Pemaksaan Jilbab di Sekolah Merupakan Bentuk Intoleransi 

Perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan yang masif untuk mengikuti aturan berpakaian di sekolah seiring dengan meningkatnya konservatisme Islam di Indonesia. Berikut adalah sebuah contoh kasus siswi yang depresi karena dipaksa mengenakan jilbab oleh para gurunya di sekolah. 

Seorang siswi kelas X SMAN 1 Banguntapan Bantul, DIY mengaku mengalami depresi usai dipaksa mengenakan jilbab di sekolahnya. Menurut Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY), siswi itu mengaku dipaksa memakai jilbab sebagai salah satu bagian seragam wajib ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).

Yuliani, koordinator AMPPY selaku pendamping siswi menceritakan, peristiwa bermula ketika siswi tersebut menjalani hari pertama MPLS tanggal 18 Juli 2022. Yang bersangkutan masuk seperti biasa tanpa mengenakan jilbab.

Setelahnya, siswi berusia 16 tahun itu menerima pesan undangan panggilan ke ruang Bimbingan dan Konseling (BK) via WhatsApp. Kemudian tanggal 19 (Juli), anak itu dipanggil di BP (BK) diinterogasi tiga guru BP. Ia ditanya, “kenapa gak pakai jilbab?”.  Kata Siswi itu kepada Yuli, saat itu dia menjawab belum berkenan mengenakan jilbab. 

Saat di ruang BK, siswi itu mengaku dipaksa keterangannya hingga merasa tersudut dan pada akhirnya dipakaikan jilbab oleh seorang guru di sana. Hal ini sudah termasuk ke dalam pemaksaan jilbab. 

Siswi tersebut  di sela-sela pemeriksaan oleh BK, meminta izin pergi ke toilet. Ia kemudian menangis selama sekitar satu jam. Saat pintu terbuka, ia sudah dalam kondisi lemas dan dibawa ke UKS. Siswi ini mengalami trauma usai dua kali dipanggil oleh BK untuk persoalan yang sama. 

Kemudian, pada tanggal 24 Juli kemarin ia disebut mengurung diri seharian di kamar rumahnya. Lalu pada 25 Juli, siswi tersebut jatuh pingsan saat mengikuti kegiatan upacara bendera. Siswi itu sempat tak mau makan setelahnya. Bahkan, anak semata wayang ini tidak mau berbicara kepada orangtuanya.

Pemaksaan Jilbab Merupakan Bentuk Ketidakadilan 

Selama dua dekade terakhir, perempuan dan anak perempuan di Indonesia menghadapi tuntutan hukum dan sosial, yang belum pernah ada sebelumnya, untuk mengenakan pakaian yang dianggap Islami sebagai bagian dari upaya lebih luas untuk memberlakukan Syariat Islam, di banyak daerah di negeri ini. Tekanan ini meningkat secara kuat dan cepat dalam beberapa tahun terakhir. 

Apa yang terjadi pada siswi kelas X SMAN 1 Banguntapan merupakan sebuah bukti dibalik banyaknya kejadian pemaksaan jilbab di Indonesia, bahwa ia menjadi korban ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. 

Desakan atau persetujuan pemerintah untuk menekan perempuan dan anak perempuan memakai jilbab, dengan dalih kewajiban dalam Islam, adalah serangan terhadap hak asasi mereka atas kebebasan beragama, berekspresi, dan privasi. 

Bagi banyak orang, ini adalah bagian dari serangan yang lebih luas terhadap kesetaraan gender dan kemampuan perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan berbagai hak, seperti untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan jaminan sosial. 

Belum lagi, masyarakat kita tidak menyadari derita psikologis yang tak main-main yang dapat dialami oleh korban pemaksaan jilbab. 

Tidak Ada Aturan Wajib Berjilbab Bagi Anak Perempuan di Seluruh Penjuru Indonesia 

Sejak Indonesia merdeka, aturan seragam sekolah negeri berubah-ubah, terutama menyangkut jilbab. Sempat dilarang berjilbab pada dekade 1970-an, muncul kebijakan wajib jilbab pada 1990-an di sekolah negeri hingga kini. Namun, ke depan situasi akan berubah lewat aturan baru. Tiga menteri Jokowi menerbitkan regulasi baru yang melarang mewajibkan sekaligus melarang pengekangan pemakaian seragam “agama tertentu” kepada siswa hingga guru. Ketiga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim; Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani aturan bersama.

“Institusi sekolah tidak boleh lagi mewajibkan siswa maupun tenaga kependidikan menggunakan seragam dengan atribut keagamaan tertentu. Agama apa pun itu. Penggunaan seragam sekolah dengan atribut keagamaan di sekolah negeri merupakan keputusan murid dan guru sebagai individu,” kata Nadiem dalam penandatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri secara daring di Jakarta, Rabu (3/2/2021), melansir Antara.

Surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri memuat enam aturan: 

  1. Regulasi seragam hanya berlaku untuk sekolah negeri yang diselenggarakan pemerintah daerah; 
  2. Peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau b) seragam dan atribut dengan kekhususan agama; 
  3. Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama; 
  4. Pemerintah daerah dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan; 
  5. Jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar: a) Pemerintah daerah memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan. b) Gubernur memberikan sanksi kepada bupati/wali kota. Kemendagri memberikan sanksi kepada gubernur Kemendikbud memberikan sanksi kepada sekolah terkait Bantuan Operasional Sekolah dan bantuan pemerintah lainnya. c) Tindak lanjut atas pelanggaran akan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. d) Kemenag melakukan pendampingan praktik agama yang moderat dan dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi; 
  6. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan SKB sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh. 

Oleh: Laras Adinda Nabila

Editor: Laras Adinda Nabila

Referensi

Amali, Z. (2021, February 4). Larangan Mencegah & Wajib Berjilbab di Sekolah Memupus Intoleransi. Tirto.ID. Retrieved September 6, 2022, from https://tirto.id/f9WW

Anya, A. (2021, March 18). Cover up: Indonesian women pressed to wear Islamic headscarves. The Jakarta Post. Retrieved September 6, 2022, from https://www.thejakartapost.com/news/2021/03/18/cover-up-indonesian-women-pressed-to-wear-islamic-headscarves.html

CNN Indonesia. (2022, July 29). Siswi SMA di Bantul Mengaku Depresi Usai Dipaksa Kenakan Hijab. CNN Indonesia. Retrieved September 6, 2022, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220729165946-20-827933/siswi-sma-di-bantul-mengaku-depresi-usai-dipaksa-kenakan-hijab

Harsono, A. (2021, March 18). “Aku Ingin Lari Jauh”: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia | HRW. Human Rights Watch. Retrieved September 6, 2022, from https://www.hrw.org/id/report/2021/03/18/378167

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *