Oleh: Nabila Ainur
Editor: Laras Adinda N.
Produk kecantikan dan perawatan kulit merupakan hal yang lumrah digunakan pada saat ini. Baik tua maupun muda, perempuan maupun laki-laki, semua mulai menggunakan produk-produk tersebut. Produk yang digunakan pun beragam macamnya, seperti kosmetik dan skincare. Ada banyak alasan mengapa kosmetik dan skincare semakin sering digunakan. Ada yang ingin menjaga penampilan mereka, ada yang ingin merawat kesehatan kulit atau wajah mereka, ada pula yang menggunakan produk-produk tersebut hanya karena suka maupun hobi semata.

Iklan dan promosi sebagai pemasaran produk-produk kecantikan pun jadi semakin sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, seiring semakin populernya kosmetik dan skincare di mata masyarakat, semakin terbentuk pula sebuah standar kecantikan yang terbentuk dari produk-produk kecantikan yang tersedia. Menurut Jessica Defino pada Teen Vogue, standar kecantikan adalah kualifikasi-kualifikasi yang harus dicapai seseorang agar mereka dapat meraih sebuah rupa yang ideal dan menjadi sukses. Standar kecantikan bersifat dinamik, mereka berubah seiring berjalannya waktu. Satu hal yang menjadi tombak terbesar dalam pergerakan standar kecantikan adalah media, mulai dari film, iklan, majalah, buku, dan seterusnya. Tanpa disadari, iklan dan klaim-klaim yang dijanjikan oleh produk kecantikan maupun perawatan kulit ikut serta dalam pembentukan standar kecantikan.
Salah satu produk yang paling berpengaruh pada standar kecantikan adalah skincare dengan klaim memutihkan wajah. Produk memutihkan bukanlah hal yang asing ditemukan di berbagai negara. Di Indonesia sendiri, telah lama tersebar produk memutihkan baik di iklan televisi maupun platform jual-beli. Iklan-iklan produk memutihkan selalu diawali dengan seorang perempuan yang merasa tidak percaya diri dengan warna kulitnya. Namun setelah menggunakan skincare yang dipromosikan, kulit mereka akan langsung berubah cerah dan perempuan tersebut menjadi percaya diri. Mereka selalu menunjukkan perubahan tersebut dengan model perempuan yang berkulit putih, bertubuh ramping dan tinggi, juga berambut hitam lurus. Dalam iklan produk memutihkan tersebut, perempuan dengan kulit cerah selalu digambarkan sebagai pribadi yang percaya diri, memiliki kepribadian yang baik, dan paras yang cantik. Namun perempuan dengan tone kulit lebih gelap justru digambarkan sebaliknya. Mereka digambarkan sebagai orang yang kurang percaya diri. Kepribadian mereka seakan-akan hanya terbentuk dari rasa malu karena kulit mereka yang tidak secerah orang lain.
Tanpa disadari, iklan-iklan tersebut membentuk standar kecantikan yang dipercayai kebanyakan orang. Mereka memanipulasi kesadaran dan minat konsumen agar percaya dengan produk yang mereka promosikan. Para perempuan pun merasa mereka dapat disebut cantik hanya bila mereka memiliki kulit putih, tubuh tinggi, juga rambut lurus. Iklan skincare memutihkan memaksa masyarakat untuk percaya bahwa paras perempuan yang ditunjukkan dalam iklan mereka adalah kecantikan perempuan yang ideal, sebuah kecantikan yang harusnya didambakan semua orang. Banyak orang yang akhirnya terpaksa mengikuti standar kecantikan yang dibangun oleh skincare tersebut, bahkan membeli produk-produk memutihkan berbahaya demi memenuhi ekspetasi kecantikan masyarakat. Pada akhirnya, hal ini dapat berdampak pula pada kesehatan mental perempuan yang diberi ekspetasi untuk terlihat selalu indah.
Produk-produk memutihkan memang memiliki target pasar yang spesifik. Pada nyatanya, skincare dengan tujuan memutihkan memiliki akar permasalahan colourism. Mereka kebanyakan menargetkan produknya pada perempuan dari komunitas berkulit gelap. Satu hal yang menjadikan beberapa komunitas begitu mudah menerima klaim produk memutihkan adalah dampak kolonisasi di negara mereka. Mayoritas negara penjajah adalah negara berkulit putih. Dari situ, terbentuklah sebuah konotasi pada benak orang-orang bahwa kulit putih diasosiasikan dengan harta dan kasta. Muncul pemikiran bahwa orang-orang kaya pasti berkulit putih karena mereka pasti tidak bekerja keras dan diterpa matahari.
Kapitalisme juga menjadi pendorong besar mengapa produk-produk memutihkan masih populer dijual. Contohnya dapat kita lihat dari sebutan kulit berminyak, kulit kering, maupun kulit normal. Sebutan ini pertama kali disebutkan pada buku War Paint oleh Lindy Woodhead demi menjual krim wajah buatannya. Sejak saat itu, para perempuan baru merasakan bahwa fungsi natural kulit mereka untuk mengeluarkan minyak sebenarnya salah. Mereka pun membeli krim demi “memperbaiki” kulit mereka. Pada akhirnya, semua iklan itu memiliki tujuan yang sama untuk menjual sebuah produk. Maka dari itu, mereka bisa melakukan manipulasi perasaan dengan menyerang insecurity yang dimiliki orang-orang hanya untuk meraih profit sebesar-besarnya.
Seharusnya warna kulit tidak menjadi patokan apakah seseorang itu cantik maupun sukses. Seseorang tidak perlu memiliki sebuah klasifikasi-klasifikasi khusus hanya untuk dipanggil cantik. Pada nyatanya, standar kecantikan dibentuk oleh media massa semata. Apa yang masyarakat cap sebagai cantik tidak selalu berlaku pada penilaian individu. Seseorang dapat terlihat cantik dengan berbagai cara, baik dengan paras mereka, apa yang mereka lakukan, maupun sikap mereka. Skincare yang harusnya menjadi produk untuk merawat kulit tidak seharusnya menjadi produk yang memaksa penggunanya untuk merubah dirinya demi memenuhi standar kecantikan yang telah melukai banyak perempuan. Produk perawatan kulit perlu berfokus untuk menyediakan solusi dari permasalahan kulit yang dialami orang-orang, bukan membuat kompetisi antar brand untuk memenuhi sebuah standar kecantikan yang salah.
Saat ini, banyak individu yang telah menyuarakan pendapat mereka akan betapa salahnya klaim-klaim skincare yang memutihkan kulit. Setelah menerima banyak kritikan Unilever akhirnya merubah branding salah satu produk populer mereka. Mereka merubah nama Fair & Lovely menjadi Glow & Lovely. Unilever juga berjanji akan berhenti menggunakan kata-kata memutihkan pada produk mereka. Namun, produk-produk memutihkan merupakan salah satu bagian industri kecantikan dengan profit terbesar di dunia. Masih banyak produk yang mempertahankan klaim dan branding mereka. Victoria Sanusi, seorang aktivis kesehatan mental dan penemu dari podcast Black Gals Livin’, mengutarakan bahwa “Perubahan bahasa dari produk-produk tersebut bukanlah sebuah kemenangan. Dengan tetap ada, mereka tetaplah ikut serta dalam sebuah permasalahan yang melukai para perempuan berkulit gelap di seluruh dunia.”.
Referensi :
DeFino, J. (2020, 19 Oktober). How White Supremacy and Capitalism Influence Beauty Standards. Teen Vogue. https://www.teenvogue.com/story/standard-issues-white-supremacy-capitalism-influence-beauty
Funmi Fetto. (2020, 30 Juni). How skin whitening reveals the depth of the beauty industry’s colourism. The Guardian. https://www.theguardian.com/fashion/2020/jun/30/how-skin-whitening-reveals-the-depth-of-the-beauty-industrys-colourism
Novitri, Pradetya. (2014). Representation of Beautiful Women in Skin-Whitening Cosmetics TV Commercials. Universitas Pendidikan Indonesia. https://ejournal.upi.edu/index.php/psg/article/view/21142
Safi, M. (2020, 25 Juni). Unilever to rename Fair & Lovely skin-lightening cream in India. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2020/jun/25/unilever-rename-fair-and-lovely-skin-lightening-cream-inclusive-beauty