Menilik Perkawinan Dini di Indonesia

Sumber:  Sunday Alamba (https://tirto.id/gabG)

Sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), perkawinan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Setelah berlakunya UU Perkawinan di Indonesia, terdapat berbagai peraturan yang mengatur tentang perkawinan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 1975, PP Nomor 10 tahun 1983, PP 45 tahun 1990, dan Kompilasi hukum Islam Nomor 1 tahun 1991. Menurut Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPer), terdapat syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan pernikahan.  Syarat tersebut adalah adanya kata sepakat, batas usia, asas monogami, dan tenggang waktu tunggu. Pada tulisan ini akan berfokus pada batas usia yang sudah ditetapkan dan implementasinya di Indonesia. 

Pada mulanya, syarat umur pernikahan yang ditetapkan oleh Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun untuk wanita. Lebih lanjut, peraturan ini diperbaharui pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjadi 19 tahun bagi wanita dan pria. Akan tetapi, terdapat dispensasi perkawinan dari pengadilan agama apabila kedua pihak masih di bawah umur. Dispensasi perkawinan ini selanjutnya akan mempengaruhi banyaknya perkawinan dini di Indonesia.  

Sesuai dengan laporan dari Badan Perencanaan Pembangunan Bappenas (2008), angka pernikahan dini dibawah 16 tahun mencapai hampir 35 persen. Faktor yang mendukung perkawinan dini di masyarakat adalah tradisi budaya, anggapan bahwa perkawinan dini dianggap sebagai jalan untuk menghindari pergaulan bebas dan memastikan keharmonisan keluarga. Ditambah dengan masalah perekonomian orang tua yang kurang atau tidak mampu membiayai pendidikan atau memastikan ketersediaan sumber daya ekonomi bagi keluarga.

Berbagai faktor pendukung perkawinan dini yang muncul di kalangan masyarakat sangat disayangkan. Hal ini disebabkan oleh dampak dampak negatif yang signifikan berupa kesehatan, pendidikan, perkembangan anak, berisiko memunculkan kemiskinan baru atau struktural, kekerasan dalam rumah tangga, serta pola asuh pada calon anak dari pernikahan dini yang terjadi. Perempuan atau pria yang melakukan perkawinan dini terancam tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena peran baru sebagai suami dan istri yang diembannya sehingga memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dan bekerja pada pekerjaan yang tidak memenuhi standar. Tidak mendapatkan pendidikan yang sesuai juga nantinya akan berpengaruh pada tingkat pekerjaan dan ekonomi keluarga sehingga dapat memicu kemiskinan. Anak perempuan yang menikah dini cenderung mengalami komplikasi kesehatan selama kehamilan dan melahirkan. Kurangnya pemahaman mengenai cara mengasuh dan membesarkan anak yang baik dan benar dapat memicu kesehatan calon anak dari pasangan perkawinan dini. Selain itu, dengan emosi yang belum stabil dan usia yang belum matang dapat memunculkan kasus kekerasan dalam rumah tangga.  

Sebagai bentuk meminimalisasi jumlah perkawinan dini, dibutuhkan peran pemerintah dalam membuat dan menegakkan hukum serta bekerja sama dengan kalangan masyarakat untuk memerangi perkawinan dini dengan memberikan pendidikan dan akses informasi yang baik, memperkuat perlindungan hak-hak perempuan dan anak, dan memberikan bantuan ekonomi untuk keluarga miskin untuk mengurangi tekanan ekonomi yang mendorong pernikahan dini. Organisasi masyarakat sipil juga berperan penting dalam membantu remaja untuk memahami dampak negatif dari pernikahan dini dan memberikan dukungan emosional dan praktis untuk membantu mereka mengatasi tekanan untuk menikah pada usia dini.

Perlu diingat bahwa bahwa pernikahan dini bukanlah suatu solusi yang tepat. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat dan terarah bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam rangka memerangi pernikahan dini. Setiap anak dan remaja perlu dipastikan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal terlebih dahulu sebelum memasuki masa pernikahan.

Referensi

Indonesia, Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974.

Indonesia, Perubahan atas Undang-Undang Perkawinan, UU No. 16 Tahun 2019.

Arni, Noni. “Kuatnya Tradisi, Salah Satu Penyebab Pernikahan Dini.” https://www.dw.com/id/kuatnya-tradisi-salah-satu-penyebab-pernikahan-dini/a-4897834. Diakses 8 Februari 2023. 

Hasana, Khusnul. “Tradisi Pernikahan Dini di Madura: Dipaksa Budaya, Ditolak Pemerintah.” https://jatim.idntimes.com/news/jatim/khusnul-hasana/tradisi-pernikahan-dini-di-madura-dipaksa-budaya-ditolak-pemerintah?page=all. Diakses 8 Februari 2023. 

Kementerian  Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. “Dampak Negatif Perkawinan Anak.” KemenPPPA Website. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3055/dampak-negatif-perkawinan-anak. Diakses 8 Februari 2023. 

Zulfikar, Muhammad. “Dampak buruk pernikahan dini pada pelajar terus diingatkan KPPPA.” https://www.antaranews.com/berita/1211995/dampak-buruk-pernikahan-dini-pada-pelajar-terus-diingatkan-kpppa. Diakses 8 Februari 2023.

Penulis: Sylvi Sabrina

Editor: Desy Putri R.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *