Stigma Masyarakat:Bagi Seorang Ibu, Lebih Baik di Rumah atau Bekerja?

Kenapa banyak masyarakat yang masih membanding-bandingkan peran seorang ibu yang bekerja atau yang hanya sekedar di rumah?”

Sumber: unsplash/charles-deluvio

Flashback ke tahun 2016, seorang penulis lagu bernama Kartika Jahja memberanikan diri untuk meluncurkan video klip bersama rekan-rekannya dengan judul “Tubuhku Otoritasku”. Lagu tersebut dibawakan oleh grup musik Tika & The Dissidents yang menceritakan tentang kepercayaan diri perempuan terhadap tubuhnya. Tubuhnya adalah suatu otoritas yang bebas untuk diperlakukan sesuai keinginannya tanpa perlu memikirkan perkataan orang lain. Lagu ini dibuat sebagai pesan untuk masyarakat yang semestinya bisa menghormati perempuan untuk berbahagia dan kebebasan dalam mengambil peran di kehidupannya.

Dilihat dari komentar audiens terhadap video klip tersebut, masih ada beberapa akun yang bernada sumir. Sangat disayangkan bahwa dalam masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa perempuan itu harus mematuhi larangan-larangan untuk menjaga kelestarian dari nenek moyang kita. Seakan-akan perempuan tidak dapat berbuat sesuatu secara bebas dan selalu berada di bawah tekanan laki-laki.

Reclaim our bodies, love it and respect it the way it deserves,” tulis Tika.

Lalu, darimana munculnya stigma masyarakat yang masih menganggap bahwa perempuan itu lemah?

Bintang Puspayoga selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkapkan bahwa perempuan itu tidak lemah. Stigmatisasi, stereotip, dan konstruksi sosial yang berkembang di masyarakat adalah sederet hal yang menempatkan posisi perempuan menjadi lebih rendah daripada laki-laki.

An Nisaa Yovani sebagai pendiri dari Samahita Bandung (organisasi yang berfokus pada isu kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual), mengatakan bahwa munculnya stereotip dan stigma terhadap perempuan di Indonesia sudah ada sejak dahulu kala dan direproduksi secara terus-menerus sampai sekarang.

“Konstruksi sosial yang dibangun sangat didominasi oleh laki-laki dan hal itu juga mempengaruhi pola pikir perempuan, khususnya perempuan generasi sebelumnya yang juga melakukan pembenaran dan mereproduksi hal tersebut,” ungkapnya.

An Nisaa Yovani juga menyebutkan bahwa cara pandang laki-laki terhadap perempuan terbentuk akibat relasi yang mendomestikasi peran perempuan. Contohnya seperti pada zaman berburu dan meramu yang memberikan gambaran terhadap lelaki yang harus mencari ketersediaan makanan, sedangkan perempuan hanya tinggal di rumah untuk mengurus anak.

“Kondisi biologis perempuan saat menjadi ibu menjadi sumber makanan utama dari si bayi. Oleh karena itu, laki-laki lah yang kemudian harus pergi mencari sumber makanan untuk memberikan makanan kepada sang istri,” katanya.

Sherry B. Ortner dalam “Is Female to Male as Nature Is to Culture?” (Woman, culture, and society; 1974) memberikan penjelasan terhadap mengapa posisi perempuan dalam ranah domestik selalu memiliki posisi yang lebih rendah dibandingkan seorang laki-laki yang bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah. Menurut pendapatnya, kebanyakan masyarakat kita seringkali menilai sesuatu dari hal-hal yang terlihat di depan mata mereka. Laki-laki yang bekerja di luar lebih punya nilai di mata masyarakat karena interaksinya lebih besar dibanding sang istri yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sehingga posisi laki-laki memiliki peran yang lebih besar daripada perempuan dalam pandangan masyarakat.

Padahal, jika kita memandang ibu rumah tangga sebagai pekerjaan, hal ini akan mempunyai nilai lebih. Nilai lebih ini dapat kita lihat pada bagaimana seorang ibu merupakan seseorang yang menjadi sumber utama dalam memberikan pengetahuan dan juga turut berperan dalam membentuk karakter anak.

Seorang ekonom feminis, Nancy Folbre memberi nilai pada apa yang disebutnya sebagai “ekonomi perawatan” (economics of care). Folbre menuliskan bahwa kerja mengasuh anak dan merawat orang lansia/sakit, yang biasanya dilakukan oleh perempuan dalam keluarga, selama ini tidak dipandang sebagai kerja produktif. Ia tidak dianggap mempunyai nilai dalam perekonomian, karena tidak masuk dalam hitungan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang dipakai sebagai ukuran keberhasilan ekonomi suatu negara.

“Apakah salah menjadi seorang ibu yang hanya bekerja di rumah saja? Apakah salah menjadi seorang ibu yang bekerja di kantor?”

Setiap ibu entah yang di rumah atau di perusahaan, di dapur atau di ruangan ber-AC, entah dari lulusan kampus terkenal atau hanya dari desa, memegang sapu atau memegang laptop, telah memiliki amanah untuk menjalani kehidupan demi keluarganya. Semua pekerjaan yang dilakukan oleh setiap manusia memiliki kualitas dan kemampuannya sendiri. Kita ga bisa menyamaratakan keadaan orang lain dengan kondisi kita.

Siapa bilang menjadi ibu rumah tangga itu mudah? Menjatuhkan pilihan menjadi ibu rumah tangga tentu memiliki konsekuensi dan tanggung jawab yang besar. Orang-orang masih menyepelekan aktivitas ibu rumah tangga karena memang tidak terlihat di publik, namun memiliki tanggung jawab 24 jam terhadap keluarganya. Menjadi seorang ibu rumah tangga juga memerlukan ilmu untuk menjalani aktivitasnya, urusan keuangan seperti mengatur pengeluaran dan pemasukan uang belanja yang harus dipikirkan secara matang, menyiapkan segala kebutuhan yang dianjurkan kepada kita untuk selalu ada untuk keluarga, serta mendidik anak yang tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Begitu pula dengan ibu yang bekerja, tentunya memiliki konsekuensi dan tanggung jawabnya sendiri. Menyeimbangkan antara pekerjaan dengan urusan rumah tangga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Orang-orang yang berkomentar sumir bisa seenaknya mengutarakan bahwa ibu bekerja artinya tidak peduli anak, tidak mau mengurus rumah. Padahal tidak ada salahnya jika seorang ibu ingin berkarya di luar rumah atau turut serta dalam menyokong perekonomian rumah tangga.

Intinya, apapun pilihan hidup yang diambil oleh seorang ibu memiliki tanggung jawab dan konsekuensinya masing-masing. Yang penting, seorang ibu siap dalam menjalani pilihannya, tidak merasa terbebani, dan selalu ikhlas dalam menjalani hari.

Yang menjalani kehidupan kan mereka, kok orang lain yang repot!.

Oleh: Farah Diba Z

Editor: Setyoningsih Subroto


Referensi:

Junaidi, H. (2017). Ibu Rumah Tangga: Stereotype Perempuan Pengangguran. 77-88.

Ortner, S. B. (1974). Is Female to Male as Nature is to Culture? In M. Z. Rosaldo and L. Lamphere (eds), Woman, Culture, and Society. Stanford, CA: Stanford University Press, pp. 68-87.

Tyas, D. A. (2019, 18 Juni). “Stigma Terhadap Ibu Rumah Tangga yang Sudah Keseringan Salah Kaprah”. ,https://mojok.co/esai/stigma-terhadap-ibu-rumah-tangga-yang-sudah-keseringan-salah-kaprah/

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *