Photo by Souvik Banerjee on Unsplash
Layaknya pedang bermata dua, selain memberikan kenyamanan di berbagai aspek kehidupan manusia, teknologi, khususnya internet dan media sosial, seringkali disalah gunakan untuk melakukan tindakan-tindakan tercela dan merugikan salah satunya adalah kekerasan berbasis gender online (KBGO).
KBGO merupakan tindakan kekerasan atau pelecehan seksual yang menimpa salah satu gender dengan adanya fasilitas teknologi di ruang online. Menurut PBB, perempuan 27 kali lebih banyak menerima KBGO. KBGO yang dihadapi perempuan cenderung mengarah kepada hal-hal yang bersifat seksual. Pelecehan seksual secara online ini dapat berupa distribusi konten pornografi dan penyebaran gambar organ intim seseorang secara non-konsensual. Salah satu bentuk KBGO yang marak terjadi di sosial media adalah hate speech atau ujaran kebencian. Ujaran kebencian sendiri merupakan segala bentuk tindakan komunikasi yang berupa perkataan maupun tulisan yang bersifat memprovokasi, menghasut, menyerang atau merendahkan individu ataupun kelompok berdasarkan karakteristik yang melekat pada diri mereka (seperti ras, jenis kelamin, agama). Ujaran kebencian yang ditujukan untuk menyerang, melecehkan, dan merendahkan perempuan disebut dengan sexist hate speech. Seksisme berangkat dari stereotip gender bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan karakteristik. Akan tetapi, karakteristik stereotip maskulin yang melekat pada laki-laki seringkali dinilai lebih tinggi daripada karakteristik stereotip feminin.
Pada sebuah penelitian, ujaran kebencian dan misogini pada media digital dapat banyak dilihat dan diamati terjadi pada selebgram dan beauty influencers, yang mana mayoritas dari selebgram dan beauty influencers ini adalah perempuan. Ujaran kebencian ini disebarkan melalui kolom komentar akun Instagram dapat dibaca oleh semua pengguna platform tersebut. Kerentanan perempuan untuk menjadi korban sebuah ujaran kebencian disebabkan oleh budaya patriarki yang masih kuat, khususnya di Indonesia. Laki-laki yang dipandang lebih superior dibanding perempuan acap kali menjadi pelaku kekerasan tersebut. Penggunaan kata-kata yang bersifat derogatory atau menghina seperti slut dan ethot merupakan bentuk nyata dari ujaran kebencian seksis yang dialami perempuan. Selain itu, Body shaming juga merupakan contoh ujaran kebencian yang kerap dijumpai di media digital yang menargetkan tubuh perempuan. Perempuan sering dikatakan terlalu gemuk atau kurus dan ujaran lain yang menyinggung fisik. Body shaming akan memengaruhi penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri dan juga mengikis rasa percaya diri.
KBGO memiliki banyak dampak di antaranya adalah kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, keterbatasan mobilitas dan sensor diri. Dampak dari ujaran kebencian diperparah oleh kemudahan akses dan cepatnya penyebaran informasi di internet dan media sosial. Selain itu, mudah bagi pelaku untuk bersembunyi dibalik akun palsu sehingga mereka dapat melakukan tindakan tersebut secara anonim yang membuat mereka merasa lepas dari tanggung jawab dalam melontarkan ujaran kebencian.
Tidak mudah bagi seorang korban penerima rentetan ujaran kebencian untuk berpikir bahwa kata-kata kasar yang mereka dapatkan hanyalah omong kosong belaka. Ujaran tersebut dapat membuat korban merasa tidak berharga, malu, menimbulkan rasa stress, frustrasi, depresi, ketakutan, dan pada sisi tergelapnya mendorong mereka untuk mengakhiri hidup. Terlebih, kekerasan dalam ruang online menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan di kehidupan nyata. Sebuah penelitian yang dilakukan di AS mengenai keterkaitan antara ujaran kebencian dan insiden kekerasan menunjukkan bahwa tingkat kekerasan yang lebih tinggi terjadi di daerah-daerah dengan konten ujaran kebencian terhadap perempuan yang lebih banyak. Sexist hate speech melanggengkan stigma bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki, serta menormalisasi anggapan bahwa perempuan tidak berdaya dan lemah, sehingga kekerasan di terhadap perempuan dan di rumah tangga terus ditemui serta meningkat.
Keterkaitan antara platform-platform sosial media dengan penyebaran ujaran kebencian bersifat seksis menunjukkan bahwa praktik KBGO ini melaju dengan sangat cepat. Namun, apakah hukum di Indonesia dapat mengimbangi kecepatan laju tersebut? UU TPKS dan UU ITE harus lebih maksimal dalam bertindak sebagai landasan hukum yang menangani KBGO. UU TPKS masih harus memperkaya detail dalam mendefinisikan kekerasan seksual di ruang online. UU ITE pun masih terbatas dalam mengatasi penyebaran konten, jaminan perlindungan korban dan harus lebih berperspektif gender. Seluruh upaya penanganan KBGO harus berpihak dan melindungi korban. Seperti dilansir SAFENet, prioritas utama dalam pendampingan korban KBGO adalah memerhatikan dan mementingkan kebutuhan korban.
Referensi:
Digdo, I. A. (2021). Relasi Ujaran Kebencian di Twitter dengan Kekerasan Terhadap Perempuan. Merah Putih. https://merahputih.com/post/read/relasi-ujaran-kebencian-di-twitter-dengan-kekerasan-terhadap-perempuan. Diakses 27 Juni 2023.
Giugni, L. (2019). Five things you should know about digital gender-based violence (DGBV), and ways to curb it. University of Cambridge Judge Business School. https://www.jbs.cam.ac.uk/insight/2019/five-things-you-should-know-about-digital-gender-based-violence/. Diakses pada 7 Juli 2023.
Hikmawati, Puteri. (2021). Pengaturan Kekerasan Berbasis Gender Online Perspektif Ius Constitutum dan Ius Constituendum. Negara Hukum Vol. 12(1). Diakses pada 7 Juli 2023.
Pujo S, H., Primada Q. A., Triyono, L. (2022). Misogynistic in Digital Media: Hate Speech Narratives towards Beauty Influencers. Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 11(2). Diakses 7 Juli 2023.
Kusuma, Ellen dan Nenden S. A. Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online: Sebuah Panduan. SAFENet.
Penulis: Ahiko A
Edior: Desy Putri S