Mengenal Reproductive Health: Infertility dan Miscarriage Dalam Kehamilan

Sumber gambar: https://www.ippf.org/featured-perspective/sexual-and-reproductive-health-2023-and-beyond

Hamil dan melahirkan seolah-olah telah menjadi tuntutan sosial yang diberikan pada setiap perempuan. Pasalnya, perempuan juga dituntut untuk menjalani masa kehamilannya dengan lancar meskipun terdapat berbagai macam potensi hambatan serta faktor X yang dapat terjadi di luar kehendak para calon ibu, seperti kemandulan dan keguguran. Hingga kini, infertility (kemandulan) dan miscarriage (kemandulan) merupakan dua contoh dari berbagai macam persoalan lainnya yang dapat terjadi dalam masa menjelang maupun saat kehamilan dan cenderung tergolong tabu untuk dibahas. Keduanya pun juga seringkali digolongkan sebagai “kesalahan” yang dimiliki oleh para calon ibu, terlepas dari kenyataan bahwa infertilitas dapat disebabkan oleh kedua belah pihak, baik perempuan maupun laki-laki. Berdasarkan hal ini, untuk meluruskan konsepsi yang terjadi, ada baiknya bila kita mengenal lebih dalam terkait infertility dan miscarriage.

            Menurut WHO (2018), infertility, atau seringkali dikenal dengan istilah kemandulan dalam Bahasa Indonesia, merupakan suatu penyakit pada sistem reproduksi pria atau wanita yang ditandai dengan adanya kegagalan mencapai kehamilan setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual tidak terproteksi secara teratur. Faktanya, kemandulan secara umum merupakan hal yang lumrah terjadi, memengaruhi jutaan orang dengan usia reproduksi di seluruh dunia, infertilitas diperkirakan secara global dialami oleh 48 juta pasangan dan 186 juta orang. Hal yang tidak umum diketahui adalah bahwa infertilitas dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Infertilitas primer berarti suatu situasi kemandulan yang terjadi pada seseorang yang tidak pernah mencapai kehamilan sedangkan infertilitas sekunder merupakan kemandulan yang terjadi setelah setidaknya suatu kehamilan sebelumnya telah tercapai (WHO, 2020).

            Alasan terjadinya suatu kondisi infertilitas dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang berbeda-beda. Pada perempuan, kemandulan dapat disebabkan oleh gangguan lendir serviks, gangguan ovulasi, endometriosis, maupun kelainan anatomi lainnya. Di sisi lain, kemandulan pada laki-laki dapat terjadi karena infeksi menular seksual seperti chlamydia dan gonore, saluran sperma yang tersumbat, gangguan ejakulasi, kelainan enzim pada sperma, impotensi, serta varikokel (Redaksi Halodoc, 2018).

            Miscarriage atau keguguran merujuk pada situasi ketika bayi dalam kandungan yang berusia kurang dari 28 minggu meningga dunia. Sekitar 10 hingga 20 persen kehamilan berakhir dengan keguguran dan jumlah ini diperkirakan lebih tinggi karena banyak angka keguguran yang tidak ditranskripsi serta seringkali keguguran terjadi sangat awal pada periode kehamilan, bahkan sebelum calon ibu mengetahui mengenai kehamilannya sendiri (Mayo Clinic, 2021). Istilah miscarriage umumnya dikenal memiliki konotasi negatif karena seakan-akan hal ini terjadi karena terdapat suatu “kesalahan” pada periode kehamilan seorang ibu. Padahal, keguguran mayoritas disebabkan oleh perkembangan fetus yang tidak diekspektasikan. Terdapat berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya keguguran, seperti contohnya yang paling mendasar adalah dengan menjaga kesehatan ibu hamil. Meskipun demikian, para calon ibu juga tidak dapat 100% mengontrol apa yang terjadi pada janinnya, seringkali keguguran terjadi akibat hal-hal yang tidak terhindarkan.

 Hingga saat ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun perkembangan teknologi kesehatan sudah semakin mutakhir dan dapat diakses oleh berbagai golongan masyarakat, pembicaraan mengenai infertility dan miscarriage masih tergolong tabu. Adanya stigma masyarakat yang menitikberatkan kedua kondisi ini pada sosok ibu. Tentunya, hal ini dapat berdampak negatif pada kondisi psikologis ibu. Isu kesehatan reproduktif tentunya tidak berdampak secara psikis saja, namun dapat pula berdampak secara sosial, kultural, dan ekonomi. Para korban seringkali mendapat dampak sosial negatif seperti kekerasan, perceraian, stres emosional, depresi, dan rendah diri. Bahkan, dalam beberapa kasus, bagi sebagian perempuan orang yang menderita kemandulan di negara berkembang, memiliki anak merupakan satu-satunya cara bagi mereka untuk meningkatkan status sosialnya (Hasanpoor et al, 2014). Memiliki anak juga seringkali dianggap sebagai tekanan sosial bagi banyak pasangan sehingga mereka menghalangi diri untuk menggunakan kontrasepsi meskipun belum siap untuk menyambut kehamilan (WHO, 2020). 

Baik infertility maupun miscarriage, keduanya merupakan isu yang patut diangkat dan didiskusikan dengan terarah agar meluruskan miskonsepsi yang timbul di tengah masyarakat. Mengatasi dan meluruskan pandangan mengenai stigma infertilitas dan kemandulan juga dapat mengurangi ketidaksetaraan gender. Tentunya, langkah prominen yang dapat dilakukan untuk mengatasi kasus ini adalah dengan memberantas ketidaksetaraan serta disparitas akses ke layanan kesehatan dan perawatan reproduksi bagi penduduk miskin, belum menikah, tidak berpendidikan, pengangguran, dan populasi marjinal lainnya (WHO, 2020). Intervensi pendidikan serta upaya untuk meningkatkan kesadaran mengenai kemandulan dan keguguran dapat menjadi prevalensi terjadinya dampak negatif sosial stigma yang ada. 

Memilih untuk berkeluarga, menjalin hubungan, hingga kesempatan untuk memiliki keputusan untuk menentukan jumlah anak yang hendak mereka miliki adalah hak setiap individu. Selain itu, setiap individu juga memiliki hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk turut memahami konsep reproductive health baik demi diri kita sendiri maupun orang lain di sekitar kita. Tentunya, setiap individu memiliki kondisinya masing-masing yang perlu kita pahami. “Reproductive freedom is critical to a whole range of issues. If we can’t take charge of this most personal aspect of our lives, we can’t take care of anything. It should not be seen as a privilege or as a benefit, but a fundamental human right.” -Faye Wattleton.

Referensi

Hasanpoor, A.S.B., Simbar, M. and Vedadhir, A., (2014). The emotional-psychological consequences of infertility among infertile women seeking treatment: Results of a qualitative study.

World Health Organization (WHO),. (2018). International Classification of Diseases, 11th Revision (ICD-11) Geneva: WHO 2018.

World Health Organization (WHO),. (2020). Infertility. [online] Who.int. Tersedia dalam: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/infertility [Diakses pada 4 Feb. 2023].

Mayo Clinic. (2021). Miscarriage – Symptoms and causes. [online] Tersedia dalam: https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/pregnancy-loss-miscarriage/symptoms-causes/syc-20354298#:~:text=About%2010%20to%2020%20percent,even%20know%20about%20a%20pregnancy. [Diakses pada 4 Feb. 2023].

Redaksi Halodoc (2018). Kemandulan disebabkan oleh banyak faktor. Agar tak salah, cari tahu penyebab kemandulan pada pria maupun wanit. [online] halodoc. Tersedia dalam: https://www.halodoc.com/artikel/penyebab-kemandulan-yang-perlu-diketahui [Diakses pada 4 Feb. 2023].

Penulis: Allyana Honosutomo

Editor: Desy Putri R

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *