Perempuan dan Kodratnya

Sumber: Canva

Dalam sistem budaya dan sosial masyarakat Indonesia, perempuan ditempatkan semata-mata berfungsi sebagai objek reproduktif. Diam berada di rumah, melahirkan, dan mengasuh anak-anak yang dilahirkannya. Perempuan juga dituntut untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah yang dibebankan kepadanya karena tuntutan sosial. Banyak orang menganggap ini sebagai kodrat perempuan.

Berbicara soal kodrat perempuan, fungsi reproduksi pada perempuan dalam hal melahirkan dan menyusui anak adalah sesuatu yang alamiah/ biologis dan kodrati. Namun, yang terjadi adalah  fungsi reproduksi yang alamiah tersebut dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah yang dikategorikan sebagai pekerjaan domestik, seperti memasak, membersihkan rumah, mengurus anak, dan lain-lain. Lambat laun, pekerjaan domestik tadi menjelma menjadi kodrat perempuan.

Seiring berjalannya waktu, pekerjaan domestik yang menjelma menjadi kodrat perempuan itu telah meningkat menjadi pekerjaan yang bernilai ekonomi. Lagi dan lagi, polemik terjadi ketika pekerjaan itu bahkan tidak disebut pekerja rumah tangga, melainkan disebut sebagai pembantu. Pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga kemudian dikenal sebagai pekerjaan yang menggantikan ibu rumah tangga atau perempuan di dalam rumah tersebut. 

Perempuan juga dipersepsikan sebagai manusia yang memiliki kelemahan, keterbatasan, dan mendahulukan perasaan diatas logika. Oleh karenanya perempuan dianggap tidak layak bekerja di sektor publik yang dikenal keras, kompetitif, dan rasional. Perempuan yang berkarir di sektor publik justru dianggap menyalahi kodrat dan ingin berkompetisi dengan laki-laki.

Sementara itu, laki-laki dipersepsikan dan ditempatkan berfungsi produktif, sebagai pencari nafkah di ruang publik. Sebagai pencari nafkah, laki laki dianggap bertanggungjawab penuh terhadap keberlangsungan rumah tangga. Karena itu, laki-laki juga bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. 

Sebagai pencari nafkah dan kepala rumah tangga, laki-laki menyandang status sebagai bapak di dalam keluarga, yang juga ditempatkan sebagai penguasa di dalam keluarga. Komunikasi dan hubungan di dalam keluarga adalah hubungan kekuasaan, di mana bapak menjadi penguasa, yang tidak hanya menguasai keluarga, tetapi juga membentuk keluarga dalam kekuasaan laki-laki dan menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua di dalam keluarga. 

Karena itu, sistem hidup dan budaya di dalam keluarga juga membentuk pola kekuasaan di mana bapak adalah penguasanya. Budaya yang populer sebagai budaya patriarki ini tidak hanya berhenti di dalam keluarga atau rumah, tetapi juga menjadi budaya masyarakat dan budaya bernegara. Karena itu, semua permasalahan yang dialami oleh perempuan dianggap telah selesai diwakili oleh bapak, oleh suami, atau oleh laki-laki. 

Budaya dan ideologi patriarki tersosialisasi di dalam masyarakat karena mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan, baik agama dan kepercayaan, maupun bernegara. Karena itu, sekalipun dalam sejarah, banyak sekali perempuan yang mempunyai posisi penting di dalam masyarakat dan negara, tidak selalu mendapat apresiasi mengenai peran dan kemampuannya. Kondisi tersebut tidak hanya menutup partisipasi perempuan di ruang publik, tetapi juga menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan baik di dalam rumah tangga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara.

Sejumlah permasalahan serius yang dialami perempuan di antaranya, kekerasan terhadap perempuan, beban ganda, marjinalisasi, subordinasi, dan stereotip. Situasi yang dialami oleh perempuan tersebut terus berlangsung selama tidak ada upaya untuk mengubahnya. Apalagi banyak pihak mengambil keuntungan dari kondisi yang tidak adil itu. Karenanya banyak pihak ingin memelihara dan mempertahankan situasi tersebut dengan berbagai macam alasan dan dalih. 

Diskriminasi terhadap perempuan merupakan faktor yang selama ini membuat perempuan terpuruk dengan berbagai masalah yang terpelihara. Penghapusan diskriminasi menjadi suatu keniscayaan, karena kehidupan yang berkeadilan untuk perempuan dan laki-laki bisa dicapai tanpa adanya diskriminasi. Komitmen pemerintah untuk penghapusan diskriminasi dan pemberdayaan perempuan belum mengalami kemajuan yang berarti. Artinya, masih diperlukan kerja keras untuk mendorong percepatan reformasi kebijakan untuk keadilan gender.

Referensi :

Palulungan, L., Kordi, M., Ramli, M. (2020). Perempuan, Masyarakat Patriarki & Kesetaraan Gender. Makassar: Yayasan Bakti.

Majalandermaga.co. (2014, 22 April). Menjadi Wanita Terhormat Tanpa Melupakan Kodrat. Diakses pada 12 Februari 2023, dari https://www.majalahdermaga.co.id/post/81/menjadi_wanita_terhormat_tanpa_melupakan_kodrat

Penulis:  Ni Putu Diah Melina Tantri

Editor: Desy Putri R.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *