
Review Buku
Novel ini berlatar waktu pada tahun 90-an dan 2000, terutama latar peristiwa 1998 di mana masa reformasi masih membara di negeri ini. Novel setebal 379 halaman ini berkisah tentang para aktivis dan mahasiswa yang hilang dan yang kembali pada masa Orde Baru.
Tokoh utama dalam novel ini bernama Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris di Yogyakarta yang turut bergabung dengan Winatra, organisasi mahasiswa yang memihak pada kaum kecil, seperti buruh dan petani. Dengan segala kegiatannya yang dianggap menentang pemerintahan kala itu, Laut bersama teman-teman se-Winatra dan Wirasena (induk Winatra) harus hidup dalam persembunyian. Tak hanya itu, pemerintah juga secara terang-terangan memasukkan aktivis Winatra dan Wirasena sebagai buron. Laut bersama kawan-kawannya tidak bersenjatakan senjata api, tetapi mampu bergerilya melawan pemerintah yang zalim.
Laut Bercerita melalui dua sudut pandang: Laut dan adik perempuannya yang cerdas, Asmara. Laut menceritakan masa-masa perjuangannya sebelum akhirnya diculik dan ditenggelamkan, sementara Asmara menceritakan masa-masa perjuangannya mencari tahu keberadaan kakaknya. Kisah dalam novel ini mampu menghipnotis para pembacanya untuk kembali ke lorong masa lalu dan kembali menerawang peristiwa kelam pada masa itu. Cerita di buku ini memang fiksi, tapi rasanya hidup dalam kejaran aparat itu nyata. Visualisasi karakter dan suasana dalam novel ini tampak nyata dan tak membosankan sama sekali. Terlebih lagi deskripsi pada bagian di mana Laut beserta teman-temannya disiksa dengan berbagai cara dan diperlakukan tidak manusiawi.
Secara tak langsung, novel ini menjadi kritik terhadap negeri kita yang mana masih ada dosa besar sejarah yang sama sekali belum terselesaikan. Di balik kisah nyatanya, para aktivis yang dihilangkan beserta keluarga yang ditinggalkan layak untuk mendapatkan kejelasan dan keadilan serta permintaan maaf dari negara. Dengan membacanya, kita disadarkan bahwa sejarah di masa lalu memiliki kegelapan yang sangat perih. Pilihan kata dan penggunaan gaya bahasa termasuk mudah dicerna dan dipahami sebab tidak terdapat istilah yang rumit, ditambah lagi dengan pengisahan yang mengalir sehingga membacanya terasa sangat menyenangakan.
Laut Bercerita dan Feminisme
Penulis merepresentasikan perempuan dalam Laut Bercerita sebagai sesuatu yang kuat. Dengan menonjolkan tiga tokoh perempuan yang selalu mampu membuat tokoh utama, Biru Laut merasa kagum. Ketiga perempuan tersebut adalah Kasih Kinanti, seorang aktivis UGM dan ketua organisasi Winatra; Ratih Anjani, digambarkan sebagai seorang aktivis Taraka sekaligus kekasih Biru Laut; dan Asmara Jati, adik kandung Biru Laut yang merupakan seorang dokter.
Dalam novel tersebut digambarkan Kasih Kinanti adalah seorang pemimpin Winatra yang memiliki jiwa tegas, optimis dan mampu memberikan solusi.
Ratih Anjani adalah seorang seniman dan merupakan kekasih Biru Laut. Dia digambarkan sebagai orang yang pantang menyerah, teguh, teliti, pemberani, mandiri, dan ambisius.
Asmara Jati digambarkan sebagai adik kandung Biru Laut yang memiliki jiwa berani, ambisius, pragmatis, dan tegas.
Melalui karakter dari tokoh-tokoh tersebut dapat memberikan insipirasi kepada para perempuan bahwa menjadi perempuan berarti berhak atas dirinya sendiri dan mengetahui apa yang mereka inginkan dan menjadi apa yang mereka inginkan. Perempuan juga mempunyai kapabilitas yang sama dengan laki-laki dalam berbagai tatanan kehidupan.
