Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan disabilitas masih menjadi hal yang masih sering terjadi. Permasalahan menjadi semakin kompleks karena perempuan penyandang disabilitas mengalami stigmatisasi ganda, yaitu karena disabilitas dan sebagaimana juga kebanyakan perempuan lainnya, ia mengalami diskriminasi dan stereotip perempuan pada umumnya, misalnya dengan anggapan tidak berdaya, selalu bergantung pada orang lain, pasif, berkedudukan rendah dibandingkan laki-laki, dan tidak dapat membuat keputusan. Perempuan disabilitas menghadapi stigmatisasi dan diskriminasi. Kelompok ini perlu untuk mendapat perhatian khusus karena rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan, salah satunya menjadi target dari kekerasan seksual. Mereka yang seringkali terkena stereotip berlapis dalam budaya patriarkis dianggap sebagai kelompok yang tidak berdaya.
Pelabelan inilah yang kian memberatkan perempuan dengan disabilitas. Budaya patriarkis yang masih mengakar dalam masyarakat dan terinternalisasi dalam kehidupan keseharian, memberatkan perempuan dengan disabilitas dalam mengembangkan dirinya sebagai seorang individu. Tidak hanya pada ranah privat, perempuan penyandang disabilitas juga termarjinalkan pada ranah publik, di sektor pekerjaan formal misalnya, sering kali mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja atau bahkan tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Mereka kerap dianggap tidak mampu mengemban tanggung jawab, merepotkan, dan tidak dapat bekerja secara normal. Kebanyakan perempuan penyandang disabilitas juga tidak mendapatkan dukungan yang baik dari keluarga, teman-teman, hingga lingkungannya karena adanya stigma yang melekat pada dirinya, yaitu mereka sering dicap sebagai aib.
Selain itu, berdasarkan Risalah Kebijakan Perempuan dengan Disabilitas yang disusun oleh Komnas Perempuan yang memuat data situasi faktual bahwa perempuan dengan disabilitas sering dianggap makhluk yang tidak tertarik pada aktivitas seksual (aseksual) dan tidak menarik. Mereka seringkali dianggap tidak mampu untuk melakukan negosiasi terhadap aktivitas seksual yang akan dilakukan dengan pasangannya, mereka lebih banyak menerima dan tidak berani melawan karena khawatir akan ditinggalkan oleh pasangan atau mengalami kekerasan seksual. Masyarakat juga menganggap perempuan penyandang disabilitas tidak mampu menikah dan bertanggung jawab dalam merawat anak. Padahal perempuan penyandang disabilitas juga bisa memiliki keturunan, hanya saja perlu dukungan selama kehamilan dan perhatian medis lebih.
Pada sebagian masyarakat Indonesia, orang tua yang memiliki anak dengan disabilitas masih diliputi rasa malu sehingga anak sering sekali disembunyikan dari akses dunia luar. Hal tersebut berimbas pada peniadaan akses pengetahuan anak tentang kesehatan reproduksi dan pendidikan seksual. Kurangnya akses yang baik mengenai pendidikan dan kesehatan reproduksi serta pendidikan seksual akan berdampak pada kehidupan anak secara umum. Mereka akan mudah terjerat pergaulan yang rentan, terinfeksi penyakit menular seksual, dan kehamilan usia dini. Hal tersebut tidak terkecuali pada remaja perempuan dengan disabilitas khususnya kognitif, mereka yang dianggap mudah dan tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya lebih rentan terhadap kekerasan seksual.
Remaja penyandang disabilitas juga memiliki permasalahan dalam gambaran diri atau citra tubuh mereka, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan pada tubuh maupun kejiwaan mereka dibandingkan orang kebanyakan. Hal tersebut menimbulkan harga diri rendah bagi mereka dan seringnya berakhir dengan isolasi sosial dan menyakiti diri.
Stigma bahwa difabel adalah orang yang lemah, sakit, tidak berdaya, tidak mampu bekerja, dan tidak bisa mandiri membuat difabel sulit keluar dari lingkaran diskriminasi yang menjeratnya. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H(1) menjelaskan tentang Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan; dan Pasal 28I(2) tentang Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar sudah sepatutnya kita menghargai dan menghormati segala bentuk perbedaan. Dukungan dan perubahan dapat dimulai dari kita. Hal tersebut dapat kita lakukan dan berikan pada perempuan disabilitas, yaitu dengan menyesuaikan diri dan bersikap ramah, mendukung potensi mereka sebagai seorang individu, dan mengehentikan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Referensi:
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2019). Risalah Kebijakan Perempuan Dengan Disabilitas: Apakah Kami Aseksual?. Jakarta: Komnas Perempuan.
Pemerintah Indonesia. (2023). Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diakses dalam https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945 pada 24 Juli 2023.
Penulis : Raodah Tul Ikhsan
Editor : Desy Putri R.