
Era digitalisasi seakan memberikan kesempatan terhadap kemunculan kejahatan-kejahatan yang berbasis digital. Tak jarang, hal ini pada gilirannya menimbulkan kerugian pada pihak tertentu dan justru di lain sisi membawa ‘keuntungan’ bagi pihak lainnya. Kejahatan Berbasis Gender Siber (KBGS) merupakan salah satu bentuk kejahatan yang pada saat ini sering kita temui dan terkadang orang-orang di sekitar kita mengalami hal tersebut.
Sextortion merupakan salah satu bentuk dari KBGS yang mana kata ini berasal dari dua kata yakni sexual extortion yang memiliki arti pemerasan seksual. Istilah ini sendiri pertama kali digunakan oleh International Association of Women Judges (IAWJ) pada tahun 2008. Selain itu, sextortion juga dapat dipahami suatu penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan seksual sebagai imbalan atas layanan publik seperti kesehatan. Pemerasan seksual yang seringkali dilakukan dapat dalam berbagai bentuk, yang mana di antaranya ialah seperti adanya ancaman untuk menyakiti, mempermalukan hingga merugikan korban apabila ia tak dapat memenuhi keinginan pelaku – dan seringkali dalam konteks sextortion ini, pelaku akan meminta imbalan berupa seks kepada korban.
Selain itu, kejahatan siber ini kerap kali diasosiasikan dengan korupsi. Hal ini disebabkan kasus kekerasan seksual dan korupsi dianggap sebagai dua kejahatan yang terkait satu dengan yang lainnya hingga muncul istilah sextortion itu sendiri. Dalam kasus sextortion pelaku biasanya menyalahgunakan wewenang yang dimiliki dan unsur pemaksaan sangatlah ‘dominan’ dalam kejahatan ini.
Federal Bureau of Investigation (FBI) dan badan penegak hukum dari empat sekutu Amerika Serikat memperingatkan mengenai bahaya terhadap peningkatan tindak sextortion yang menargetkan anak-anak kecil. Michelle DeLaune, selaku CEO Pusat Nasional Anak-anak Hilang dan Dieksploitasi, memaparkan bahwa institusinya telah menerima lebih dari 10.000 laporan mengani sextortion selama satu tahun terakhir.
Berdasarkan pada Global Corruption Barometer tahun 2020, Indonesia menempati peringkat teratas dalam kasus sextortion di Asia. Pada publikasi tersebut, dijelaskan bahwa kasus sextortion di Indonesia mencapai angka 18 persen yang kemudian diikuti dengan Sri Lanka sebanyak 17 persen dan Thailand dengan 15 persen. Selanjutnya, bertolak dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2022, kasus KSBG mengalami peningkatan sebanyak 83% dari tahun sebelumnya yang mana mencapai 1.721 kasus. Tindak sextortion ini tidak hanya ‘menghantui’ orang dewasa tetapi juga anak-anak. Hukum menjadi jalan yang ditempuh bagi korban untuk melindungi hak-hak mereka, dan sekaligus menjadi harapan bagi mereka untuk dapat mengakhiri ancaman dan pemerasan yang dilakukan oleh pelaku.
Lantas bagaimana dengan penegakan hukum yang seharusnya diberikan dalam menangani kasus tersebut?
Ketika berbicara tentang hukum dan kejahatan siber, sulit rasanya untuk mempercayai bahwa dua hal tersebut dapat berjalan beriringan untuk melindungi hak korban. Dalam aturan hukum di Amerika Serikat, sextortion masuk dalam kategori kejahatan siber. Namun, terlepas dari adanya aturan di negara tersebut, masih terdapat kesenjangan penanganan hukum terkait sextortion antara tingkat federal dan negara bagian. Di Indonesia sendiri, misalnya, dapat kita lihat bahwa terdapat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hingga pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Akan tetapi, aturan-aturan tersebut belum mampu menjadi payung hukum yang ideal untuk melindungi masyarakat dari sextortion.
Sebagai salah satu contoh mengapa aturan-aturan tersebut belum mampu untuk menangani kasus sextortion, dapat dilihat pada Pasal 368 ayat (1) KUHP di mana pemerasan dijelaskan sebagai kejahatan terhadap harta kekayaan yang mana saran terjadinya pemerasan dalam KUHP ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Apabila merujuk pada definisi dari pasal tersebut, maka sextortion tak dapat dikategorikan sebagai pemerasan disebabkan tidak memiliki keterkaitan dengan harta kekayaan. Selain itu, seringkali sextortion merupakan tindak pemerasan yang menuntut korban untuk memberikan imbalan berupa konten intim tambahan – yang mana permintaan hubungan seksual bukan termasuk unsur ‘barang’ sebagaimana yang tertera pada Pasal 368 ayat (1) KUHP.
Kemudian apabila kita mencoba menilik pada UU ITE, sextortion tidak secara eksplisit dijelaskan sebagai suatu bentuk ancaman. Pada Pasal 29 UU ITE, dijelaskan bahwasanya bentuk ancaman yakni ialah kekerasan yang melibatkan dampak fisik, psikis atau kerugian ekonomi, serta tindakan menakut-nakuti orang. Sedangkan sextortion bukanlah merupakan ancaman fisik atau psikis atau bahkan suatu tindakan untuk menakut-nakuti orang. Sextortion sendiri dapat digarisbawahi sebagai bentuk pemerasan terhadap korban hingga pada gilirannya muncul ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Tak hanya itu, menyangkut UU TPKS, aturan ini masih menimbulkan ambiguitas disebabkan tiadanya penjelasan yang pasti terhadap apakah pemerasan dapat termasuk pada pengertian di KUHP sebagai ketentuan lex generali atau bukan.
Apakah hal ini kemudian mengindikasikan bahwa hukum tentang kejahatan siber dan kekerasan seksual merupakan suatu tindak kekerasan yang sulit untuk ditangani?
Berbagai kebijakan dan aturan memang telah disahkan untuk melawan berbagai bentuk kejahatan seksual yang berbasis foto atau gambar, seperti revenge porn. Namun sayangnya, sextortion menjadi kasus KBGS yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Terlebih, teknologi telah membuat sextortion menjadi isu global dan bahkan hal ini memberikan kesulitan bagi aparat berwajib dalam meringkus pelaku. Dengan adanya tantangan tersebut, maka penting kemudian untuk mampu menegakkan hukum dengan bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama bagi satuan yang terkhusus pada kejahatan siber, dan memiliki sumber daya teknologi yang mutakhir.
Well, is that it?
Apakah bekerja sama dengan berbagai pihak dan sumber daya teknologi cukup untuk memberantas dan menangani tindak sextortion?
Terdapatnya satu alternatif lain yang dapat digunakan oleh para stakeholders dalam menangani hal ini, dan juga dapat menjadi harapan bagi korban.
The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan.
Ketika pemerasan terjadi kepada korban dan konten intim yang didapatkan oleh pelaku malah menjadi ‘pemantik’ dari tindak pelecehan lainnya, maka hak untuk dilupakan dapat dikatakan sebagai suatu hak yang perlu untuk diimplementasikan di negara-negara.
Konsep hak untuk dilupakan ini sendiri telah muncul dan disetujui oleh Uni Eropa dan beberapa wilayah lainnya di dunia. Hal yang menjadi pendorong dalam kemunculan gagasan hak untuk dilupakan ini sendiri ialah bahwa kesalahan atau tindakan dari keputusan seseorang terhadap sesuatu sebaiknya tidak boleh muncul dalam pencarian Google atau mesin pencari daring lainnya, selama individu terkait memiliki kemampuan untuk menghapus referensi negatif.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah hak ini telah dimasukkan ke dalam aturan hukum?
Indonesia pada dasarnya telah memilki aturan hak untuk dilupakan yang mana termuat dalam Pasal 26 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hak tersebut memungkinkan tiap individu atau warga Indonesia untuk dapat meminta penghapusan informasi maupun dokumen elektronik terkait dirinya yang tak relevan lagi di internet, dan ketentuan permintaan hak tersebut harus didasarkan pada ketetapan pengadilan.
Dan kembali kepada permasalahan mendasar dari penanganan suatu kasus: apakah aturan tersebut telah terimplementasi dengan nyata?
Ketika berhubungan dengan perlindungan data privasi, nampaknya memang sampai sekarang aturan hukum dan implementasi belum berjalan dengan beriringan. Tiadanya kepaduan antara dua hal tersebut menyebabkan masih terjadinya pembocoran data pribadi secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal tersebut tentu dapat mengganggu hak privasi individu dan bahkan dapat digolongkan dalam pelanggaran HAM yakni sebagai tindakan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut HAM atau kelompok orang yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini pada gilirannya tentu merugikan individu yang data-datanya bocor dan dapat diakses oleh publik.
Dan apakah hak untuk dilupakan dapat menangani tindak sextortion?
Selain hukuman berat bagi pelaku, mengingat bahwa hukum ini berorientasi kepada korban, maka pemerintah sebaiknya perlu untuk mengevaluasi peraturan yang telah ada, dan mempertimbangkan tindak sextortion sebagai KBGS yang memerlukan dasar hukum yang kuat agar hak korban dapat dilindungi dan pelaku dapat dihukum seberat-beratnya.
REFERENSI:
Dian, R. (2023). Indonesia Peringkat Pertama Sextortion di Asia: Alarm Bahaya Korupsi dan Kekerasan Seksual. Narasi. https://narasi.tv/read/narasi-daily/indonesia-peringkat-pertama-sextortion-di-asia-alarm-bahaya-korupsi-dan-kekerasan-seksual
Hutapea, S. A. (2021). RIGHT TO BE FORGOTTEN SEBAGAI BENTUK REHABILITASI BAGI KORBAN PELANGGARAN DATA PRIBADI. Jurnal Jurisprudentia, 1(1), 1–10.
Jr., D. L. H. (2017). Right to Be Forgotten. The First Amendment Encyclopedia. https://www.mtsu.edu/first-amendment/article/1562/right-to-be-forgotten
KOMINFO. (2018). Hak untuk Dilupakan, Kominfo Libatkan Mahkamah Agung. KOMINFO. https://www.kominfo.go.id/content/detail/13532/hak-untuk-dilupakan-kominfo-libatkan-mahkamah-agung/0/sorotan_media
O’Malley, R. L., & Holt, K. M. (2020). Cyber Sextortion: An Exploratory Analysis of Different Perpetrators Engaging in a Similar Crime. Journal of Interpersonal Violence, 1–26.
Paulina, A. L. (2022). ‘Sextortion’: bentuk kekerasan seksual online yang memakan banyak korban, tapi payung hukumnya masih lemah. The Conversation. https://theconversation.com/sextortion-bentuk-kekerasan-seksual-online-yang-memakan-banyak-korban-tapi-payung-hukumnya-masih-lemah-191966
VOA Indonesia. (2023). FBI Peringatkan Krisis “Sextortion” yang Menarget Anak-anak. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/fbi-peringatkan-krisis-sextortion-yang-menarget-anak-anak/6952471.html
Penulis : Digna Defianti
Editor : Desy Putri R