Peran Ganda Perempuan : Spirit Pemberdayaan dan Hapus Diskriminasi

Sumber gambar : dspppa.belitung.go.id

Fenomena diskriminasi semakin masif diterima oleh kalangan perempuan. Perempuan dalam konstruksi sosial masyarakat telah terbentuk stereotip tertentu yang menyebabkan ketimpangan perlakuan yang didapatkan oleh kalangan perempuan. Stereotip itu salah satunya mengenai konsep patriarki dan keberadaan perempuan yang sering disebut sebagai ‘’The second sex”, yang artinya perempuan itu tidak terlahir melainkan dibentuk dan kehadirannya ada karena diberi ‘makna’ oleh lelaki, baik secara ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Hal tersebut menjadikan perempuan rentan mendapatkan tindakan diskriminatif. Ketidakadilan gender termasuk bentuk dari diskriminasi yang didapatkan oleh perempuan menurut Mansour Fakih ada beberapa macam bentuk yakni marginalisasi (pemiskinan), subordinasi, pelabelan negatif, kekerasan, dan beban ganda (double burden). 

Diskriminasi terhadap perempuan terjadi hampir di semua sektor kehidupan masyarakat. Tak terkecuali pada sektor publik yakni pada ranah politik. Berbagai macam bentuk diskriminasi dan pembatasan keterlibatan perempuan tersebut diantaranya, pelabelan negatif yang didapatkan oleh perempuan. Perempuan dianggap lemah (dependen), tidak rasional, pengambilan keputusan lebih mengandalkan perasaan. Maupun anggapan bahwa perempuan ‘tidak layak’ menjadi pemimpin sudah cukup mengakar kuat di masyarakat konvensional. Pandangan yang mengakar di masyarakat terhadap dunia politik adalah ranah publik, ranah yang cukup keras untuk berani mengambil resiko dan memerlukan akal serta pikiran-pikiran cerdas yang semuanya diasumsikan hanya mampu dilakukan oleh lelaki. Perempuan dianggap hanya cocok berkiprah pada sektor domestik. Akibatnya stereotip yang didapatkan perempuan tersebut menjadi jurang kesetaraan gender yang masih menjadi persoalan hingga hari ini. 

Ketika perempuan mulai tampil pada sektor publik termasuk di ranah politik, persoalan kemudian muncul karena bayang-bayang stereotip terhadap perempuan. Perempuan dianggap hanya pantas untuk ranah domestik atau ‘dapur’, sehingga tidak cukup mampu untuk berkontribusi dalam ranah politik. Selain itu, perempuan juga justru dianggap remeh oleh masyarakat konvensional karena dianggap tidak akan mampu menjalankan kedua peran baik itu di ranah domestik maupun ranah publik secara selaras. Hal ini menjadi persoalan penting yang patut diulas untuk memahami lebih lanjut terkait perempuan dengan peran ganda atau yang biasa disebut beban ganda. Pandangan diskriminatif tersebut nantinya perlu dijawab pula. Lalu, bagaimana konsep peran ganda/ multi peran perempuan mampu menghapus pandangan yang selama ini mendiskriminiasi perempuan? 

Perempuan dengan peran ganda 

Pandangan terkait perempuan dengan peran ganda atau beban ganda telah menjadi beberapa studi dan ulasan untuk memahami fenomena ini. Perempuan dengan stereotip konvensional sering dikaitkan dengan kepantasan hanya untuk sektor domestik. Sehingga, ketika ada perempuan-perempuan yang muncul dan berhasil berkontribusi pada sektor publik menjadi perdebatan bahwa perempuan juga harus menjalankan tugasnya dalam ranah domestik tersebut. Dengan demikian, perempuan seolah-olah memiliki beban ganda yang dipikulnya. Jika tidak, maka berbagai macam pelabelan negatif ataupun bentuk diskriminasi lainnya akan didapatkan oleh perempuan karena tidak dapat menjalankan peran domestiknya sebagaimana stereotip konvensional yang sudah tertanam selama ini di masyarakat. 

Peran perempuan saat ini telah bertransisi tidak hanya dalam ranah domestik saja. Namun, perempuan telah ikut berkontribusi dalam memberikan arti untuk pembangunan di masyarakat. baik itu secara ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Namun dengan peran domestik yang telah tersematkan dalam stereotip perempuan yakni sebagai ibu, istri dan pengelola rumah tangga. Fakta menyebutkan masih banyak hambatan yang dialami oleh perempuan diantaranya; 

  1. Hambatan eksternal, berupa nilai sosial dan budaya yang belum memadai adanya kesadaran gender di masyarakat. Masyarakat hampir sebagian besar masih terperangkap dalam aturan budaya patriarki bahwa perempuan lebih lemah dari lelaki sehingga hanya pantas berkecimpung dalam ranah domestik.
  2. Hambatan internal, datang dari perempuan berupa kesediaan, kemauan, serta konsistensi untuk tetap berjuang hingga diakui serta dihargai eksistensinya karena memiliki kemampuan berkontribusi dalam ranah publik, termasuk sektor politik. 
  3. Hambatan juga datang dari sistem pemerintah, diantaranya pada perundang-undangan yang masih dijumpai ketidakberpihakannya pada perempuan. 

Namun, terdapat persoalan terkait ketidakadilan gender, hal ini menjadi salah satu diskriminasi terhadap perempuan. Meskipun perempuan telah masuk kedalam ranah politik, tetap dijumpai fenomena subordinasi atau anggapan tidak penting dalam putusan politik ataupun pelabelan negatif yang diberikan. 

Perempuan dengan peran ganda juga dapat dipahami bahwa perempuan memainkan dua atau lebih secara bersamaan, yakni peran di ranah domestik dan dalam publik biasanya di ranah ekonomi maupun politik. Keberadaan konsep ini ternyata masih banyak disalahartikan sebagai adanya fenomena kesenjangan secara struktural antara perempuan dan laki-laki. Karena berdasarkan angka partisipasi perempuan dalam ekonomi atau pasar kerja dan politik, perempuan cenderung lebih rendah dari laki-laki. 

Data statistik terkait angka partisipasi perempuan dan laki-laki apabila dilihat tidak disertai oleh konteks kajian dari data tersebut juga lebih menyorot permukaan masalah saja. Karena, banyak pihak yang masih hanya berpatokan pada data statistik dan langsung menyimpulkan bahwa perempuan selalu berada dalam kondisi terpuruk meskipun sudah merambah dalam sektor pubik termasuk politik. Sehingga, dalam memahami konsep peran ganda perempuan ini perlu memahami pula spirit yang hendak dibawa untuk mencapai keadilan gender. 

Paradigma konsep peran ganda perempuan berakar dari adanya dikotomi atau pembedaan yang dibangun terhadap ranah domestik dan publik. Sehingga, jika hanya memahami konsep tersebut sebagai beban tambahan yang dipikul perempuan, hal tersebut justru seolah menyatakan benar bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki sebagaimana yang paradigma patriarki. Jika memahami lebih dalam dan tanpa mendikotomi ranah apapun. Perempuan sejatinya memiliki kekuatan yang lebih unggul dari laki-laki karena dengan peran maupun multi ganda yang dipikul tersebut terbukti mampu menjalankan masing-masing peran dengan baik sesuai kapasitas yang dimiliki. Hal tersebut justru mampu menepis sorotan diskriminatif yang selama ini dipahami oleh masyarakat secara konvensional bahwa perempuan hanya mampu dalam ranah domestik. 

Konsep peran ganda perempuan sejatinya jika ditelisik secara filosofis mengusung spirit pemberdayaan pada perempuan. Perempuan dengan keterlibatan aktifnya dalam berbagai sektor di masyarakat ternyata membuktikan bahwa dirinya dapat menjadi dirinya sendiri serta kemandirian baik itu pada ruang publik maupun domestik. Secara konsisten perempuan dapat mengasah kemampuan berfikir sehingga tetap seimbang antara perasaan dan pertimbangan rasional ketika mengutarakan pendapat maupun memberikan keputusan politik. Sehingga pelabelan negatif yang didapatkan oleh perempuan mampu dibantah dengan hadirnya perempuan-perempuan yang mampu berdaya di berbagai sektor dan lebih luas mampu berkontribusi dalam pembangunan negara.  Semangat pemberdayaan ini harapannya semakin membuat perempuan percaya diri bahwa dirinya sangat mampu untuk berkontribusi dalam berbagai peran, termasuk dalam ranah politik. 

Referensi :

Hidayah, Siti Nurul. detikNews. September 16, 2020. https://news.detik.com/kolom/d-5175383/perempuan-politik-dan-ketidakadilan-gender (accessed Juli 21, 2023).

Puji, Tri Marhaeni. “Citra Perempuan dalam Politik.” Yinyang – Jurnal Studi Islam, Gender, dan Anak III, no. 1 (Juni 2008): 3-16.

Wibowo, Dwi Edi. “Peran Ganda Perempuan dan Kesetaraan Gender.” MUWAZAH 3, no. 1 (Juli 2011): 356-364.

Zuhry, Ach Dhofir. LSF DISCOURSE. Maret 26, 2019. https://lsfdiscourse.org/perempuan-dan-second-sex/ (accessed Juli 21, 2023).

Penulis : Aisyah Fitri A.

Editor : Desy Putri R.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *