Pentingnya Representasi Otentik Penyandang Disabilitas di Dalam Film

Sumber gambar : womensnews.com

Nyatanya, dari progresifnya perkembangan film saat ini, representasi otentik dari individu penyandang disabilitas masih sedikit. Kurangnya representasi ini merupakan keprihatinan yang kritis. Apalagi ketika aktor tanpa disabilitas memerankan karakter penyandang disabilitas dengan keliru, muncul pertanyaan: “Apakah ini bisa diterima?” dan “Bagaimana perasaan penyandang disabilitas ketika mereka menonton ini?” Masalah ini tidak hanya mendorong introspeksi tetapi juga membuat kita merenungkan perspektif individu penyandang disabilitas itu sendiri. “Apakah mereka terluka oleh kesalahan representasi yang mereka lihat di layar?” Untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, film seharusnya mampu untuk memainkan peran penting dalam membentuk kembali cara pandang terhadap penyandang disabilitas.

Penting untuk diketahui bahwa representasi yang tepat dan otentik dari penyandang disabilitas di film memiliki dampak yang besar terhadap persepsi dan pemahaman masyarakat tentang kehidupan mereka. Ketika karakter disabilitas digambarkan dengan cara yang tidak akurat atau negatif, hal ini dapat memperkuat stereotip dan prasangka yang sudah ada, juga merendahkan pengalaman nyata yang dirasakan penyandang disabilitas. Dengan memperkuat representasi yang otentik dan menghadirkan cerita yang menghormati pengalaman hidup penyandang disabilitas, film dapat memainkan peran penting dalam mengubah pandangan dan sikap masyarakat terhadap mereka.

Representasi penyandang disabilitas yang keliru terlihat dari berbagai film. Di film “Million Dollar Baby”, yang menceritakan seorang petinju wanita yang lumpuh akibat spinal injury dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, dikritik oleh “Disability Rights Education & Defense Fund”. Film tersebut dianggap mempromosikan gagasan berbahaya bahwa kematian itu lebih baik daripada hidup dengan disabilitas. Demikian pula pada film “Me Before You” yang memicu protes dari para penyandang disabilitas karena gagasan yang sama. Di dalam film tersebut, karakter Will yang lumpuh lebih memilih untuk mati dengan bantuan bunuh diri karena menganggap tidak layak untuk hidup dengan disabilitas (Reid, 2019). Tidak jauh berbeda dengan film-film dari Hollywood, misinterpretasi penyandang disabilitas juga ternyata telah mengakar di dunia perfilman Indonesia. 

Dari salah satu jurnal berjudul “Representasi Disabilitas dalam Film Indonesia yang Diproduksi Pasca Orde Baru”, menunjukkan bahwa penyandang disabilitas biasa disebut “abnormal” di dalam film. Di dalam film-film, penyandang disabilitas seringkali tidak diterima oleh masyarakat karena mereka perlu mengubah cara mereka melakukan hal-hal sehari-hari. Penyandang disabilitas dipandang sebagai bahan tertawaan dan objek belas kasihan. Perbedaan antara “normal” dan “abnormal” ini berasal dari bahasa medis, yang mengatakan bahwa sebuah “kecacatan” adalah penyakit dan penyandang disabilitas perlu dipisahkan dalam dunia sosial (Arawindha et al., 2020). Narasi-narasi di film seperti ini menyebarkan stereotip berbahaya bahwa hidup dengan disabilitas pada dasarnya tragis dan bahwa individu penyandang disabilitas membebani orang-orang di sekitar mereka. Padahal nyatanya tidak demikian. Mungkin, hal tersebut juga merupakan penyebab dari banyaknya masyarakat Indonesia yang masih sering membuat candaan yang sangat merendahkan para penyandang disabilitas. 

Film memiliki kemampuan unik untuk menguatkan dan meruntuhkan stereotip dan miskonsepsi. Tidak hanya itu, film yang menampilkan representasi yang salah terhadap penyandang disabilitas, juga berdampak buruk bagi persepsi penyandang disabilitas terhadap diri mereka sendiri. Oleh karena itu, dengan menggambarkan penyandang disabilitas sebagai karakter multidimensional yang juga memiliki kekuatan, bakat, cerita, keinginan, dan aspirasi mereka sendiri, film dapat menantang anggapan bahwa jika seseorang merupakan penyandang disabilitas, bukan berarti bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk hidup selayaknya individu lainnya. Melalui representasi yang otentik, bisa menampilkan realitas disabilitas dan mempromosikan penerimaan dan inklusi. Ini juga bisa memberikan representasi positif bagi individu penyandang disabilitas dan mendidik masyarakat luas tentang pengalaman mereka, menumbuhkan empati dan pengertian. Dengan secara akurat mencerminkan keragaman dan kompleksitas pengalaman disabilitas, film dapat membantu meruntuhkan hambatan yang menghambat inklusivitas.

Lalu, tidak kalah penting juga bagi perusahaan film untuk melibatkan para penyandang disabilitas dalam pembuatan proses film. Dengan melibatkan mereka sebagai konsultan atau pemeran yang sesuai, film dapat memastikan representasi yang lebih akurat dan otentik. Penyandang disabilitas memiliki pengalaman pribadi yang berharga dan pemahaman yang dalam mengenai kehidupan mereka sendiri. Maka, penting bagi kita untuk memberi mereka ruang dan kesempatan untuk berkontribusi dalam film untuk menciptakan representasi yang lebih bermakna sekaligus memperkaya narasi. Selain itu, kolaborasi dengan organisasi atau kelompok advokasi penyandang disabilitas juga merupakan langkah yang baik.

Representasi otentik penyandang disabilitas di film sangat penting untuk menantang stereotip berbahaya, mempromosikan inklusi, dan menumbuhkan empati. Perusahaan film seharusnya memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi publik dan mempengaruhi sikap masyarakat. Dengan merangkul beragam narasi dan menampilkan bakat dan kehidupan realistis sehari-hari para penyandang disabilitas, film dapat berkontribusi pada dunia yang lebih inklusif. Sangat penting bahwa industri film menyadari tanggung jawabnya dan secara aktif bekerja menuju representasi otentik. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat di mana penyandang disabilitas dihargai, dipahami, dan disertakan dalam semua aspek kehidupan. Representasi otentik penting karena bagi banyak dari para penyandang disabilitas ini mungkin satu-satunya kesempatan mereka untuk melihat diri mereka tercermin secara positif di film.

Referensi :

Arawindha, U., Thohari2, S., & Fitrianita, T. (2020). Representasi Disabilitas Dalam Film Indonesia yang Diproduksi Pasca Orde Baru. Representasi Disabilitas Dalam Film Indonesia yang Diproduksi Pasca Orde Baru, 4(1), 133-151. 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2020.004.1.09

Reid, L. (2019, November 27). Misleading film: Disabilities in Film and Television – UAB Institute for Human Rights Blog. UAB Institute for Human Rights Blog. Retrieved July 6, 2023, from https://sites.uab.edu/humanrights/2019/11/27/misleading-film-disabilities-in-film-and-television/

Penulis : Syahla Aurelya D.

Editor : Desy Putri R.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *