
Beberapa waktu belakangan ini dunia maya tengah diramaikan oleh berita tentang seorang influencer yang menerapkan childfree (keputusan untuk tidak memiliki anak) dalam pernikahannya. Selain itu ada pula seorang aktris perempuan yang memilih menunda dalam memiliki keturunan setelah ia menikah. Semua keputusan itu diambil dengan berbagai alasan berbeda, mulai dari belum siap dan ingin menikmati masa-masa berdua bersama pasangan, hingga tidak ingin “direpotkan” dengan kehadiran seorang anak. Pro-kontra pun terjadi di kalangan masyarakat, terutama dalam dunia maya. Ada yang menganggap mereka melawan kodrat sebagai perempuan karena tidak ingin memiliki anak, bahkan ada yang tega menuduh mereka berpura-pura tidak ingin memiliki anak untuk menutupi fakta bahwa mereka memang tidak dapat memilikinya karena suatu alasan medis tertentu.
Artikel ini tidak akan membahas mengenai keputusan-keputusan para perempuan itu lebih jauh, melainkan mengenai sikap masyarakat mengenai hal itu. Melihat respons masyarakat yang menentang keputusan para perempuan tersebut secara tidak langsung menunjukkan betapa masyarakat masih sulit untuk menerima keputusan yang tidak familiar dari seorang perempuan mengenai hidupnya sendiri. Lingkungan sosial-masyarakat secara tak kasat mata seolah telah membentuk berbagai aturan, yang jika tidak diikuti oleh seorang perempuan, maka ia akan dicap aneh, dikritik, bahkan dianggap bukan bagian dari masyarakat. Hasil dari aturan itu salah satunya menilai keberhargaan seorang perempuan dari rahimnya. perempuan dianggap sempurna jika memiliki keturunan. Kita mungkin pernah mendengar cerita tentang seorang perempuan yang diceraikan oleh suaminya karena tidak dapat memberikan keturunan, atau seorang perempuan yang rela dipoligami agar suaminya mendapatkan keturunan dari perempuan lain, sehingga berita mengenai seorang perempuan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak langsung ramai-ramai diserbu. Padahal hak untuk memiliki atau tidak memiliki anak atau kapan ingin memiliki anak, adalah salah satu dari dua belas Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).
Istilah HKSR pertama kali muncul dalam Konferensi Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan atau The International Conference on Population and Development (ICPD) yang diselenggarakan di Kairo, Mesir pada tahun 1994 dan Konferensi Dunia tentang Perempuan Keempat (Fourth World Conference on Women) pada tahun 1995 di Beijing, Cina. HKSR atau Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) adalah hak yang menjamin setiap individu untuk dapat mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksinya tanpa diskriminasi, paksaan, dan kekerasan. Namun sayangnya penerapan HKSR ini agaknya masih sangat sulit di tengah masih mengakarnya asumsi-asumsi sempit masyarakat terhadap perempuan. Padahal HKSR ini merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang seharusnya dihormati, bukan dijadikan perdebatan.
Perdebatan yang terjadi disebabkan oleh masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya mengedepankan hak tersebut. Peran perempuan dalam masyarakat yang seringkali hanya dijadikan objek ikut memperparah keadaan ini. Konsepsi sosial-budaya masyarakat menyebabkan mereka berpandangan bahwa peran perempuan hanya sebatas menjadi istri dan ibu. Jika salah satu atau keduanya belum terpenuhi, maka perempuan dianggap belum sempurna atau bahkan dipandang sebelah mata.
Setiap perempuan seharusnya memiliki hak penuh dalam memutuskan hal-hal terkait tubuhnya. Hamil dan memiliki anak membutuhkan kesiapan yang matang dalam berbagai aspek, seperti fisik, mental, bahkan ekonomi. Jika perempuan merasa bahwa ia belum atau tidak siap, lalu memutuskan untuk menunda atau bahkan menolak memiliki anak, maka keputusan tersebut seharusnya dihormati karena pada akhirnya mereka yang akan menjalani segala keputusan itu. Jangan sampai, karena tuntutan sosial-budaya masyarakat, seorang perempuan akhirnya mengabaikan kehendak atau kondisinya hanya karena malu atau takut menjadi bahan gunjingan masyarakat.
Referensi:
Rahayu, Angger (2015, 29 Januari). Perempuan dan Belenggu Peran Kultural. Dikutip 8 Februari 2023 dari Jurnal Perempuan:
https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/perempuan-dan-belenggu-peran-kultural
Rahadian, Arief (2018, 31 Mei). Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR). Dikutip 8 Februari 2023 dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia: https://pkbi.or.id/hak-asasi-manusia-ham-dan-hak-kesehatan-seksual-reproduksi-hksr/
Penulis: Lailatussyifah Nasution
Editor: Desy Putri R.