“Perempuan Lemah dan Tidak Berpikir Logis”. Kata Stereotype Masyarakat. Benarkah?

“Lemah”

“Emosional”

“Tidak berdaya”

“Tidak berpikir logis”

Banyak dari kalian pasti sering mendengar kata-kata tersebut, bukan? Nah, pernah tidak kalian bertanya-tanya mengapa perempuan selalu dilekatkan dengan stigma tersebut?

Seringkali perempuan selalu dikaitkan dengan stigma dan stereotype negatif adalah karena adanya pola pikir masyarakat patriarkis yang sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat bahkan secara tidak sadar telah menanamkan nilai-nilai patriarkis pada setiap anak perempuan mereka sejak kecil. “Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, nanti juga cuma di dapur”, adalah satu dari sekian wujud pola pikir patriarkis yang masih membudaya hingga sekarang. Akibatnya, banyak perempuan yang memandang rendah kemampuan mereka sendiri. Mereka cenderung membatasi ruang gerak mereka pada ranah domestik sesuai dengan didikan dari orang tua atau sesepuh mereka.

Padahal, setiap sisi negatif pasti memiliki sisi positif juga. Begitu juga dengan sifat-sifat yang dimiliki perempuan. Meskipun perempuan seringkali dikatakan sebagai sosok yang “lemah”, namun nyatanya banyak perempuan yang mampu menunjukkan eksistensi dan kiprahnya di ranah publik. Tidak tanggung-tanggung, eksistensi mereka juga tidak hanya sekedar sebagai pegawai saja, ada beberapa dari mereka yang terbukti berhasil menjadi sosok pemimpin, sosok inspiratif dan sebagainya. Beberapa diantaranya adalah Carina Citra Dewi Joe, Tasya Kamila dan Atalia Praratya.

Carina Citra Dewi Joe adalah ilmuwan asal Indonesia yang menjadi salah satu figur di tim manufaktur yang sukses memproduksi vaksin yang paling banyak didistribusikan di dunia, yaitu Oxford AstraZeneca. Selanjutnya, Tasya Kamila yang adalah sosok public figure di Indonesia. Tasya tidak hanya sukses dalam karirnya di dunia entertainment, melainkan Ia juga sukses dalam pendidikannya. Ia pernah diangkat sebagai Duta Lingkungan Hidup, kemudian pernah juga ditunjuk sebagai perwakilan Indonesia untuk menghadiri Forum Dewan Ekonomi dan Sosial (ESOCOS) milik PBB. Ada juga Atalia Praratya yang merupakan founder dari Jabar Bergerak, Organisasi Non Pemerintah yang diniatkan menjadi Rumah Besar bagi siapapun warga Jawa Barat yang ingin melakukan iuran kebaikan di Jabar.

Nah, contoh eksistensi dan kiprah dari perempuan-perempuan tersebut pastinya sudah bisa mematahkan stigma negatif tentang perempuan bukan? Kata siapa perempuan lemah dan tidak berpikir logis? Nyatanya, jika diberi kesempatan untuk maju maka perempuan juga bisa sama dengan laki-laki.

Singkatnya, peran perempuan di ranah domestik bukan merupakan peran perempuan secara kodrati sehingga perempuan berhak mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk dapat terjun di ranah publik, tidak terkecuali jika perempuan tersebut memiliki kemampuan sebagai seorang pemimpin. Justru, sosok perempuan sebagai seorang pemimpin sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan kesadaran perempuan lain secara lebih masif bahwa posisi dan jabatan sebagai seorang pemimpin bukan hanya milik laki-laki, melainkan juga milik mereka sebagai sosok perempuan.

Oleh karena itu, peran perempuan tidak boleh dianggap remeh dan nilai-nilai patriarkis yang melekat pada budaya serta pola pikir masyarakat juga tidak boleh terus dilanggengkan karena pada dasarnya musuh setiap perempuan adalah budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi yang tersudut, tersubordinasi, terdiskriminasi dan bahkan teralienasi di lingkungannya sendiri. Perempuan saat ini harus mulai diberikan pemahaman dan kesadaran bahwa mereka berhak mendapatkan hak, kesempatan serta akses yang sama sebagaimana yang didapatkan oleh laki-laki, dan untuk itu eksistensi dari emansipasi perempuan dibutuhkan sebagai wujud untuk membela perempuan sebagai korban patriarki, bukan laki-laki.

Penulis: Rahajeng Galuh I.K

Referensi:

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *