Sumber: Carl’s Jr.
“Pengakuan Janda Cantik Pembuang Bayi: Buah Cinta Gelap, Dilahirkan di Kamar
Mandi”
“Kronologi Penemuan 2 Mayat Wanita Cantik, Satu Korban Ternyata Bos Penginapan di
Sukabumi”
“Mencuri di Rumah Janda Muda, Pria di Gresik Malah Tergoda dan Nekat Perkosa
Korban”
“Oknum Guru Olahraga di Muara Enim Ditangkap Polisi karena Perkosa Siswi yang
Cantik”
“Pose Seksi Bidadari Bulutangkis Australia di Atas Ranjang Bikin Ngilu”
Pernahkah kamu menemukan berita dengan judul-judul seperti ini? Apa yang ada dalam pikiranmu ketika membacanya? Apakah biasa saja? Atau, adakah perasaan heran, risih, bahkan geram?
Lima contoh judul berita di atas memiliki satu kesamaan, yaitu adanya objektifikasi terhadap perempuan. Objektifikasi seksual terhadap perempuan umumnya terjadi dalam pemikiran atau perbuatan yang memberi perhatian khusus terhadap tubuh atau bagian tubuh tertentu dari seorang perempuan yang dianggap memiliki daya tarik seksual. Namun, objektifikasi terhadap perempuan juga dapat terjadi ketika perempuan tersebut melakukan atau mengucapkan hal-hal yang dianggap berkaitan dengan seksualitas. Teori objektifikasi yang dikemukakan oleh Fredrickson dan Roberts (1997) menyebutkan bahwa perempuan mengalami objektifikasi seksual serta diperlakukan sebagai objek yang dapat dinilai dan dimanfaatkan oleh orang lain.
Sumber: Twitter
Problematika Objektifikasi Perempuan dalam Media
Dari contoh judul berita di atas, bentuk objektifikasi terhadap perempuan tampak dalam penggunaan kata atau frasa tertentu yang dianggap atau dikaitkan dengan seksualitas oleh masyarakat umum, seperti “cantik”, “seksi”, “janda muda”, hingga “pose di atas ranjang”. Pertanyaannya, mengapa objektifikasi perempuan menjadi sebuah masalah?
Secara umum, objektifikasi terhadap perempuan adalah bentuk dari seksisme atau kesenjangan gender. Budaya patriarki menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan mengalami pembatasan ruang gerak, kehilangan otoritas atas tubuh dan keputusan hidupnya, serta seringkali dipandang sebagai objek semata alih-alih manusia yang utuh dan berakal budi. Nilai seorang perempuan seringkali hanya diukur dari penampilan fisik dan daya tarik seksualnya, sehingga objektifikasi terhadap perempuan kerap dijadikan sebuah pengalihan dari isu tertentu yang tengah dibahas. Misalnya, judul berita “Pose Seksi Bidadari Bulutangkis Australia di Atas Ranjang Bikin Ngilu” bukannya membahas prestasi dan sepak terjang sang atlet dalam cabang olahraga bulutangkis, media dan publik justru lebih menaruh perhatian pada daya tarik seksualnya saja.
Pengalihan isu dalam bentuk objektifikasi seksual ini dapat menjadi masalah yang serius, terutama dalam pemberitaan mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan, seperti pemerkosaan atau pembunuhan. Dalam judul berita “Oknum Guru Olahraga di Muara Enim Ditangkap Polisi karena Perkosa Siswi yang Cantik”, misalnya. Kata “cantik” yang disematkan seolah hendak memberikan pemakluman terhadap tindak pemerkosaan yang dilakukan oleh pelaku. Judul berita itu seolah-olah hendak berkata, ”Wajar saja ia diperkosa, karena ia cantik dan pastinya itu membangkitkan hawa nafsu pelaku.” Meskipun hal ini sekilas tampak sepele, apabila dibiarkan, publik akan menjadi semakin permisif terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Setiap kali terjadi kasus kekerasan seksual, respons masyarakat hanya akan berhenti pada argumen-argumen yang sarat akan victim blaming atau menyalahkan korban. Pada akhirnya, penanganan kasus kekerasan seksual pun akan semakin sulit ditegakkan karena adanya pemakluman demi pemakluman terhadap pelaku.
Manifestasi Objektifikasi Perempuan dalam Eksistensi Akun “Kampus Cantik”
Objektifikasi perempuan tidak hanya terjadi dalam media massa saja, seperti berita, iklan, atau film. Tanpa kita sadari, objektifikasi perempuan seringkali hadir di sekitar kita dalam bentuk-bentuk kecil yang mungkin luput dari perhatian kita. Kemunculan akun-akun “kampus cantik” yang beberapa tahun terakhir menjadi fenomena tersendiri di media sosial merupakan salah satu contohnya.
Sumber: Pinterest
Hingga kini, telah begitu banyak perguruan tinggi yang memiliki setidaknya satu akun–umumnya di Instagram–yang secara khusus mengkurasi foto-foto mahasiswinya yang dianggap cantik. Pengelola akun “kampus cantik” seringkali tidak hanya menggugah foto-foto mereka, tetapi juga mencantumkan sejumlah identitas pribadi, seperti nama lengkap, program studi dan angkatan, akun media sosial pribadi, hingga data-data lain yang bisa jadi bersifat konfidensial, seperti nomor induk mahasiswa dan nomor HP.
Awalnya, kehadiran akun-akun “kampus cantik” memang tidak dipandang sebagai sebuah masalah serius. Hingga kini pun, masih banyak yang memiliki anggapan serupa. Toh, siapa yang tidak ingin fotonya dipajang di akun “kampus cantik”? Publikasi di akun “kampus cantik” seperti menjadi sebuah bentuk validasi atas kecantikan seorang perempuan, sehingga hal ini dinilai sebagai kebanggaan tersendiri.
Namun, lambat-laun semakin banyak yang mempertanyakan eksistensi akun “kampus cantik” tersebut. Apa sebenarnya tujuan dibuatnya akun “kampus cantik”? Apakah memang semata ingin memberikan apresiasi terhadap para mahasiswi yang berparas menawan? Lalu, apa saja tolok ukur yang digunakan untuk mempublikasi seseorang dalam akun tersebut? Bukankah standar kecantikan bersifat relatif dan setiap individu dapat memiliki kriteria serta definisi yang berbeda mengenai kecantikan?
Di luar tumbuh suburnya objektifikasi terhadap perempuan melalui eksistensi akun “kampus cantik”, ada masalah lain yang tidak kalah serius, yaitu terkait dengan consent dan perlindungan data pribadi. Sudah cukup banyak mahasiswi yang mengeluh karena ulah admin akun “kampus cantik” yang mencomot foto serta identitas pribadi mereka tanpa izin. Setelah mendapatkan publikasi di akun “kampus cantik”, para mahasiswi tersebut juga kerap menerima perlakuan tidak menyenangkan dari orang-orang asing, mulai dari stalking (mengulik informasi pribadi seseorang secara berlebihan), teror di media sosial dan aplikasi berkirim pesan, hingga penyalahgunaan data pribadi. Ironisnya lagi, ketika admin-admin akun “kampus cantik” tersebut ditegur dan diminta menghapus unggahannya, mereka justru menunjukkan sikap defensif. Mereka menilai para perempuan yang fotonya dipajang di sana seharusnya bersyukur karena dianggap cantik dan mendapatkan eksposur yang dapat mendongkrak popularitas mereka, setidaknya di lingkungan kampus.
Dampak Objektifikasi Perempuan
Objektifikasi terhadap perempuan tidak hanya berdampak pada persepsi masyarakat secara umum mengenai perempuan, tetapi juga memiliki imbas negatif di kalangan para perempuan itu sendiri, selain persoalan privasi akibat akun “kampus cantik” yang telah disebutkan sebelumnya. Internalisasi anggapan bahwa nilai seorang perempuan hanya ditentukan oleh fisik dan daya tarik seksualnya membuat perempuan merasa perlu untuk bersaing.
Sumber: WforWomen
Perempuan saling berkompetisi dalam hal penampilan, memandang perempuan lain yang dianggap lebih menarik sebagai sebuah ancaman, serta menunjukkan sikap agresif terhadap mereka (Wang dkk., 2020). Dalam sebuah hubungan romantis antara laki-laki dan perempuan, misalnya, perempuan sering dituntut untuk menjaga penampilan agar pasangannya tidak “jajan” pekerja seks atau selingkuh dengan perempuan lain. Ketika sebuah perselingkuhan terkuak, penampilan fisik antara “si pasangan sah” dengan “si selingkuhan” tidak jarang menjadi perhatian dan kerap dibanding-bandingkan.
Objektifikasi perempuan juga dapat berkembang menjadi objektifikasi terhadap diri sendiri, sehingga perempuan lebih mementingkan penampilan fisik daripada aspek-aspek lain dalam dirinya, seperti kepribadian, prestasi, bakat, dan sebagainya (Wang dkk., 2020). Ketidakpuasan terhadap penampilan ini lantas berimplikasi pada obsesi untuk terus mempercantik diri sendiri yang seringkali ditempuh dengan cara-cara yang kurang tepat, seperti diet ekstrem, pemakaian kosmetik atau obat-obatan yang berbahaya, atau menjalani prosedur/tindakan yang tidak terjamin keamanannya secara medis. Dari segi psikologis, ketidakpuasan terhadap penampilan diri sendiri juga dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Kondisi ini dapat berkembang menjadi berbagai gangguan kejiwaan serius, seperti depresi, kecemasan, gangguan makan, hingga keinginan bunuh diri.
Sumber: Sosial79
Melawan Objektifikasi Perempuan Mulai dari Diri Sendiri
Sumber: Freepik
Cara paling sederhana yang dapat dilakukan untuk mencegah semakin maraknya objektifikasi terhadap perempuan tentunya dengan menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat. Kita perlu lebih sering menggaungkan narasi yang sarat akan kesetaraan gender; bahwa pada dasarnya perempuan adalah manusia utuh yang berakal budi dan memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri, serta nilai dirinya tak hanya bergantung pada penampilan fisik atau daya tarik seksualnya. Narasi seperti ini dapat disampaikan melalui berbagai bentuk, mulai dari diskusi–baik formal maupun informal, kampanye di media sosial, karya seni (contoh: lagu “Scars to Your Beautiful” karya penyanyi Alessia Cara yang berbicara mengenai persepsi positif terhadap tubuh yang “tidak sempurna atau ideal”), atau tulisan seperti artikel ini. Kita juga bisa secara aktif menegur pihak-pihak yang masih mempraktikkan objektifikasi perempuan, seperti jurnalis yang menulis judul berita sensasional, akun “kampus cantik”, atau acara televisi yang menghadirkan selebriti cantik hanya sebagai pemanis atau gimmick.
Melawan objektifikasi perempuan yang dilanggengkan oleh masyarakat memang bukan perkara mudah. Hasilnya pun tak selalu instan. Namun, kita semua optimis bahwa apa yang kita lakukan saat ini untuk memperjuangkan keadilan gender akan berbuah manis pada waktunya.
Referensi:
Fredrickson, B. L. & T. A. Roberts. 1997. Objectification Theory: Towards Understanding Women’s Lived Experiences and Mental Health Risks. Psychology of Women Quarterly, 21(2), p. 173-206.
Nayahi, Manggala. 2015. Objektifikasi Perempuan oleh Media: Pembakuan Identitas Perempuan dan Dominasi Kekuasaan Laki-laki. https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/objektifikasi-perempuan-oleh-media-pembakuan-identitas-perempuan-dan-dominasi-kekuasaan-laki-laki. Diakses pada tanggal 14 Juli 2022.
Szymanski, Dawn M. dkk. 2011. Sexual Objectification of Women: Advances to Theory and Research. The Counseling Psychologist, 39(1), p. 6-38.
Wang, Xijing dkk. 2020. Women’s Intrasexual Competition Results in Beautification. Social Psychology and Personality Science, 12 (5), p. 1-10.
Penulis konten: Rani