
Istilah ‘Men written by woman’ mungkin sudah terdengar tidak asing lagi di telinga kita. Men written by woman kerap kali diutarakan untuk menyebut seorang pria yang memiliki karakteristik yang lembut, respectful, dan tidak takut pada feminisme. Berbagai tokoh fiksional dengan karakter demikian biasanya ditulis oleh seorang wanita dengan female gaze-nya.
Female gaze merupakan sebuah konsep yang yang hadir sebagai respon dari teori male gaze. Teori male gaze ditulis dan diperkenalkan oleh Laura Mulvey dalam jurnal Visual Pleasure and Narrative Cinema. Mulvey berpendapat bahwa male gaze menunjukkan figur perempuan yang ditampilkan sebagai objek seksual, menjadikannya sebagai tontonan erotis yang menampilkan gadis cantik dan striptis. Perempuan merupakan pihak pasif yang dijadikan objek seksual oleh laki-laki heteroseksual yang melihatnya atau dijadikan sebagai visual pleasure sehingga laki-laki mendapatkan kepuasan dari pandangan tersebut. Pada moda produksi kebudayaan dan media, pandangan penonton dibawa ke dalam perspektif laki-laki dalam memandang dunia. Posisi yang ditawarkan kepada penonton adalah posisi maskulin. Konsep tersebut kemudian memantik diskusi dan pembicaraan dari para ahli teori lainnya serta para aktivis feminis. Para aktivis feminis, dari teoritis sampai filmmaker kemudian berlomba-lomba untuk menciptakan sebuah female gaze.
Female gaze adalah konsep dalam memandang dunia, di mana dunia dipandang dalam kacamata pihak perempuan. Perempuan diposisikan sebagai subjek, bukan lagi dipandang sebagai sebuah objek. Konsep female gaze ini dapat digunakan untuk membuka jalan baru dalam menginterprestasikan suatu hal serta memandang dan memberdayakan suatu hal dengan perspektif feminis. Female gaze dapat pula digunakan sebagai wacana menghadapi patriarki dan dominasi laki-laki.
Jill Soloway, seorang penulis dan sutradara, berbicara tentang tantangan untuk mendefinisikan female gaze dalam kegiatan Master Class yang diselenggarakan pada rangkaian acara Festival Film Internasional Toronto. Pada kegiatan tersebut, Jill Soloway berargumen bahwa female gaze merupakan penggunaan perspektif wanita untuk memberikan penekanan pada emosi dan karakter sebuah cerita. Jika konsep male gaze berusaha mengobjektifikasi wanita, maka female gaze tidak serta merta berbalik mengobjektifikasi pria. Justru female gaze berusaha membuat penonton melihat dan merasakan apa yang perempuan rasakan ketika menjadi objek dalam film.
Dunia perfilman memang masih didominasi oleh laki-laki yang ingin memproyeksikan dunia patriarki mereka. Akan tetapi, Sutradara film Lady Bird, Greta Gerwig, yakin bahwa ada potensi untuk perubahan dominasi perfilman dunia oleh perspektif laki-laki itu. Saat ini, female gaze dalam dunia industri perfilman semakin berkembang, membuktikan bahwa teori Mulvey tentang dunia patriarki tidak permanen dan tidak wajib.
Berikut merupakan beberapa film yang menerapkan female gaze:
1. Lady Bird
Lady Bird menceritakan tentang kehidupan seorang remaja perempuan bernama Christine. Meski menampilkan cerita romansa, tetapi yang menjadi fokus cerita dalam film ini bukanlah tentang kisah romantis saja, melainkan hubungan ibu dengan anak perempuannya. Konflik yang terjadi pada film Lady Bird adalah tentang kasih sayang dengan cara penyampaian yang berbeda.
Image perempuan dalam film Lady Bird tidak tampak sebagai sebuah objek, melainkan sebuah subjek. Gaya pemeran perempuan dalam film Lady Bird ditampilkan sebagai sosok yang kuat, ambisius dan optimis. Greta Gerwig, sebagai penulis dan sutradara perempuan, memproyeksikan visi non-patriarkinya, yaitu visinya yang menentang objektifikasi wanita dan memungkinkan mereka untuk melampaui penampilan mereka. Melalui kontrol pada setiap langkah proses produksi, dia memastikan bahwa female gaze masuk dengan baik ke dalam film Lady Bird.
2. Dua Garis Biru
Dua Garis Biru merupakan salah satu film Indonesia paling populer pada tahun 2019. Film karya Gina S. Noer yang dibintangi oleh Adhisty Zara dan Angga Yunanda ini menggaris bawahi tentang pentingnya pendidikan seks, terutama bahaya akan seks bebas. Film Dua Garis Biru ini menceritakan tentang dua pasangan muda, sepasang anak SMA, bernama Bima dan Dara yang terlibat hubungan badan terlarang dan mengakibatkan kehamilan dan kemudian menjadi masalah besar pada keluarga, masa depan, hingga mimpi-mimpi mereka. Dua Garis Biru menjadi salah satu film Indonesia di mana perempuan menjadi pihak utama dibalik pembuatan film, sehingga female gaze menjadi hal yang kental diperlihatkan dalam film ini. Hal ini dapat dilihat dari pengembangan tokoh dalam film yang lebih menonjolkan pihak dan sudut pandang perempuan, setelah melewati tahapan kejadian dalam film. Film ini menunjukkan perempuan sebagai karakter yang kuat, tangguh, serta mendapatkan dampak paling signifikan, baik bagi Dara sebagai pelaku seks pranikah hingga tokoh ibu dari Dara dan Bima dalam film. Beberapa adegan dalam film juga menunjukkan perempuan yang cenderung melawan konstruksi sosial masyarakat. Film ini menampilkan pelonggaran biner maskulinitas dan feminitas, memberikan kesan adanya perlawan dari sistem patriarki, dan hal ini lantas merupakan salah satu misi utama dari konsep female gaze.
3. Little Women
Film Little Women merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Loisa May Alcott tahun 1868. Film garapan Greta Gerwig ini menceritakan tentang kisah empat saudara perempuan yang memiliki karakter berdeda-beda, yaitu Jo, Meg, Amy, dan Beth. Pada film ini, female gaze ditunjukkan dengan sentuhan feminisme serta keberagaman karakter perempuan dan pandangan serta pengalaman-pengalamannya. Jo, memiliki pendirian yang kuat dan ingin menjadi seorang penulis, Meg yang bercita-cita menjadi seorang aktris, Amy yang ingin menjadi pelukis terkenal, dan si pemalu Beth yang gemar bermain piano. Little Women juga menyoroti isu feminisme. Dalam film ini juga ditemukan representasi tanda-tanda atau simbol kesetaraan yang dibuat sebagai bentuk pemberontakan kepada masyarakat yang masih membeda-bedakan atau mendiskriminasi perempuan.
Mengedepankan identitas sebagai seorang perempuan merupakan hal yang penting. Female gaze merupakan hal yang penting dan sarat untuk disuarakan, terutama bagi perempuan. Female gaze akan cenderung membuat perempuan memposisikan diri mereka sebagai agen dalam menyuarakan isu-isu keperempuanan atau bercerita dalam perpsektif perempuan, sehingga perempuan tidak semata-mata dapat dijadikan objek kepuasan seksual. Dengan semakin maraknya film yang menerapkan female gaze, diharapkan konsep patriarki, deskriminasi terhadap perempuan, dan isu-isu feminisme dapat berkurang, serta masyarakat dapat memahami betapa pentingnya memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda tanpa menjadikan perempuan sebagai suatu objek.
Referensi:
Langga, F. H. (2020). Female Gaze pada Film “Lady Bird”. JADECS (Jurnal of Art, Design, Art Education & Cultural Studies), 5(1), 8-13.
Marsya, U., & Mayasari, F. (2019). Cara Perempuan Memandang: Female Gaze dan Seksualitas Perempuan dalam Perspektif Sutradara Perempuan Nia Dinata. Perspektif Komunikasi: Jurnal Ilmu Komunikasi Politik dan Komunikasi Bisnis, 3(2), 127-137.
Priscilia, A. (2021). Representasi Feminisme dalam Film Little Women: analisis semiotik charles S. Pierce (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).
Putra, M. S. B. N., & Sokowati, M. E. (2020). Female Gaze dalam Film Indonesia (Analisis Naratif Seksualitas Remaja dalam Film Dua Garis Biru). Prosiding UMY Grace, 1(1), 419-429.