
Pernahkah kalian menonton sebuah film atau iklan yang menampilkan karakter perempuan hanya sebagai ikonik dari sebuah cerita saja? Aktor perempuan itu tidak memiliki peran yang penting pada plot cerita dan perkembangan karakter yang sangat minim. Mereka hanya menjadi sebatas objek yang dilihat. Nah, fenomena tersebut sudah pernah dibahas oleh Laura Mulvey, seorang film theorist dari Inggris. “The Male Gaze” pertama kali dibahas oleh Laura Mulvey di dalam esainya yang berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema. Pada esai tersebut, Mulvey menjelaskan bagaimana film-film hollywood menggunakan perempuan sebagai pengalaman visual untuk memenuhi fantasi laki-laki. Objektifikasi terhadap perempuan sarat terjadi di sekitar kita, begitu juga di media. Mereduksi perempuan menjadi makhluk yang pasif adalah salah satu usaha patriarki untuk menjaga “status-quo” laki-laki heteroseksual. Jadi, apa itu male gaze secara teori dan konsep? Kenapa hal ini tidak bisa dibiarkan? Apa implikasi objektifikasi perempuan di film, di dunia nyata, dan bagi perempuannya sendiri? Mari kita bahas bersama, ya!
Definisi dan Konsep The Male Gaze dalam Industri Hiburan
Secara singkat, male gaze adalah kondisi di mana perempuan di media dilihat dari sudut pandang laki-laki dan perempuan direpresentasikan sebagai objek pasif dari hasrat laki-laki. Berdasarkan teori, male gaze berasal dari dua teori, yakni teori psikoanalitik dan teori feminis.
- Teori Psikoanalitik
Teori ini menyatakan bahwa setiap manusia berpikir dan aksi tersebut didorong oleh faktor emosional dan psikologi dari dalam sering berada di luar kesadaran seseorang. (Baran dan Dabis 2012:153). Ketika seorang laki-laki sedang menatap perempuan, dia seringkali tidak sadar tentang apa yang sedang ia lakukan. Perasaan seksual dan emosionalnya mendahului ketika memandang perempuan. Dalam psikologi, seringkali faktor emosi membuat laki-laki berpikir bahwa iklan yang mengobjektifikasi perempuan secara seksual adalah cantik dan mereka dianggap memiliki reaksi seksual ketika melihat foto/gambar.
- Teori Feminis
Teori feminis bertujuan untuk memahami sifat dasar ketidakadilan gender (Brabeck dan Brown, 1997:15). Male gaze dalam teori feminis adalah tindakan memandang representasi perempuan yang mengungkapkan informasi tentang hubungan kekuasaan yang ada antara pria dan wanita. Dalam masyarakat barat, para pengamat biasanya adalah laki-laki yang menatap perempuan. Pola ini tampak jelas dalam penggambaran seni dan erotisme yang menjadi ciri sejarah representasi visual barat. Mengikuti munculnya teori feminisme dan gender, pola memandang sudah mulai berubah secara radikal (Danesi, 2009).
Lebih lanjut, the male gaze biasanya membuat alur yang ditampilkan dengan menggambarkan perempuan sebagai objek yang dilihat laki-laki melalui kamera movement yang kemudian ditujukan untuk menjadi point of view para penonton. Visualisasi yang demikian menciptakan peran laki-laki yang lebih dominan dengan menampilkan perempuan sebagai objek yang pasif. Sehingga, the male gaze memiliki dua komponen utama, yaitu: perempuan yang menjadi objek tatapan laki-laki dan penonton yang akhirnya dituntut supaya bisa relate (menyesuaikan diri) dengan karakter laki-laki.
Contoh Eksistensi The Male Gaze
Tak jarang terjadi di dalam perfilman atau media yang membidikan close-up perempuan yang mengikuti arah gerak mata laki-laki dalam mengeksplorasi tubuh perempuan, bidikan bergerak, dan akhirnya terpaku pada tubuh perempuan. Kendati konsep the male gaze yang dikemukakan oleh Laura Mulvey pada tahun 1970-an telah disesuaikan pada konteks situasi dan kondisi pada waktu itu. Kenyataannya, the male gaze masih bisa dijumpai pada media di masa modern saat ini. Berikut beberapa contohnya:
Pada film Transformers (2017) karya Michael Bay, di mana pemeran perempuan dieksploitasi secara seksual dengan berbagai cara padahal tidak memiliki relevansi dengan alur ceritanya.
Film Suicide Squad yang disutradarai oleh David Ayer ini menuai pendapat yang beragam. Namun, salah satu kritik yang kali ini akan dibahas adalah bagaimana sosok Harley Quinn dijadikan “objek seksual” dalam film. Selain kostum, The Male Gaze pada Suicide Squad terasa kental dari camera work dan beberapa adegan yang sebenarnya tidak penting dan tidak mendukung plotnya, seperti adegan Harley mengganti bajunya di depan puluhan orang dan kamera bergerak dari bawah sampai atas untuk mengaksentuasi lekukan tubuhnya.
Pada akhirnya, di tatanan dunia yang tidak seimbang ini (interm of gender) kenikmatan dalam menatap atau melihat terarah menjadi dua, yaitu: Aktif (laki-laki) dan sebaliknya perempuan sebagai objek pasifnya. Tentu hal ini sangat berkaitan dengan the male gaze. Di mana tubuh perempuan dijadikan sebagai objek yang memberikan kenikmatan melalui voyeurism (melihat atau menatap untuk memuaskan hasrat seksual) dan skopofilia (mendapatkan kesenangan dengan melihat).
Konsep ini (the male gaze) pada akhirnya meluas dari film ke berbagai media apapun. Perempuan digambarkan sebagai pengalaman yang menarik dalam dunia nyata. Tubuh perempuan digunakan untuk menjual dan menarik perhatian (utamanya pria cis heteroseksual). Misalnya: perempuanlah yang lebih sering ditampilkan dalam iklan, sampul majalah, serta media sosial lainnya. Tidak hanya itu, biasanya selebriti perempuan berpose provokatif di sampul majalah, berpakaian minim, dsb. Selain itu, dalam dunia literasi juga masih banyak penulis laki-laki yang menggambarkan perempuan hanya sebagai objek didalam bukunya dan kebanyakan sebagai objek seksual. Penulis yang cukup terkenal dalam hal ini adalah Haruki Murakami di mana ia selalu terobsesi dengan perempuan, tetapi bukan sebagai manusia yang utuh melainkan objek seksual belaka.
Tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa media-media yang sering kita konsumsi begitu sarat akan male gaze?
Untuk menjawab hal tersebut, the male gaze (pandangan laki-laki) telah menjadi sebuah konstruksi sosial yang diturunkan dari industri patriarki. Pasalnya, industri perfilman, industri kreatif hakikatnya dibuat oleh laki-laki dan untuk laki-laki sebagai sarana untuk memenuhi fantasinya akan gambaran ideal seorang perempuan. Dalam dunia perfilman, kebanyakan laki-laki yang menjadi penulis film, laki-laki yang membuat film, dan ditargetkan kepada laki-laki pula. Oleh karenanya, kebanyakan film biasanya menjadikan laki-laki sebagai peran utama dalam cerita sedangkan perempuan hanya sebagai karakter yang diberikan fungsi terbatas untuk melayani atau mencapai tujuan protagonis si laki-laki.
Dampak dari The Male Gaze
Objektifikasi terlihat dari representasi perempuan di media disebabkan oleh dominasi laki-laki melalui teknologi media. Keterwakilan perempuan di media sebagai objek bukan sebagai entitas manusia secara keseluruhan. Hal ini terjadi dalam banyak konteks; iklan dan film termasuk dunia fotografi. Melalui media fantasi seksual laki-laki dipuaskan dengan penggambaran perempuan yang sering berada dalam situasi rentan dan mudah dilumpuhkan dan diminta untuk tampil telanjang atau semi-telanjang. Dapat dikatakan bahwa Teknologi Media menjadi agen laki-laki dalam melanggengkan usahanya mendominasi perempuan untuk terus berada dalam lingkaran patriarki.
Adanya the male gaze yang meng objektifikasi perempuan dalam media akhirnya membuat objektifikasi perempuan pada dunia nyata. Dampak dari the male gaze telah diinternalisasi sampai batas tertentu oleh laki-laki dan perempuan dan mungkin kita bahkan tidak menyadarinya. Selain itu, the male gaze memberikan pengaruh yang signifikan pada cara pandang seseorang terhadap bagaimana laki-laki memandang perempuan, bagaimana perempuan memandang dirinya dan bagaimana perempuan memandang perempuan lainnya.
Pertama, laki-laki mereduksi perempuan sebagai makhluk (objek) yang pasif. Sehingga hal ini menjadi salah satu usaha patriarki untuk menjaga status-quo laki-laki sebagai pengendali seksual. Tidak hanya itu, apabila seorang perempuan mendapatkan perlakuan buruk dari laki-laki hal itu di lumrahkan dengan alasan bahwa “perempuan memang begitu takdirnya sebagai objek”.