Mengenal Sosok di Balik Kepopuleran Laut Bercerita
Adalah seorang perempuan luar biasa yang membawa Laut dan kawan-kawannya dikenal pembaca dan membuat pembaca melompat jauh ke masa lalu, mengenang perjuangan para aktivis negeri ini demi memperjuangkan hak rakyat. Leila Salikha Chudori, adalah salah satu penulis perempuan Indonesia yang sudah dikenal karena melahirkan banyak karya berupa kumpulan cerita pendek, novel, skenario drama televisi, dan film. Tidak hanya menyajikan cerita bertema kebebasan, sosok yang gemar menyelipkan cerita sejarah dalam setiap karyanya ini ternyata banyak memberikan perspektif feminsime juga. Misalnya saja, dalam karyanya yang berjudul 9 dari Nadira yang merupakan kumpulan cerpen terdiri dari sembilan cerita yang berpusat pada satu tokoh utama perempuan yang bernama Nadira Suwandi. Dalam karyanya tersebut Leila menggambarkan Nadira serta tokoh-tokoh perempuan yang lain memiliki jiwa bebas yang tidak terikat tradisi lokal dan bebas menggapai karir dan pendidikan seperti halnya laki-laki.
Tidak hanya sampai di situ, pada tahun 2013 Leila juga menulis buku biografi tentang R.A Kartini yang diberi judul Gelap Terang Hidup Kartini. Buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini tidak terlalu tebal untuk menjelaskan riwayat hidup seseorang, tetapi dapat merangkul kehidupan Kartini kecil sampai Beliau besar. Melalui buku tersebut Leila mengajak para pembaca untuk mengenang Kartini sekaligus menyadarkan kita bahwa siapapun (perempuan) dapat mendobrak kekuatan besar dalam dirinya tidak peduli apa gendernya.
Melalui karya-karyanya itulah Leila berjuang untuk menyuarakan eksistensi perempuan. Karya sastra digunakan sebagai media untuk terus menyuarakan eksistensi feminisme, itulah yang coba dilakukan oleh Leila. Tidak semua kalangan mau menerima konsep eskistensi feminisme, dengan adanya karya sastra yang menampilkan bahwa pandangan itu tidak tepat, dapat membuat pikiran pembaca terbuka sebab perempuan berhak untuk menolak subordinasi dan ketidakadilan yang sering terjadi, menjadi diri sendiri dan berdaya, serta menjadi pelaku transformasi sosial. Inilah merupakan salah satu contoh gerakan feminisme yang dilakukan oleh penulis-penulis perempuan di tanah air.
Identitas Buku
Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Oktober 2017
Jumlah Halaman: x+379 halaman
Blurb
Jakarta, Maret 1998
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.
Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.
Jakarta, 2000
Asmara Jati, adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.
Laut Bercerita, novel terbaru Leila S. Chudori, bertutur tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan akan anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.
Referensi:
Ginting, D. A & Yudi, A. (2023). Eksistensi Perempuan dalam Novel Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori: Kajian Feminisme Eksistensialis dan Relevansinya sebagai Materi Ajar Sastra Indonesia di SMA. Jurnal Bahasa, Sastra, Budaya, dan Pengajarannya, 2(1): 112-127.
Leila, S. K. (2017). Laut Bercerita. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Saputra, F. I. G., Waluyo, H. J., & Suyitno. (2019). Kajian Feminisme Pada Novel-Novel Karya Leila S. Chudori. Seminar Nasional Inovasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Era Revolusi Industri 4.0, 263-267.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2022). Leila S. Chudori. Online at https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/tokoh-detail/3354/leila-s.-chudori, accessed 22 Juni 2023.
Penulis: Raodah Tul Ikhsan
Editor: Desy Putri R.