Reproductive Rights vs. Reproductive Justice

algeria.unfpa.org

Kebebasan reproduksi merupakan hal mendasar yang terdapat dalam diri setiap orang.  Hal ini juga tertuang dalam 2 term yang sudah marak diperkenalkan dalam berbagai platform yakni reproductive rights (hak reproduksi) dan reproductive justice (keadilan reproduksi). Kendati demikian, masih ada kebingungan terkait 2 term ini, dalam terjemahan Indonesia misalnya kerap diartikan sebagai satu hal sama yakni hak reproduksi seksual. Karena itu, apa sih sebenarnya reproductive rights dan reproductive justice? Apakah keduanya sama atau berbeda? Apa pentingnya? Lalu, bagaimana dengan penerapannya di lapangan?

Tentang reproductive rights dan reproductive justice

Reproductive rights bukanlah satu hal yang baru atau seperangkat hak-hak yang baru muncul, melainkan sudah menjadi bagian dari hak asasi manusia. Reproductive rights sebetulnya merupakan hak yang sudah diakui dalam hukum nasional, instrumen hak asasi manusia internasional dan dokumen konsensus lainnya. Menurut International Conference on Population and Development (ICPD), reproductive rights merupakan hak yang dimiliki baik pasangan maupun individu untuk bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan untuk memiliki anak (keturunan), kapan dan bagaimana memiliki anak, serta jaminan untuk memperoleh sarana dan informasi yang dibutuhkan dalam membuat pilihan tertentu berkaitan dengan reproduksi. Secara sederhana, hak ini merujuk kepada kebebasan setiap orang untuk memutuskan tentang urusan reproduksi masing-masing. Adapun 12 pokok Hak Asasi Manusia yang menjadi landasan reproductive rights dalam rumusan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk Hidup;

2. Hak atas Kebebasan dan Rasa Aman;

3. Hak atas Kesehatan, termasuk Kesehatan Seksual dan Reproduksi;

4. Hak untuk Memutuskan Jumlah dan Jarak Kelahiran Anak

5. Hak untuk Menyetujui Pernikahan dan Kesetaraan dalam Pernikahan;

6. Hak atas Privasi;

7. Hak atas Kesetaraan dan Non-Diskriminasi;

8. Hak untuk Bebas dari Praktik yang Membahayakan Perempuan dan Anak Perempuan;

9. Hak untuk Tidak Menjadi Subjek dalam Penyiksaan atau Perilaku Kejahatan lainnya yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat;

10. Hak untuk Bebas dari Kekerasan Seksual Berbasis Gender;

11. Hak untuk Mengakses Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta Informasi mengenai Keluarga Berencana;

12. Hak untuk Menikmati Kemajuan Ilmiah.

ICPD secara khusus juga menjelaskan bahwa reproductive rights berhubungan dengan hak untuk memperoleh kesehatan reproduksi dan seksual yang sebaik-baiknya. Dalam hal ini, World Health Organization (WHO) merumuskan beberapa poin utama terkait kesehatan reproduksi dan seksual yakni jaminan atas pilihan dan keamanan kontrasepsi serta layanan infertilitas, meningkatkan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, mengurangi infeksi penyakit menular seksual termasuk HIV dan penyakit menular seksual lainnya, menghilangkan tindakan aborsi yang tidak aman dan menyediakan perawatan pasca aborsi, memperkenalkan seksualitas yang sehat termasuk kesehatan remaja dan pengurangan tindak kekerasan dan/atau praktik-praktik yang berbahaya.

Sebelum tahun 1990-an, isu-isu seputar kesehatan reproduksi kurang mendapat perhatian dan tidak lebih dari sekadar mengontrol kesuburan perempuan dalam rangka mengurangi laju angka pertumbuhan penduduk. Barulah pada perkembangan selanjutnya, kesehatan reproduksi bagi perempuan dihubungkan dengan hak asasi manusia yang secara khusus dijelaskan dalam dokumen konsensus Konferensi Tehran tentang Hak Asasi Manusia pada tahun 1968 yang berbunyi, “Orang tua memiliki hak asasi untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah dan jarak kelahiran anak serta hak untuk memperoleh informasi dan edukasi yang memadai mengenai hal ini”. Reproductive rights menekankan pencapaian kebebasan individu perempuan perihal reproduksi melalui sistem hukum serta sebagian besar berfokus pada diskusi perihal pro-choice dan/atau pro-life, edukasi tentang seks, serta program keluarga berencana. Sementara itu, perlu diakui bahwa hak yang dijamin hukum tersebut belum secara efektif mengakomodasi kebebasan reproduksi perempuan sebab masih terdapat batasan-batasan tertentu seperti keterbatasan dalam status sosial, ekonomi, politik, dan seterusnya. Hal inilah yang kemudian menjadi jembatan untuk memahami perihal reproductive justice.