Selanjutnya, perempuan mengobjektifikasi dirinya sendiri dan mengakui bahwa perempuan hanyalah sebagai objek yang dipandang dan laki-laki yang memandang. Sehingga, secara alami pengaruh male gaze meresap kedalam persepsi dan harga diri perempuan yang kemudian menghadirkan tekanan untuk dapat menyesuaikan diri dengan pandangan patriarki ini. Hal ini pun membentuk cara pikir perempuan tentang tubuh, kemampuan dan tempat untuk diri mereka di dunia serta di hadapan perempuan yang lain.
Representasi male gaze terhadap perempuan sangatlah dominan. Tidak jarang dijumpai perempuan yang memuji sesamanya atas kecantikan atau perawakan yang dimiliki. Implikasinya, perempuan mudah insecure dan melakukan berbagai hal untuk memenuhi standarisasi cantik yang dibuat oleh media terlebih dengan adanya the male gaze. Perempuan berlomba-lomba berpenampilan sebaik mungkin untuk menarik perhatian laki-laki. Sehingga tidak jarang perempuan menjadi sasaran empuk kapitalisme berkedok produk kecantikan, style berpakaian, dll. Segala sesuatu yang dibentuk oleh media saat ini membuat perempuan menganggap bahwa kesempurnaan bentuk tubuh adalah bentuk tubuh yang ditampilkan di media massa, di luar itu dianggap buruk. Media telah merepresentasikan perempuan yang identik dengan kulit yang putih, berambut lurus dan panjang, bertubuh sintal, hingga berpakaian seksi mengikuti lekuk-lekuk tubuhnya. Perempuan diletakkan sebagai daya tarik untuk menarik perhatian sekaligus mempertahankan perhatian tersebut dalam waktu lebih lama.
Secara sederhana, the male gaze telah berhasil membawa perempuan yang semula adalah makhluk yang utuh berafiliasi menjadi objek semata yang direduksi melalui tatapan. Sehingga pada intinya, the male gaze telah berhasil menghambat pemberdayaan perempuan dan advokasi diri perempuan dengan mendorong objektifikasi dirinya dalam penghormatan kepada laki-laki serta patriarki pada umumnya.
Bagaimana Cara Menghentikan The Male Gaze?
Untuk memutus mata rantai the male gaze, tentu bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan kesadaran dari berbagai pihak untuk bersama-sama melakukan berbagai langkah supaya tidak lagi melanggengkannya diberbagai media. Dibalik itu, kita bisa mencoba memutus mata rantai male gaze dimulai dari yang sederhana yaitu diri kita sendiri. Laki-laki sudah sepatutnya memandang perempuan sebagai manusia yang utuh dan teman sosial yang memiliki hak serta kewajiban yang sama dengannya. Sedangkan, perempuan harus bisa memvalidasi dirinya sendiri, menghargai dirinya, dan menentukan nilai dari dirinya sendiri. Dalam hal ini, perempuan mampu meningkatkan elektabilitasnya melalui berbagai hal sehingga ia tidak hanya dipandang sebatas kecantikan yang ia miliki. Sebagai contoh, memperkaya khazanah keilmuan dengan aktif membaca buku untuk muatan intelektual, memperkuat mentalitas diri melalui berbagai pelatihan dan seminar, menghasilkan berbagai karya pun aktif di berbagai kegiatan sosial sebagai bentuk aktualisasi diri, dan sebagainya. Pada akhirnya, dengan kegigihan perempuan atas kesadaran diri sebagai manusia yang utuh (tidak lagi terkungkung oleh standarisasi cantik semata) perempuan mampu membuktikan diri pada mata dunia bahwa ia adalah makhluk Tuhan yang luar biasa dan begitu berharga.
Referensi:
Sorrentini, Stefania. (2014). Subverting The Male Gaze. Diakses pada 16 Agustus 2022 dari https://curatingthecontemporary.org/2014/11/07/subverting-the-male-gaze-femininity-as-masquerade-in-untitled-film-stills-1977-1980-by-cindy-sherman/
Fridley, Brianna. (2018). The Male Gaze In Transformers. Diakses pada 16 Agustus 2022 dari https://femfilm18.wordpress.com/2018/11/15/the-male-gaze-in-transformers-2007/
Handayani, Rivi. (2017). Male Gaze dalam FotografiI Model: Objektivitas dan Komersialisasi Tubuh Perempuan. Diakses pada 17 Agustus 2022 dari https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jurnalisa/article/view/3086