Belakangan ini, penanganan hukum sebuah kasus di Indonesia diramaikan dengan tagar #noviralnojustice. Ungkapan ini merujuk pada banyaknya kasus kriminal yang kronologinya harus diunggah dahulu ke platform media sosial dan mendapatkan banyak tanggapan dan reaksi dari warganet sebelum akhirnya ditangani oleh aparat negara.
Selain tagar #NoViralNoJustice, #PercumaLaporPolisi dan #SatuHariSatuOknum juga muncul untuk mengungkapkan kekecewaan masyarakat akan kinerja polisi dalam melakukan menangani korban kasus kriminal. Masyarakat menilai pihak polisi lamban dalam melakukan tindak lanjut terhadap laporan masyarakat.
Untuk menanggapi kinerja polisi yang kurang memuaskan tersebut, masyarakat lebih memilih untuk mendapatkan bantuan dari publik dalam mencari keadilan. Kasus-kasus kriminal tersebut disebarluaskan melalui media sosial seperti Twitter, dalam sebuah threads hingga viral. Platform media sosial merupakan sumber informasi yang paling mudah diakses oleh masyarakat Indonesia. Kasus-kasus tersebut akan dengan sangat cepat mendapatkan perhatian serius dan menimbulkan berbagai macam reaksi dari warganet.
Makin terekspos suatu kasus, aparat kepolisian akan semakin terdesak untuk menangani sebuah kasus atas tuntutan masyarakat agar mereka bergerak dengan cepat. Menjadi viral seperti sebuah jalan pintas bagi masyarakat agar penegak hukum mau peduli untuk menindaklanjuti kasus mereka. Terbukti, kasus-kasus yang viral akan mendapatkan penanganan yang lebih cepat.
Perbedaan cara aparat penegak hukum dalam menangani kasus apabila sudah viral merupakan sebuah bentuk diskriminasi. Semudah-mudahnya akses media sosial sebagai sumber informasi, masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak bisa mengakses internet serta paham tentang cara memanfaatkan teknologi tersebut. Dengan keterbatasan tersebut, apa yang harus mereka lakukan apabila jalan satu-satunya untuk mendapat keadilan adalah dengan melapor langsung ke kepolisian? Selain itu, situasi ini juga berlawanan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Tidak seharusnya korban baru bisa mendapatkan keadilan hanya saat kasusnya telah viral.
Sebagai contoh kasus No Viral, No Justice ini adalah kasus NCII yang ada di Indonesia. NCII (non-consensual dissemination of intimate images) atau penyebaran konten intim secara non konsensual merupakan suatu bentuk kekerasan berbasis gender online. Seperti dijelaskan dalam SAFEnet, pelaku akan memanfaatkan konten intim atau seksual yang bisa berupa gambar atau video milik korban untuk mengancam atau mengintimidasi korban agar menuruti kemauan pelaku.
Istilah lain sebagai bentuk dari NCII ialah Revenge Porn dan Sextortion. Istilah revenge porn dinilai problematik karena kata “revenge” yang berarti balas dendam karena menunjukkan seolah korban sebelumnya melakukan kesalahan yang pada akhirnya membuat pelaku berhak atas melakukan pembalasan dendam dengan mengancam korban untuk menyebarluaskan konten intim secara non konsensual. Yang kedua adalah sextortion. Istilah ini merupakan gabungan dari dua kata; sexual dan extortion yang artinya pemerasan seksual. Sekstorsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan dan kepemilikan pelaku atas konten intim korban untuk selanjutnya melakukan pemerasan terhadap korban.
Di Indonesia, sebulan yang lalu, kasus NCII di Pandeglang menjadi sorotan publik. Kasus ini viral di media sosial Twitter dalam sebuah thread oleh pemilik akun @zanatul_91. Cuitan tersebut telah dilihat sebanyak 19,4 juta pengguna Twitter. Kasus tersebut melibatkan seorang mahasiswa yang menjadi korban pemerkosaan dan NCII dengan pelaku berinisial AHM.
Iman Zanatul Haeri sebagai kakak korban yang membagikan thread tersebut mengungkap alasannya untuk mengangkat peristiwa ini ke publik adalah karena buruknya proses penanganan kasus tersebut di pengadilan, seperti korban dan saksi dipanggil jaksa penuntut ke ruang pribadinya. Dikatakan pula bahwa jaksa berusaha menggiring opini seperti “korban harus ikhlas”, dan “korban harus bijaksana”. Parahnya lagi, diceritakan bahwa seorang jaksa perempuan di Kejari Pandeglang merespon kasus ini dengan mengatakan bahwa kasus ini tidak dapat dibuktikan karena tidak ada visum.
Dari kasus ini, kita bisa menilai bahwa, kasus Pandeglang diangkat ke ranah publik karena kekecewaan serta keputusasaan korban dan keluarga terhadap proses pencarian keadilan, bagaimana proses persidangan seolah mempersulit langkah korban untuk mendapatkan keadilan hukum.
Namun, proses speak up bukanlah jalan yang mudah untuk ditempuh. Memviralkan kasus ke ranah publik merupakan jalan terakhir penuh resiko yang harus diambil karena tanpa viral, kasus tersebut tidak akan cepat tuntas. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses speak up ini, antara lain:
- Kerentanan terhadap UU ITE yang berhubungan dengan diketahuinya identitas pelaku oleh publik
- Dalam kasus kekerasan seksual, korban umumnya akan merahasiakan kasus untuk menghindari rasa malu dan trauma. Dengan viralnya kasus, otomatis masyarakat jadi tahu tentang keberadaan kasus tersebut. Hal ini harus ditangani secara hati-hati dalam pendampingan korban.
- Belum tentu kasus yang sudah viral pun akan ditangani dengan tuntas. Hal ini merupakan the worst case scenario. Kasus sudah naik ke ranah publik namun, penanganannya masih belum maksimal.
Tidak seharusnya masyarakat Indonesia perlu untuk memviralkan suatu kasus agar bisa ditangani secara tuntas oleh aparat penegak hukum. Bahkan, undang-undang dasar Indonesia menyebutkan setiap orang berhak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Tagar #NoViralNoJustice merupakan bentuk ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum. Harapannya, hal ini menjadi refleksi bagi seluruh instansi penegak hukum untuk memperbaiki kinerja mereka untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan meyakinkan mereka bahwa badan penegak hukum di Indonesia mampu melindungi seluruh lapisan masyarakat.
Referensi:
Ariyani, I. (2023). ‘No Viral, No Justice’: Viral Dulu di Media Sosial, Baru Korban Dapat Penanganan? Konde.co. https://www.konde.co/2023/07/no-viral-no-justice-viral-dulu-di-media-sosial-baru-korban-dapat-penanganan.html/. Diakses 26 Juli 2023.
Kusuma, E, Justicia Avila Veda. (2020). (Diancam) Konten Intim Disebar Aku Harus Bagaimana? Panduan Sigap Hadapi Penyebaran Konten Intim Non Konsensual. SAFEnet. Diakses 25 Juli 2023.
(2023). Sindiran ‘No Viral No Justice dan Balasan ‘No Baper’ dari Polri. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230630013657-12-967952/sindiran-no-viral-no-justice-dan-balasan-no-baper-dari-polri. Diakses 26 Juli 2023.
Penulis : Ahiko Antaniami
Editor : Desy Putri R.