Loretta Ross seorang akademisi, feminis, dan aktivis Afrika-Amerika menjelaskan reproductive justice sebagai jaminan kesejahteraan perempuan secara menyeluruh yang meliputi aspek fisik, mental, spiritual, politik, sosial dan ekonomi yang didasarkan pada pencapaian dan perlindungan penuh hak asasi perempuan. Reproductive justice mengakui status sosial, ekonomi, gender, ras dan aspek lainnya yang membentuk dan mempengaruhi pengalaman masing-masing orang terkait kesehatan reproduksi dan kebijakan kesehatan. Inti dari reproductive justice adalah keyakinan bahwa perempuan memiliki kebebasan mencakup hak untuk mempunyai anak, hak untuk tidak mempunyai anak, dan hak untuk mengasuh anak di lingkungan yang sehat dan aman. Loretta menyatakan bahwa perempuan kerap mengalami ketidakadilan secara khusus berkaitan dengan reproduksi yang berdampak pada berbagai aspek dalam kehidupan seorang perempuan. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang beragam pula dalam menangani ketidakadilan dan eksploitasi tersebut. Loretta menjelaskan 3 kerangka utama yakni reproductive health, yang berhubungan dengan pemberian layanan seputar kesehatan reproduksi; reproductive rights, yang berhubungan dengan sistem hukum; dan reproductive justice, yang berhubungan dengan pengembangan atau pergerakan mengenai kesehatan reproduksi. Dalam tulisan ini, sudah dijelaskan terlebih dahulu bahwasannya reproductive health sebetulnya terdapat juga dalam reproductive rights. Selanjutnya, reproductive justice hanya dapat dicapai saat aspek ekonomi, sosial, dan politik perempuan dipenuhi sehingga memampukan perempuan untuk membuat keputusan mengenai tubuhnya, keluarga dan komunitas di sekitar hidup perempuan secara bebas dan bertanggung jawab. Secara sederhana, reproductive rights dapat dipahami sebagai hak-hak reproduksi dan seksual yang mencakup pendekatan hukum dan lebih bersifat individu, sementara reproductive justice meliputi hak-hak reproduksi dan seksual yang lebih mengarah kepada pengembangan dan pergerakan dengan mempertimbangkan keterbatasan bagi perempuan dalam memperoleh hak-hak tersebut, lebih bersifat ekspansif (meluas), interseksional, dan holistik.

Mengapa keduanya penting?

Setelah penjelasan singkat di atas, perlu disadari bahwa baik reproductive rights maupun reproductive justice merupakan hal yang serupa dan saling melengkapi. Reproductive rights memuat instrumen atau wacana perihal kebebasan reproduksi yang menjadi jaminan secara khusus bagi perempuan untuk memperoleh hak-hak esensi perihal reproduksi yang meliputi berbagai aspek seperti yang telah dijelaskan di atas. Kemudian, reproductive rights turut memberikan jaminan hukum baik kepada perempuan maupun laki-laki agar terhindar dari kekerasan, eksploitasi, atau ketidakadilan yang berkaitan dengan reproduksi. Selain itu, reproductive rights mengakomodasi layanan kesehatan reproduksi dan seksual yang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia baik perempuan maupun laki-laki. Dalam penerapannya di lapangan, tentu tidak semudah apa yang disepakati sebab masih terdapat lapisan-lapisan yang menghambat penerapan hak-hak tersebut. Oleh karena itu, reproductive justice menjadi penting untuk menyuarakan urgensi penerapan hak-hak tersebut bagi seluruh perempuan dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, politik, ras, kepekaan terhadap minoritas, dan seterusnya.

Contoh kasus pelanggaran reproductive rights dan reproductive justice

Dalam catatan tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, tercatat sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian: pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, ke lembaga layanan 7.029 kasus, dan ke Badan Peradilan Agama (BADILAG) 327.629 kasus. Catatan ini merupakan bukti nyata kegagalan penerapan reproductive rights. Dalam beberapa poin kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Nurfadilah tentang “Pemenuhan Hak Reproduksi Perempuan Muslim Menikah Tahun 2010” menampilkan bahwa seluruh perilaku responden perempuan menikah dalam penelitian tersebut menunjukkan tidak terpenuhinya hak reproduksi dengan CERTS (Consent, Equality, Respect, Trust, Safety), norma subjektif perempuan sangat dipengaruhi oleh keyakinan normatif suami, dan perlunya kesadaran para suami untuk menggunakan alat kontrasepsi. Rasanya begitu sulit untuk membicarakan mengenai kebebasan reproduksi yang tertuang dalam reproductive rights saat perempuan masih menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan terutama dalam hal reproduksi. Sementara itu, dalam kasus-kasus tertentu terdapat diskriminasi oleh karena keterbatasan perempuan bukan saja dalam hal gender, melainkan juga aspek ras, status sosial, ekonomi, agama, dan seterusnya. Hal ini misalnya tampak dalam sosialisasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang pemenuhan hak reproduksi perempuan pekerja, di mana terdapat bukan saja diskriminasi gender yang menganggap perempuan sebagai pekerja domestik, melainkan terdapat juga faktor ekonomi, budaya, maupun sosial berupa stigma terhadap pekerja perempuan. Dalam agenda feminis perempuan kulit hitam misalnya menekankan secara khusus perihal isu kesehatan reproduksi perempuan kulit hitam secara global dan isu pembatasan terhadap gerakan “pro-choice” perempuan dengan kulit berwarna. Di sinilah reproductive justice memiliki peranan yang penting, yakni menyuarakan kebutuhan penerapan Hak Asasi Manusia sebagai kerangka bagi kebebasan reproduksi perempuan dengan kulit berwarna dan terbatas secara ekonomi agar mampu membuat keputusan terkait reproduksi bagi dirinya sendiri. Pada akhirnya, reproductive rights dan reproductive justice perlu berjalan bersama, keduanya saling melengkapi demi terwujudnya kebebasan reproduksi yang lebih memadai secara khusus bagi perempuan. 

Referensi

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2018, November 26). Stop Diskriminasi, Penuhi Hak Reproduksi Perempuan Pekerja. (2018, November 26). Retrieved Juli 6, 2022, from: https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/1976/stop-diskriminasi-penuhi-hak-reproduksi-perempuan-pekerja

Komnas Perempuan. (2022, Maret 8). Peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 dan Peluncuran Catatan Tahunan tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan. Retrieved Juli 6, 2022, from Komnas Perempuan: https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/peringatan-hari-perempuan-internasional-2022-dan-peluncuran-catatan-tahunan-tentang-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan

Reproductive Justice. (2022). Retrieved Juli 6, 2022, from In Our Own Voice: National Black Women’s Reproductive Justice Agenda: https://blackrj.org/our-issues/reproductive-justice/

Nurfadhilah. (2010). Studi Kasus Pemenuhan Hak Reproduksi Perempuan Muslim Menikah Tahun 2010. Saintika Medika: Jurnal Ilmu Kesehatan Dan Kedokteran Keluarga, 18-25.

Pacia, D. M. (2020, November 3). Reproductive Rights vs. Reproductive Justice: Why the Difference Matters in Bioethics. Retrieved Juli 6, 2022, from Bill of Health: https://blog.petrieflom.law.harvard.edu/2020/11/03/reproductive-rights-justice-bioethics/

Ross, L. (2006). Understanding Reproductive Justice: Transforming the Pro-Choice Movemen. Off Our Backs: a women’s newsjournal, Vol. 36, No. 4, p. 14-19.

UNFPA. (n.d.). Reproductive Rights : A Tool for Monitoring State Obligations. Retrieved Juli 6, 2022, from Center For Reproductive Rights: https://www.reproductiverights.org/sites/crr.civicactions.net/files/documents/crr_Monitoring_Tool_State_Obligations.pdf

UNFPS, T. D. (2014). Reproductive Rights Are Human Rights: A Handbook For National Human Rights Institutions.

Universal Declaration of Human Rights. (n.d.). Retrieved Juli 6, 2022, from Unniversity Of Minnesota : Human Rights Library: http://hrlibrary.umn.edu/instree/b1udhr.htm#:~:text=No%20one%20shall%20be%20held,prohibited%20in%20all%20their%20forms.&text=No%20one%20shall%20be%20subjected,or%20degrading%20treatment%20or%20punishment.&text=Everyone%20has%20the%20right%20to%20recogniti

Oleh : Zerah Reelaya Waang

Editor: Laras Adinda N.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *