Pasang Surut Kontes Kecantikan

Kontes kecantikan merupakan ajang tahunan untuk menunjuk perempuan yang dinilai paling “cantik”. Kecantikan yang dimaksud tidak hanya berbentuk fisik, namun juga dalam segi tata krama, perilaku, kecerdasan, kemampuan intrapersonal, kebugaran, atau sejumlah sebutan untuk melengkapi konsep “cantik”. Kontes kecantikan pertama diadakan pada zaman Yunani kuno. Namun History Channel mencatat bahwa kontes kecantikan modern pertama kali diadakan di kota Spa, Belgia, pada tahun 1888. Pada saat itu, sebuah koran lokal mengumumkan sebuah pemilihan bertajuk “perempuan paling cantik di dunia” dan masyarakat diminta untuk mengirimkan foto dengan profil singkat mereka. Dari kompetisi tersebut terpilihlah Marthe Soucaret. Oleh karena itu, bisa dikatakan Marthe Soucaret adalah ratu kecantikan pertama di dunia. Ia mendapatkan hadiah uang tunai dan kesempatan untuk tampil di sampul majalah Prancis L’Illustration, majalah pertama di dunia yang mencantumkan gambar ilustrasi.

Sejak saat itu, kontes kecantikan mulai menjamur dimulai dengan kontes kecantikan yang diadakan di Kota Atlantic. Pada tahun 1921, dibuat sebuah kontes kecantikan resmi bernama Miss America dengan tujuan menarik turis di kota tersebut. Sedangkan di Indonesia, kontes kecantikan digagas pada tanggal 18 Agustus 1992 dengan nama Putri Indonesia. Perempuan yang menjadi pemenang kemudian bertindak sebagai duta bangsa dalam berbagai kegiatan, baik tingkat nasional maupun internasional, untuk memperkenalkan pariwisata, budaya, ekonomi dan komoditi perdagangan Indonesia. Ajang Putri Indonesia dilaksanakan setiap tahun dengan parameter penilaian brain (kecerdasan), beauty (kecantikan), dan behaviour (perilaku). Melalui kontes kecantikan, perempuan dituntut untuk tidak hanya memiliki fisik yang menarik, tapi juga kecerdasan, perilaku, maupun bentuk lainnya. Sehingga konsep “cantik” turut menjadi sempit sebagaimana yang ditampilkan dalam kontes kecantikan.

Hal ini lalu menimbulkan pro dan kontra terkait eksistensi Putri Indonesia ataupun ajang kecantikan lainnya. Pihak yang mendukung adanya ajang kecantikan menganggapnya sebagai bentuk hiburan, karena melirik perempuan cantik nan cerdas dapat menyegarkan mata dan penghilang penat. Stasiun televisi maupun produk kecantikan juga diuntungkan dalam penayangan ajang kecantikan ini. Naiknya rating tayang serta konsumerisme akibat ingin menjadi “cantik” seperti yang ditayangkan di media, membuat ajang kecantikan menguntungkan para kapitalis. Namun, seiring perkembangan zaman dan naiknya nilai-nilai feminis dalam masyarakat, kontes kecantikan kemudian dinilai lebih memberikan dampak negatif bagi publik. Sehingga relevansi kontes kecantikan kemudian menurun dalam kehidupan masyarakat. Mengapa begitu? Simak hal-hal berikut ini!

Gerakan Feminisme Liberal

Feminisme liberal memfokuskan gerakannya pada kepemilikan tubuh perempuan. Objektifikasi perempuan dalam kontes kecantikan dianggap sebagai eksploitasi besar-besaran terhadap kecantikan perempuan itu sendiri. Tubuh perempuan dipertunjukkan seperti boneka yang dapat ditata ulang dan publik dapat memberikan penilaian terhadap bagus atau tidaknya tubuh mereka. Naiknya pemahaman akan feminisme liberal kemudian membuat masyarakat tidak memandang kontes kecantikan sebagai ajang hiburan, namun mulai melihatnya dari kacamata objektifikasi perempuan.

Body Positivity

Cantik bukan lagi karena tubuh yang langsing dan kulit yang putih, tapi cantik ialah mengakui bahwa setiap tubuh memiliki keunikannya masing-masing yang membuatnya cantik. Inilah pesan yang ingin dibawa oleh body positivity. Dalam setiap kontes kecantikan, terdapat aturan terkait ukuran tubuh yang dapat mengikuti kontes kecantikan. Minimal tinggi 165 cm dan berat badan sesuai BMI (body mass index – indeks massa tubuh), menghasilkan para finalis kontes kecantikan hanya terdiri dari satu kategori bentuk tubuh saja. Selain itu, meski warna kulit para finalis sudah lebih inklusif, tidak dapat dipungkiri bahwa konteks kecantikan cenderung dimenangi oleh perempuan berkulit cerah. Kedua hal ini turut melestarikan standar kecantikan yang terpaku pada tubuh yang “ideal”. Untungnya, lambat laun body positivity mulai menggeser standar kecantikan yang digaungkan oleh kontes kecantikan. Perempuan mulai menerima diri sendiri apa adanya dan melihat bahwa semua bentuk tubuh cantik.

Kehadiran “Duta” Alternatif untuk Sektor Pariwisata dan Kemanusiaan

Pemenang dari kontes kecantikan seringkali diminta untuk bertindak sebagai promotor pariwisata atau duta kemanusiaan. Dengan munculnya influencer dan maraknya kegiatan relawan kemanusiaan, pemenang kontes kecantikan tidak relevan lagi dalam meningkatkan promosi ataupun kesadaran terkait isu-isu kemanusiaan.

Itulah sederet hal yang membuat kontes kecantikan mulai kehilangan relevansi dalam kehidupan sosial masyarakat. Dewasa ini, sudah bukan “pajangan” belaka yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tindakan-tindakan yang riil dan nyata, itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Individu-individu yang siap memberikan sumbangsih dan berkontribusi dalam kehidupan sosial masyarakat tanpa harus mengikuti kontestasi terlebih dahulu. Lantas apakah kontes-kontes kecantikan masih akan berlangsung ke depannya? Mari kita saksikan bersama.

Penulis: Nikita Rosa Damayanti Waluyo


REFERENSI

Haniy, S.U. (2017). “Memahami Kontes Kecantikan yang Penuh Kontroversi”. https://www.rappler.com/world/bahasa-indonesia/kontroversi-dunia-pageant-kontes-kecantikan

Nur, A. (2020). Hermeneutika Tubuh (Studi Kritis Atas Tayangan Kecantikan Putri Indonesia). At-Turost : Journal of Islamic Studies, 6(2), 158-172. https://doi.org/10.52491/at.v6i2.43

Pratiwi, R. Z. B. (2018). Perempuan dan Konteks Kecantikan (Analisis Mengenai Konstruksi Citra dalam Bingkai Komodifikasi). Jurnal An-Nida, 10(2), 134-143.

Sari, A. H., & IP, S. (2016). Kontes Kecantikan: Antara Eksploitasi dan Eksistensi Perempuan. In Dalam Madura Dalam Perspektif Budaya, Gender, Politik, Indutrialisasi, Kesehatan dan Penfifikan. Prosiding Seminar Nasional Gender dan Budaya Madura III. Madura: Puslit Gender dan Budaya Madura LPPM UTM.

Sulistyaningrum, R. K. (2011). Mitos Kecantikan dalam Tayangan Pemilihan Putri Indonesia 2009. Disertasi Doktoral, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *