Menyoal Masa Depan Kesetaraan Gender di Korea Selatan: Apakah Penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga Jalan Terbaik?

Kesetaraan gender menjadi salah satu isu di Korea Selatan yang masih ‘bermasalah’ pada praktiknya hingga sekarang. Isu ini kemudian semakin memanas menjelang pemilihan Presiden Korea Selatan ke-20 pada bulan Maret lalu. Pasalnya, salah satu kandidat, yang berasal dari People’s Power Party (PPP) yakni Yoon Suk-yeol, pada kampanyenya mengungkapkan bahwa Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga yang telah berdiri sejak tahun 2001, akan dihapuskan apabila ia terpilih menjadi Presiden selanjutnya. Hal ini lantas menjadi perbincangan yang menarik atensi masyarakat Korea Selatan, terkhususnya para perempuan. 

Perlu diketahui bahwasanya negeri yang terkenal dengan sebutan ‘Negeri Ginseng’ ini memiliki tingkat kesetaraan gender yang dapat dikatakan cukup rendah apabila dibandingkan dengan tingkat perekonomian dan teknologinya yang kian meningkat. Mengutip dari data yang disajikan oleh Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, pada tahun 2021, berdasar pada laporan Gender Gap Index (GII) tingkat kesetaraan gender Korea Selatan berada pada peringkat 102 dari 156 negara (Ministry of Gender Equality and Family, 2021). Meskipun peringkat ini telah mengalami peningkatan dibandingkan empat tahun yang lalu, yakni tahun 2017 di mana Korea Selatan berada pada peringkat 118 dari 144 negara (Hyun-ju, 2017), nampaknya masih belum ada perubahan yang drastis terkait dengan kesetaraan gender ini.

Feminisme VS Misoginis: Antara Kebencian dan Ketidakadilan

Sebelum kampanye Yoon Suk-yeol yang kontroversial tersebut, pada tahun 2021 lalu yakni ketika Olimpiade Tokyo 2020 diselenggarakan, kasus An San seorang atlet perempuan dari tim nasional Korea dengan cabang olahraga panahan menjadi isu hangat yang tak hanya memancing berbagai perdebatan di lingkup domestik saja, tetapi juga turut mengundang atensi masyarakat internasional. Terlepas dari capaian medali emas yang didapatkan oleh An San, kritikan dari masyarakat, yang mayoritas didominasi oleh lelaki, justru ditujukan kepadanya. 

Dalam suatu unggahan yang berjudul “Wanita yang berkuliah di universitas khusus wanita dan memiliki potongan yang pendek, kemungkinan sekitar 90 persen di antaranya adalah sosok feminis”, An San diberikan label sebagai seorang feminis (Yang, 2021). Potongan rambut yang pendek, yang dimiliki oleh An San, dianggap tidak sesuai dengan pandangan masyarakat Korea Selatan terkait bagaimana seharusnya ‘tampilan seorang perempuan’.

Pandangan yang ortodoks ini telah sedari dulu melekat dalam stereotip masyarakat Korea Selatan. Apabila ditarik suatu garis, seperti yang dijelaskan oleh Nathan Park, ia mengungkapkan bahwasanya para lelaki di Korea Selatan mendukung pernyataan “wanita yang berpenghasilan lebih rendah diakibatkan oleh diri mereka sendiri yang memberikan sedikit upaya untuk karier mereka” (Hines & Song, 2021). Di satu sisi, para lelaki Korea Selatan turut berpendapat bahwasanya perempuan dilihat sebagai ancaman yang terus-menerus mendapatkan perlakuan istimewa. Mereka juga beranggapan bahwa ketika masyarakat tertentu memperjuangkan kesetaraan gender, hal tersebut adalah suatu hal yang ‘radikal’.

Saya beranggapan bahwa stereotip yang telah tertanam pada para lelaki Korea Selatan ini tak lepas dari kebencian terhadap feminisme yang menurut mereka dengan adanya gerakan yang mendukung hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, itu sama saja dengan merebut kesempatan mereka dalam pekerjaan atau pendidikan. Dan terlebih lagi mereka memandang bahwa pihak yang justru dirugikan di sini adalah mereka, para lelaki, bukan perempuan.

Fenomena-fenomena ini dapat menjadi gambaran mengenai bagaimana suatu ide yang telah tertanam pada diri seseorang, akan sulit untuk ‘dikendalikan’. Adanya anggapan negatif mengenai hal-hal yang diasosiasikan dengan kesetaraan gender dan feminisme, cenderung menyengsarakan mereka yang sedang memperjuangkan haknya. 

Pilihan Di Antara Dua untuk Lima Tahun Kedepan: Di Balik Kemenangan Yoon Suk-yeol

Pada pemilihan Presiden Korea Selatan beberapa bulan lalu, masyarakat Korea Selatan dihadapkan dengan dua kandidat yang kurang mendapatkan tempat di hati masyarakatnya. Hal ini tak lepas dari skandal yang menerpa mereka terkait dengan misoginis. Lee Jae-myung yang berasal dari Democratic Party, tersandung skandal pelecehan seksual, sedangkan di satu sisi Yoon Suk-yeol yang berada di bawah PPP telah ‘menempatkan’ penghapusan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga sebagai janji dari kampanye yang ia lakukan (Bicker, 2022). Tentu hal ini menjadi pilihan yang sulit bagi masyarakat, terutama bagi perempuan yang nasibnya perlu dipertimbangkan secara matang – mengingat bahwa ‘masa depan’ mereka dalam sehari-harinya akan sangat ditentukan oleh salah satu dari kandidat yang diusung. 

Terlepas dari berbagai kontroversi yang melibatkan dua kandidat tersebut, Yoon akhirnya berhasil memenangkan suara dan terpilih menjadi Presiden Korea Selatan Ke-20. Yoon mengungkapkan bahwasanya rendahnya angka kelahiran di Korea Selatan berdasar pada feminisme itu sendiri, yang mana kemudian keberadaan dari Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, menurutnya, terlalu berfokus pada hak-hak perempuan (Rashid, 2022). Selain itu, suara yang terkumpul di akhir pemungutan suara menunjukkan bahwasanya hanya 34 persen perempuan yang berada pada umur 20-an yang memilih Yoon, sedangkan 59 persen laki-laki umur 20-an dan 53 persen laki-laki di umur 30-an menjatuhkan pilihannya kepada Yoon (ibid.).

Hasil dari pemilihan ini tentu menuai keresahan dan perdebatan. Kendati demikian, Yoon tampaknya masih belum menyiapkan dirinya ketika diwawancara oleh reporter dari Washington Post terkait dengan peran ia dan kabinetnya dalam meningkatkan kesetaraan gender dan kemajuan perempuan di Korea Selatan. 

“Apabila dilihat dari sektor publik, khususnya menteri di dalam kabinet, kami tidak melihat banyak wanita yang menduduki posisi tersebut sejauh ini. Mungkin saja di berbagai wilayah setara. Peluang tidak sepenuhnya dijamin untuk wanita, dan kita sebenarnya mempunyai sejarah yang terbilang sedikit mengenai hal tersebut. Jadi, yang kita coba lakukan adalah dengan aktif menjamin peluang tersebut bagi kaum wanita.” – Yoon Suk-yeol (Lee et al., 2022).

Setelah jawaban ini diungkapkan, penerjemah Yoon kemudian segera mengumumkan bahwa konferensi pers diakhiri. 

Melihat dari hal ini, saya berpandangan bahwa nampaknya Yoon tidak menduga akan dipertanyakannya hal tersebut. Meskipun demikian, terlepas dari kesiapan atau tidak, pemerintahan sekarang perlu mempertimbangkan lebih matang mengenai kebijakan yang akan dikeluarkan kedepannya. Hal ini dikarenakan, mereka tidak bisa mengesampingkan suatu fakta bahwa perempuan, dan laki-laki, harus diberikan kesetaraan terutama dalam aspek pekerjaan dan pendidikan, agar pada gilirannya dengan tercapainya kesetaraan gender ini mampu menjadi salah satu faktor dari semakin meningkatnya perekonomian Korea Selatan.

Masa Depan Kesetaraan di Korea Selatan: Sebuah Permasalahan Lama yang Menjadi Penentu Baru?

Seperti yang diketahui bahwasanya isu kesetaraan gender di Korea Selatan berada pada angka yang cukup mengkhawatirkan. Berdasar pada data yang berada di laman Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, persentase perempuan yang berada di posisi yang tinggi pada pekerjaan hanya 8.5 persen pada tahun 2020 dan kemudian meningkat menjadi 10 persen pada tahun 2021. Selanjutnya, tingkat pekerjaan perempuan dari umur 15 hingga 64 tahun berada pada persentase 57.7 persen yang mana sangat berbeda jauh dengan tingkat pekerjaan laki-laki yang sejumlah 75.2 persen. Selain itu, dilihat dari aktivitas ekonomi dengan kategori umur 15-64 tahun pun, perempuan berada pada 59.9 persen, sedangkan laki-laki sejumlah 78.8 persen (Ministry of Gender Equality and Family, 2021). 

Apabila berangkat dari perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), populasi usia kerja Korea Selatan dapat menurun sebesar 7.5 juta orang antara sejak estimasi diberikan hingga pada tahun 2040, yang mana dikhawatirkannya dengan adanya penurunan populasi usia kerja ini dapat membuat tingkat pertumbuhan Korea Selatan menurun hingga serendah 1 persen pada tahun 2030 (Stangarone, 2019). Selanjutnya, IMF menemukan bahwa apabila partisipasi perempuan dalam angkatan kerja tetap berada pada tingkat yang tak jauh beda pertumbuhannya dengan yang sekarang,  hingga pada akhir tahun 2035, maka keseluruhan perekonomian yang dihasilkan oleh perempuan akan menurun seiring dengan penurunan persentase perempuan di angkatan kerja (ibid.).

Hal ini menunjukkan bahwasanya perempuan di Korea Selatan dapat menunjang pertumbuhan ekonomi. Partisipasi perempuan dalam berbagai kehidupan sehari-hari, terutama pelibatannya dalam aspek ekonomi dan politik perlu ditingkatkan, mengingat bahwa hal itu secara tidak langsung mampu memberikan kesejahteraan pada Korea Selatan. ‘Jarak’ yang ada tentu harus diminimalisasi tiap tahunnya melalui berbagai kebijakan yang disahkan oleh pemerintah.

Namun, yang menjadi tantangan di sini adalah nasib dari masa depan perempuan Korea Selatan. Bukannya optimis, tetapi saya melihat bahwa apa yang akan dilakukan oleh Yoon tidak dapat diprediksi melalui alat indikator mana pun. Ia memang menyebutkan bahwa Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga akan ia hapuskan. Akan tetapi, nampaknya ia belum sepenuhnya mempertimbangkan bagaimana reaksi masyarakat apabila hal tersebut akan benar-benar diterapkan. 

‘Suara’ – menjadi target utama dari kampanye, tentunya. Kemungkinan terkait dengan pertimbangan atas janji yang diberikan, mungkin saja hanya sebatas ‘janji’ seperti pada umumnya. Kendati demikian, hal ini perlu untuk dikaji lebih dalam. Dalam konteks ini, terutama untuk pemerintah, wajib untuk segera meninjau lebih jauh ‘after effect’ yang akan datang secara beriringan apabila kementerian tersebut benar-benar dihapuskan. 

Di sini, yang menurut saya menjadi permasalahan  utama adalah suatu realita bahwa, bahkan, dengan didirikannya Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga, ketidaksetaraan gender masih terjadi di Korea Selatan. Hal ini semakin diperparah dengan partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi dan politik yang sangat berbanding terbalik dengan partisipasi laki-laki yang jauh lebih besar. 

Kemudian bagaimana Yoon yakin bahwa dengan dihapuskannya kementerian ini dapat mampu menyejahterakan masyarakat Korea Selatan tanpa terkecuali? Bukankah setiap pemimpin harusnya mengutamakan kesejahteraan agar terwujud pembangunan ekonomi yang diinginkan? Sayangnya, saya melihat bahwa dengan dihapuskannya kementerian ini, apabila pemerintah tidak benar-benar sigap akan konsekuensi kedepan, seperti potensi penurunan pertumbuhan ekonomi, maka berbagai demonstrasi yang akan menjadi ‘pemantik’ kekisruhan dapat terjadi dengan skala yang cukup masif. Ketidaksetaraan gender dapat berimbas kepada kejadian-kejadian ‘yang tidak menyenangkan’ kedepannya. Dan itu dapat bervariasi, mulai dari unjuk rasa, tekanan publik, pemogokan kerja dan sebagainya. Kemungkinan-kemungkinan tersebut patut dipertimbangkan oleh pemerintah untuk menghindari kerusakan yang fatal, selama mereka masih menaruh perhatiannya terhadap kesejahteraan masyarakatnya. 

REFERENSI:

Bicker, L. (2022). Why misogyny is at the heart of South Korea’s presidential elections. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-asia-60643446

Hines, S., & Song, J. (2021). How Feminism Became a Dirty Word in South Korea. The Diplomat. https://thediplomat.com/2021/07/how-feminism-became-a-dirty-word-in-south-korea/

Hyun-ju, O. (2017). South Korea 118th in gender equality ranking. The Korea Herald. http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20171102000907

Lee, M. Y. H., Kim, S. M., & Kranish, M. (2022). S. Korean president appears uneasy when pressed on gender inequality. The Washington Post. https://www.washingtonpost.com/world/2022/05/21/south-korea-yoon-women/

Ministry of Gender Equality and Family. (2021). Major Statistics of MOGEF Statistics Relating to Women. Statistics. http://www.mogef.go.kr/eng/lw/eng_lw_f002.do

Rashid, R. (2022). ‘Devastated’: gender equality hopes on hold as ‘anti-feminist’ voted South Korea’s president. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2022/mar/11/south-korea-gender-equality-anti-feminist-president-yoon-suk-yeol

Stangarone, T. (2019). Gender Inequality Makes South Korea Poorer. The Diplomat. https://thediplomat.com/2019/06/gender-inequality-makes-south-korea-poorer/

Yang, H. (2021). Despite two Olympic golds, anti-feminists focus on An San’s hair. Korea JoongAng Daily. https://koreajoongangdaily.joins.com/2021/07/29/national/socialAffairs/an-san-archer-an-san-korea-archery/20210729182200479.html

Penulis: Digna Defianti

Editor: Desy Putri R.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *