Semakin marak dan mudahnya akses ke berbagai sistem informasi terkadang malah membuat perempuan lebih rentan terhadap kekerasan. Saat ini kekerasan tidak hanya soal fisik yang memiliki wujud nyata, tetapi melalui internet hal terebut sangat mudah untuk dilakukan. Salah satunya adalah penggunaan media sosial sebagai wadah bagi pelaku kejahatan untuk melakukan aksinya.
Di manapun, kekerasan sekali lagi tidak dapat terhindarkan. Salah satu contohnya adalah kekerasan berbasis gender online dan Non Consensual Intimate Image (NCII) yang mana merupakan perilaku penyebaran konten intim atau seksual dengan mengancam dan mengintimidasi korban demi kepentingan pelaku. NCII merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender online yang meliputi pendistribusian foto atau video non-konsesnsual yang berisi ketelanjangan atau tindakan seskual.
Meskipun telah ada undang-undang yang mengatur terkait Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Undang-Undang Pornografi tidak lantas membuat seseorang merasa takut atau jera. Penyebaran informasi berupa foto atau video non-konsensual dengan hampir kebanyakan target utamanya adalah perempuan masih menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian.
Pelaku biasanya melakukan aksi dengan merekam korban secara diam-diam, dengan paksaan, ataupun dengan memanfaatkan teknologi artifisial intelejen seperti deepfake. Pelaku kemudian menyebarluaskan konten berbau seksual atau privat tersbut untuk memeras korban. Pelaku biasanya akan mengancam dengan menyebarkan video atau konten seksual untuk kepentingannya sendiri bahkan sering kali dikomersialisasikan. Hal yang sangat memprihatinkan adalah pelakuseringkali ialah seseorang yang dikenal korban, seperti mantan pasangan, teman dekat, atau keluarga. Pelaku juga dapat seseorang yang tidak diketahui korban sebelumnya. Melalui media tersebut amat sangat memudahkan aksesibilitas ke berbagai ranah kehidupan, baik publik maupun privat.
Perempuan sering menjadi target kekerasan berbasis online sebab para pelaku masih menganggap bahwa perempuan adalah objek pemuas nafsu seksual yang mudah dan lemah. Perempuan biasanya akan mendapatkan ancaman, korban yang merasa terancam pun akhirnya dibuat tidak berdaya dan menuruti permintaan pelaku. Terkadang pelaku menampilkan wajah korban atau menyembunyikannya, korban yang identitasnya telah diketahui alih-alih dilindungi, diberhentikan dari pekerjaan, dan sering kali mendapatkan sanksi sosial berupa penolakan dari masyarakat (cancel culture). Hal ini akan memberatkan korban baik secara fisik maupun psikologis. Imbasnya, korban akan merasa cemas, tidak berguna, rendah diri bahkan lebih parah lagi menyakiti diri sendiri karena korban merasa tidak ada seorangpun yang berpihak kepadanya dan ia harus menanggung beban ini sendirian.
Dengan adanya campur tangan teknologi dan kecanggihan internet di dalam penyebaran setiap konten, membuat kita perlu bijak dalam penggunaannya. Setiap orang sangat mudah untuk mengetahui informasi pribadi seperti data diri maupun data keluarga. Kecanggihan yang ada dan berbagai macam bahaya yang mengintai di belakangnya sudah sepatutnya menjadi pengingat dan peringatan bagi kita semua.
Fenomena kekerasan seksual memang seperti gunung es, hanya sedikit kasus yang dilaporkan dan ditindak oleh hukum. Kita dapat membantu korban dengan tidak ikut menjadi pelaku penyebarluasan konten, mendukung korban secara emosional dan memposisikan diri di posisi korban. Sebagai pengguna internet yang bijak, kita juga harus segera melaporkan akun terkait, bukan ikut-ikutan menyebarkan. Dan yang terpenting kita harus memiliki kesadaran, jangan mudah untuk memberikan hal yang bersifat pribadi kepada siapapun.
Penulis: Raodah Tul Ikhsan
Editor: Desy Putri R.