.
- Aspek pengelolaan emosi yang ditekankan dapat membuat pasien lebih tenang dalam mengendalikan emosi negatifnya.
- Penelitian membuktikan bahwa DBT menjangkau berbagai kalangan dan dapat digeneralisasikan kepada pasien dari berbagai latar belakang.
- DBT merupakan kombinasi dari mindfulness Buddhis Zen yang mungkin menarik bagi pasien yang ingin mencapai pemenuhan spiritual.
- Cara berpikir yang diajarkan dalam DBT adalah dialektis, bukan benar atau salah.
Di samping kelebihan-kelebihan tersebut, metode konseling ini juga tidak luput dari beberapa kekurangan, seperti:
- Pasien harus mempelajari banyak skill yang mungkin berpotensi menyebabkan pasien merasa kewalahan.
- Memerlukan banyak waktu konseling per minggu.
- Proses konseling DBT terstruktur dan memiliki batasan-batasan ketat yang harus dipatuhi.
- Terapis DBT harus terlatih dengan baik karena adanya kemungkinan perilaku berisiko dari pasien selama konseling.
- Tidak ada penyelesaian trauma pasien secara formal.
Oleh: Cici Amelia
Editor: Mirfath Husen
Referensi:
Musa, S., Harun, B. (2022). Efek Dialectical Behavior Therapy (DBT) Terhadap Pasien Dengan Perilaku Kekerasan. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. Volume 11 (1), 114-119
Syafitri, Evita. (2020). STUDI KEPUSTAKAAN TEORI KONSELING “DIALECTICAL BEHAVIOR THERAPY”. Jurnal BK UNESA. Volume 11 (1), 53-59