The Social Dilemma: Dibalik Kemudahan Ber-media

Sumber Gambar: Pinterest, Freepik (https://pin.it/319Xp4j)

Sebuah film dokumenter eksklusif tayang di platform Netflix pada tahun 2020, The Social Dilemma. Film ini dapat dikatakan sebagai salah satu film dokumenter terbaik dari segi pemaparan konfrontasi serta dari segi kualitas keakuratan kondisi lapangan. Jeff Orlowski secara khusus mendatangkan pakar teknologi dari berbagai sektor. 

Saat ini, kita sudah berada di zaman di mana media sosial berevolusi dari kebutuhan tersier menjadi kebutuhan primer. Ada perubahan sistematik yang terjadi melalui penggunaan teknologi yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya, bertahap namun pasti. Perubahan itu tidak menjangkit pada kondisi fisik penggunanya melainkan tepat sasaran mengenai akal penggunanya. Lalu, apa jadinya jika sebuah negara yang informasi utamanya dikendalikan oleh media sosial?      

Lagi, jika kita telaah antara otak dan teknologi mana yang akan menang? Ini adalah pertanyaan serius yang tidak semua orang peduli namun sangat perlu dipahami maknanya.  

Kebanyakan dari kita berpikir, “AI akan merusak dunia karena kecerdasannya.” Tapi pernahkah kita berpikir bahwa dunia ini sudah dikuasai oleh AI? 

Hari ini, sudah berapa lama kita berselancar di sosial media? Satu jam? Dua jam? Atau lebih? Sulit dipercaya bahwa media sosial memiliki cara kerja yang sama dengan “permainan slot”. Dalam psikologi dikenal sebuah istilah yang disebut penguat intermiten positif. Saat media sosial di-refresh entah apa yang akan muncul, apakah sesuai dengan minat kita atau tidak. Jika tidak maka kita akan cenderung melakukan hal yang sama hingga menemui hal yang kita sukai. Begitu, terjadi setiap saat. Itulah yang disebut kondisi penguat intermiten positif. 

“Aku menggunakan media sosial sekadar meng-klik, lalu menyukai, atau hanya membagikan foto. Dimana letak eksistensi ancamannya?” Inilah faktanya. Saat kita berpikir seperti, disaat yang bersamaan pula akal kita kalah dengan teknologi. 

Teknologi diciptakan bukan semata-mata untuk memudahkan pekerjaan manusia. Bukan semata-mata untuk memuaskan kebutuhan akan ilmu yang sudah saatnya dikembangkan. Teknologi adalah bisnis. Bisnis yang tingkat kejahatannya diluar prediksi manusia. 

Dalam dunia bisnis berbasis teknologi, terdapat 3 goals yang harus dicapai yaitu: 

  1. Engagement Goals

Goals ini digunakan untuk menaikkan waktu penggunaan pengguna pada aplikasi atau situs yang mereka sediakan. 

  1. Growth Goals 

Goals ini bertujuan untuk membuat penggunanya kembali dengan membawa beberapa teman. 

  1. Advertising Goals 

Ini adalah Goals utama dimana penyedia layanan memastikan bahwa mereka tetap menghasilkan uang sebanyak yang mereka bisa. 

Situs, web, aplikasi yang terlihat gratis apakah benar-benar gratis? Darimana mereka mendapatkan keuntungan? Jawabannya tentu pada iklan. Seseorang akan memasang iklan di sebuah platform tertentu jika mereka tahu kapabilitas platform tersebut. 

“They sell certainty. To get credibility you have yo have great predictions. Great predictions start with one big deals. You need a lot of data.” –Shoshana Zuboff

“If you are not paying for product, then you are the product.” –Tristan Harris

Dua pernyataan ini sangatlah cukup untuk menggambarkan dunia teknologi yang sebenarnya. Kita, para pengguna adalah produk yang penyedia layanan jual kepada calon pengiklan. Bisnis jual beli data adalah yang 10 tahun terakhir ini menjadi sorotan internal dalam dunia teknologi. 

“Aku ingin semua orang tahu bahwa, apa yang mereka lakukan di internet itu diawasi, dilacak, dan diukur. Bahkan seberapa lama kau melihat sesuatu akan terukur melalui teknologi.” Ujar Jeff Seibert. 

Semua data yang kita kumpulkan melalui aktivitas di media sosial akan memunculkan sebuah prototipe yang begitu mirip guna memprediksinya apa yang akan kita lakukan di masa mendatang. Lalu, bagaimana kita mengontrol data yang masuk ke aplikasi yang kita gunakan? Tidak ada. Semua akan terekam dan tidak bisa dihapus kecuali kita ikut hengkang dari aplikasi tersebut. Sayangnya begitulah dunia saat ini. 

Hal yang perlu menjadi sorotan adalah, teknologi tidak memiliki aturan. Tidak ada hukum yang jelas dan akurat yang secara pasti mengikat penyedia layanan untuk melindungi privasi digital para penggunanya. 

“Manusia bisa mengubah teknologi. Akan tetapi, apakah manusia mau mengaku bahwa hasil buruk itu adalah wujud produk dari pekerjaannya?” begitulah konklusi akhir dari pemaparan konfrontasi oleh pakar teknologi. 

Bukan tidak mungkin untuk menciptakan teknologi yang ramah, yang tidak menyimpang dari sisi kemanusiaan. Namun, perlu waktu yang panjang. Dan semua ini bisa dilakukan dengan adanya dukungan dari masyarakat terhadap pakar teknologi. 

Dunia saat ini bergantung pada penghuninya. Cepat atau lambat, baik atau buruk, senang atau sengsara, seharusnya kitalah yang menentukan bukan teknologi. 

Penulis : Sikna Aurel Rianditha

Editor : Desy Putri R

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *