
“Bermimpilah, bermimpilah, dengan hal yang demikian hatimu merasa berbahagia, mengapatah akan tidak?” ― R.A. Kartini
Perempuan dan pendidikan, kedua kata yang seharusnya memiliki keterpaduan antara satu sama lain. Alamiahnya, perempuan tumbuh dan mendidik, menjadi sumber pertama dalam mempelajari kehidupan bagi anak-anaknya, adik-adiknya, atau bahkan orang-orang di sekitarnya. Pendidikan juga sejatinya merupakan hal yang krusial bagi perempuan karena merupakan fondasi bagi mereka dalam mendidik anak, berumah tangga, bekerja, bersosialisasi, serta dapat menjadi bekal bagi mereka untuk hidup dengan sehat, layak, dan mampu menentukan masa depannya (Ainiyah, 2017). Tragisnya, akses edukasi formal bagi beberapa kelompok perempuan di beberapa penjuru dunia, bahkan di Indonesia, hingga saat ini masih sangat terbatas, seperti contohnya di wilayah perdesaan. Seolah-olah, masih tabu bagi banyak kelompok perempuan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.“Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalau akhir-akhirnya juga bekerja di dapur?”
Secara historis, minimnya akses edukasi bagi perempuan juga turut disebabkan oleh ketidaksetaraan gender yang masih relevan hingga saat ini. Ketidaksetaraan gender mengacu pada konsep diskriminasi yang diperuntukkan bagi laki-laki maupun perempuan atas dasar gender mereka (Natasha, 2013). Adanya diskriminasi ini memupuk stigma sosial negatif yang beranggapan bahwa perempuan tidaklah perlu mengenyam pendidikan yang terlalu tinggi. Adapun bentuk lain yang dirasakan perempuan dalam konteks pendidikan adalah adanya subordinasi yang ditujukan pada perempuan, labelisasi yang menganggap perempuan cenderung lemah, penakut, dan cengeng, dan bahkan kekerasan baik secara fisik, verbal, hingga seksual di institusi pendidikan yang ditujukan pada perempuan (Natasha, 2013).
Hingga kini masih ada perempuan Indonesia yang mengalami ketertinggalan dalam segi pendidikan. Bila ditinjau dari segi sejarah pada masa Indonesia belum merdeka, dulunya perempuan secara gamblang tidak diberi akses pada pendidikan formal sama sekali. Hal inilah yang juga menjadi alasan munculnya gerakan-gerakan emansipasi perempuan. Meskipun memang kondisi dewasa ini sudah mengalami pertumbuhan positif, masih banyak perempuan Indonesia, utamanya di daerah pelosok, yang kurang mendapatkan pendidikan (Taylor, 2017). Dari sini kita mengetahui bahwa problematika perempuan dan pendidikan merupakan permasalahan yang berlapis-lapis, baik secara segi sosial hingga pemerintahan. Hal ini tentunya merupakan hal yang sangat menyayangkan karena sebenarnya perempuan memiliki segudang potensi yang bila diasah dapat berdampak positif bagi kemajuan bangsa pula.
Berlandaskan pada Universal Declaration of Human Rights pasal 26, setiap individu memiliki hak atas pendidikan. Secara domestik pun, jaminan atas akses pendidikan diatur pada Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Berdasarkan aturan-aturan ini, kita mengetahui bahwa pendidikan merupakan elemen esensial dalam kehidupan. Seharusnya, aksesibilitas pendidikan merupakan suatu hak milik tiap individu terlepas dari status dan gender yang mereka miliki. Akses pendidikan pun tidak selayaknya dipersulit hanya karena alasan gender semata.
Legasi dari Kartini, Dewi Sartika, dan sederetan tokoh pejuang emansipasi perempuan harus terus dilanggengkan. Tulisan ini mengajak segenap perempuan untuk berani meraih mimpinya setinggi langit dan memvalidasi apapun tujuan hidup yang mereka miliki, baik itu untuk mengenyam pendidikan setinggi langit, membangun keluarga harmonis, menjadi perempuan karir, dan lain sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh Kartini, “Perempuan adalah pembawa peradaban”. Standardisasi kebahagiaan terletak pada keinginan yang kita miliki. Hal lain yang dapat kita lakukan selain itu adalah menumbuhkan kepekaan terkait isu-isu sosial dan turut membantu sesama. Sistem patriarki, terlebih dalam konteks yang sangat universal seperti akses edukasi, bukanlah hal yang dapat sama sekali dinormalisasi.
Referensi
Ainiyah, Q. (2017). Urgensi pendidikan perempuan dalam menghadapi masyarakat modern. Halaca: Islamic Education, 1(2), 45–56.
Natasha, H., 2013. Ketidaksetaraan gender bidang pendidikan: Faktor penyebab, dampak, dan solusi. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, 12(1), pp.53-64.
Taylor, G, S,. (2017). Perempuan Indonesia Masih Tertinggal Dalam Pendidikan. [online] gaya hidup. Tersedia dalam: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170308130607-277-198669/perempuan-indonesia-masih-tertinggal-dalam-pendidikan [Diakses pada 19 Feb. 2023].
Penulis: Allyana Honosutomo
Editor: Desy Putri R.