Perkawinan Usia Anak: Sebuah Penjara Bagi Anak-Anak

“Pernikahan dini; Bukan cintanya yang terlarang; Hanya waktu saja belum tepat; Merasakan semua.”

Kalimat tersebut adalah penggalan lirik lagu “Pernikahan Dini” yang dinyanyikan oleh Agnes Mo sekitar awal tahun 2000-an. Sepenggal lirik tersebut juga menampilkan bagaimana pernikahan dini merupakan hal yang “tidak tepat” untuk dilakukan sebab waktunya pun “belum tepat”. Meski terkesan ada unsur romantisasi dalam lirik tersebut, namun gagasan bahwa pernikahan dini atau lebih khusus pernikahan usia anak adalah masalah merupakan fakta yang tidak dapat ditampik, sebab hal tersebut sama dengan “mengekang” anak dalam penjara bernama pernikahan padahal usia anak bukanlah usia untuk menikah melainkan untuk bermain dan belajar. Menurut portal berita detik.com, Indonesia menempati urutan ke-7 di dunia berkaitan dengan tingkat perkawinan usia anak. Hal ini menjadi fakta yang begitu menyedihkan hati, sebab sekalipun negara ini telah merdeka dari penjajah, nyatanya anak-anak masih “ditindas” dalam penjara bernama perkawinan.

Persoalan Perkawinan Usia Anak di Indonesia

Perkawinan usia anak di Indonesia merupakan hal yang amat krusial dan menyentuh berbagai macam aspek hidup. Pertama-tama, perlu diketahui bahwa menurut UU No. 23 tahun 2002, anak dijelaskan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun. Kemudian, perkawinan anak didefinisikan sebagai perkawinan yang terjadi sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik, fisiologis, dan psikologis untuk bertanggung jawab terhadap perkawinan yang terjadi termasuk keturunan yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.

Perkawinan anak tidak sesederhana menikahkan anak hanya karena kebiasaan atau adat-istiadat, sebab terdapat lapisan-lapisan lain yang menjadi persoalan entah itu berkaitan dengan penyebab, dampak, juga pertimbangan hukum terhadap perkawinan usia anak yang menunjukkan bahwa perkawinan anak nyatanya merugikan bahkan membahayakan perkembangan dan masa depan anak. Hal-hal tersebut sedikitnya akan dibahas sebagai berikut.

1.  Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Usia Anak

Perkawinan usia anak tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari yang berisikan kebiasaan dan teladan yang diwariskan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks Indonesia, pengaruh adat dan tradisi yang di dalamnya mengatur perihal norma atau aturan sosial dalam kelompok kerap menempatkan perkawinan sebagai solusi atas persoalan-persoalan tertentu dalam masyarakat, misalnya, perkawinan usia anak dilakukan untuk meneruskan garis keturunan atau solusi untuk kehamilan di luar nikah sekalipun yang menjadi korban adalah anak-anak. Orang-orang tua kerap menganggap “perkawinan” sebagai jalan untuk lepas dari persoalan, sebab masyarakat cenderung mencari kestabilan dan keamanan sosial meski itu hanya tampak di permukaan. Kebiasaan lainnya yang begitu mempengaruhi perkawinan usia anak ialah adanya budaya malu, sehingga orang-orang cenderung langsung menikahkan anak saat terjadi insiden kehamilan di luar pernikahan atau saat ketahuan berdua-duaan oleh masyarakat. Pengaruh tradisi dan budaya yang begitu kuat terhadap perkawinan anak pada akhirnya membuat persoalan perkawinan anak pun sulit untuk diubah. Pengaruh tradisi dan budaya ini juga semakin diperkuat dengan ajaran-ajaran agama yang diberlakukan secara harfiah tanpa ditafsirkan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan konteks.

Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi terjadinya perkawinan usia anak ialah aspek ekonomi dan pendidikan. Fadlyana dalam tulisannya menjelaskan bahwa kecenderungan kasus perkawinan usia anak lebih banyak terjadi pada keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah, meski tidak menutup kemungkinan juga keluarga dengan tingkat ekonomi yang tinggi juga menyepakati untuk melakukan perkawinan usia anak misalnya melalui perjodohan. Meski begitu, aspek ekonomi memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak, sebab keluarga dengan taraf ekonomi yang lebih baik cenderung mampu menjamin pendidikan anak termasuk akses informasi dan pengetahuan yang mampu menghindarkan sang anak dari perkawinan di usia yang belum tepat.

Pada kenyataannya, anak-anak yang menikah sebelum cukup usia cenderung tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Persetujuan menikah kerap merupakan akumulasi dari paksaan atau tekanan orang di luar diri sang anak seperti orang tua/wali, sehingga perkawinan terjadi semata-mata sebagai bentuk ketidaktahuan anak untuk berbuat sesuatu dan rasa bakti atau hormat kepada orang tua. Pengaruh hirarki dalam budaya patriarki juga turut menempatkan anak pada posisi yang lebih “rendah” sehingga mau tidak mau harus mengikuti apa yang dikatakan orang tua/wali. Kembali memperhatikan tulisan oleh Fadlyana, dijelaskan bahwa perempuan nyatanya tiga kali lebih banyak mengalami perkawinan usia dini dibandingkan laki-laki. Hal ini cukup untuk menunjukkan bahwa terdapat begitu banyak lapisan yang menjadi persoalan dan menindas dalam perkawinan usia anak.

2.  Perkawinan Usia Anak Sebagai Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Perkawinan usia anak nyatanya merupakan pelanggaran terhadap Hak Anak yang juga merupakan Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu hak dasar yang dibawa sejak lahir yang berlaku universal pada semua manusia. Hak ini perlu dijunjung dan dihormati oleh semua manusia juga negara. Hak ini juga menjamin keberlangsungan hidup seorang anak. Di Indonesia misalnya ini diwujudkan dengan cara menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negara termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia itu sendiri. Hak Anak ini merujuk kepada konvensi atau kesepakatan yang telah disetujui dalam kancah internasional. Berdasarkan UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, dapat diketahui adanya hak anak secara umum yakni: (1) hak hidup; (2) hak tumbuh-kembang; (3) hak perlindungan; dan (4) hak partisipasi. Salah satu prinsip penting dalam Hak Anak ialah “kepentingan yang terbaik bagi anak” di mana ini berarti menjamin dan melindungi anak beserta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari eksploitasi.

Menurut International Humanist and Ethical Union menyebutkan bahwa pernikahan anak merupakan bentuk kekerasan pada anak (child abuse). Sesuai UU Perlindungan Anak (pasal 26), maka sudah menjadi kewajiban orang tua dan masyarakat untuk menjaga dan melindungi anak termasuk dari eksploitasi oleh karena perkawinan usia anak. Seperti yang tertuang dalam salah satu pasal (36) Konvensi PBB berkaitan dengan Hak Anak yang juga dipublikasikan oleh UNICEF menegaskan bahwasannya, “Tiap anak berhak dilindungi dari eksploitasi dalam bentuk apapun yang merugikannya”.

3.  Dampak Perkawinan Usia Anak

Perkawinan usia anak dengan segala persoalannya tentulah juga membawa dampak bagi anak-anak. Usia yang masih belum dewasa (sesuai aturan 18 tahun) “ditempatkan” ke dalam perkawinan akan mempengaruhi hidup sang anak dalam berbagai aspek. Pertama, perlu diingat bahwa pernikahan yang dilakukan bisa jadi merupakan pernikahan yang tidak diinginkan, sekalipun dikatakan bahwa sang anak “bersedia” tetaplah perlu diingat bahwa kesediaan itu haruslah dibarengi dengan informasi dan pengetahuan yang cukup juga dengan kesadaran akan tingkat kedewasaan sang anak (di atas 18 tahun) untuk membuat keputusan. Pernikahan membutuhkan persiapan dalam berbagai aspek seperti ekonomi, mental, spiritual, dan seterusnya, maka pernikahan usia anak yang cenderung atas dasar paksaan orang luar atau karena situasi dapat mengganggu kestabilan aspek-aspek pernikahan tersebut.

Hal berikutnya ialah terkait dengan kesehatan. Kecenderungan yang terjadi dalam perkawinan usia anak adalah kurangnya informasi dan edukasi tentang hubungan seksual yang sehat dan bebas dari paksaan, potensi kesulitan yang dialami seorang perempuan saat mengalami kehamilan di usia muda seperti komplikasi medis serta terjadinya persaingan nutrisi antara ibu dan janin, juga risiko penularan infeksi HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Belum lagi dengan kesehatan psikologi anak, kecenderungan mengalami depresi dan trauma yang sebetulnya sadar atau tidak dialami oleh anak-anak, bagi anak perempuan yang hamil dan melahirkan harus berhadapan dengan postpartum, baby blues, krisis kepercayaan diri, atau bahkan berimbas negatif pada psikologis anak yang juga masih mengalami perkembangan.

Dampak lainnya adalah terputusnya akses pendidikan, di mana anak seringkali berhenti sekolah. Pendidikan sebagai hak bagi anak justru hilang begitu saja oleh karena perkawinan usia anak. Edukasi yang minim juga dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, isu-isu ketidaksetaraan gender, dan sebagainya. Pada dasarnya, pendidikan turut memberikan kontribusi bagi pembentukan diri seorang anak, oleh karena itu anak-anak yang harus berhenti sekolah dikarenakan perkawinan akan turut mengalami kendala dalam fase-fase pembentukan dirinya.

Perkawinan Usia Anak sebagai “Penjara”

Pada akhirnya, perkawinan usia anak yang digembar-gemborkan sebagai “solusi” oleh masyarakat umum bagi anak justru merupakan “penjara” paling sadis bagi anak-anak, sebab di dalamnya bukan hanya mimpi anak-anak tentang masa depan yang digerus melainkan juga masa kini sebagai anak-anak. Oleh karena itu, perkawinan usia anak sejatinya harus dihentikan.

Referensi

Aisyah, N. (2022, Maret 11). Indonesia Posisi Ke-7 Kasus Pernikahan Anak di Dunia, Pendidikan Masih Ngaruh? Retrieved Agustus 4, 2022, from detik.com: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5979138/indonesia-posisi-ke-7-kasus-pernikahan-anak-di-dunia-pendidikan-masih-ngaruh

Eddy Fadlyana, S. L. (2009). Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Sari Pediatri, 136-140.

UNICEF. (n.d.). Konvensi Hak Anak: Versi Anak-Anak. Retrieved Agustus 4, 2022, from Unicef Indonesia: https://www.unicef.org/indonesia/id/konvensi-hak-anak-versi-anak-anak

UNJA, T. F. (2020, September 30). Perlindungan Hak Asasi Anak Dalam Proses Pembelajaran Terhadap Perkembangan Psikologis. Retrieved Agustus 4, 2022, from https://law.unja.ac.id/perlindungan-hak-asasi-anak-dalam-proses-pembelajaran-terhadap-perkembangan-psikologis/

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *