Tingginya Angka Kekerasan Seksual di Ranah Publik

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sepanjang tahun 2020, kekerasan

terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik atau komunitas yaitu sebesar 21 % (1.731

kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang

terdiri dari dari kekerasan seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus,

persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan 10 kasus.

Sumber gambar : https://www.pexels.com/photo/woman-in-white-v-neck-t-shirt-5643914/

Masih banyaknya masyarakat yang beranggapan bahwa mayoritas pelecehan seksual terjadi

karena pakaian terbuka atau pakaian yang mengundang hawa nafsu, perempuan yang berjalan sendirian di tempat sepi, perempuan yang tidak dapat melawan karena dianggap mau, dan

pelecehan seksual yang terjadi pada malam hari.

Survei tentang pelecehan seksual di ruang publik yang dilakukan di 34 Provinsi di Indonesia oleh Koalisi Ruang Publik Aman pada tahun 2019 telah mematahkan asumsi bahwa pakaian adalah pemicu utama seseorang mengalami kekerasan seksual. Menurut hasil survei tersebut peristiwa pelecehan seksual terjadi saat korban mengenakan rok/celana panjang 18%, baju lengan panjang 16%, seragam sekolah 14%, hijab 17%, dan baju longgar 14%. Begitu juga dengan larangan perempuan keluar malam agar terhindar dari kekerasan seksual, menurut survei tersebut waktu kejadian pelecehan seksual justru terbanyak pada siang hari, yakni 35%, lalu kejadian di sore hari 25%, malam hari 21%, dan pagi hari 17%.

Asumsi yang mengatakan bahwa perempuan yang menggunakan pakaian tertutup rapat atau perempuan yang tidak suka keluar malam akan terhindar dari pelaku yang ingin melakukan kekerasan seksual tidaklah tepat. Asumsi tersebut justru semakin menambah trauma emosional para korban karena merasa disalahkan akibat dari pakaian yang dikenakan atau dari aktivitas yang dilakukan di malam hari dan memberikan pembenaran atas apa yang dilalukan pelaku kekerasan seksual.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada tahun 2018

ditemukan bahwa 3 dari 5 perempuan dan 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di

ruang publik. Sebanyak 46,80 persen responden dari 62.224 responden mengaku pernah

mengalami pelecehan seksual di transportasi umum, menjadikan transportasi umum (15,77

persen) sebagai lokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan setelah jalanan umum (28,22 persen).

Dari hasil survei tersebut, ada sembilan belas pelecehan seksual yang kerap terjadi di transportasi umum. Mulai dari pelecehan verbal seperti siulan/suitan, suara kecupan, komentar atas tubuh, komentar seksual yang gamblang, komentar seksis, komentar rasis, main mata. Termasuk foto secara diam-diam, diintip, diklakson, gestur vulgar, dipertontonkan masturbasi publik, diperlihatkan kelamin, didekati dengan agresif secara terus menerus diikuti/dikuntit, hingga disentuh, diraba, dan digesek dengan alat kelamin.

Anggapan tentang kekerasan seksual hanya dilakukan di tempat gelap, atau di jalan sepi telah membuat kita abai dan kurang waspada bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan tidak menutup kemungkinan kekerasan seksual juga terjadi di tempat yang dianggap aman atau paling minim resiko terjadinya kekerasan seksual, seperti sekolah, universitas dan tempat peribadatan. Baru-baru ini seorang pria tertangkap kamera CCTV saat mencabuli anak perempuan di sebuah masjid di Pangkalpinang, Bangka Belitung (Babel). Pelaku merupakan seorang pria dewasa yang melecehkan anak perempuan saat sedang salat.

Pikiran pelakulah yang sebenarnya harus dikontrol, bukan pakaian yang dikenakan, waktu

korban beraktivitas atau dimana tempat korban beraktivitas. Pelecehan seksual murni terjadi

karena niat pelaku dan kesempatan. Tidak seharusnya korban yang mengalami pelecehan seksual disalahkan atas kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Pakaian apapun yang dikenakan perempuan bukan berati menjadi persetujuan menjadi target pelecehan seksual. Pakaian juga tidak berperan dalam mencegah atau memperbesar kemungkinan terjadinya pelecehan seksual.

Pelecehan seksual sering kali terjadi disekitar kita, dengan atau tanpa kita sadari. Seharusya kita lebih peka terhadap pelecehan- pelecehan yang marak terjadi di ranah publik. Jika kita terus abai terhadap isu ini maka akan berdampak negatif bagi keamanan perempuan saat sedang berada di ruang publik. ngin ikut berperan aktif dalam melawan isu nomor satu yang dihadapi oleh perempuan Indonesia, yaitu pelecehan seksual di ruang publik.

Dalam riset yang yang dilakukan L’Oréal Paris secara nasional melalui IPSOS Indonesia,

sebanyak 82% perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik dan persentasi ini lebih tinggi dari rata-rata 8 negara lain yang disurvei. Hal yang paling

mengkhawatirkan, 91% responden mengatakan mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan

untuk membantu korban.

Kita jangan menjadi bystander pasif yaitu orang yang menyaksikan suatu kejadian dan memilih untuk mengabaikan situasi tersebut dengan alasan apapun.mencegah dan dengan aman menghentikan tindak pelecehan seksual di ruang public. Sebaliknya kita menjadi bystander aktif yaitu seseorang yang menyaksikan kejadian tersebut dan berupaya melakukan sesuatu untuk mengubah situasi demi menyelamatkan korban. 

Ada metode 5D yang penting kita ingat sebagai bystander aksi kekerasan dan pelecehan seksual di ruang publik.

1. Dialihkan

Metode pertama yang bisa kita lakukan untuk mengintervensi pelecehan seksual di ruang publik adalah dengan mengalihkan perhatian pelaku. Contohnya dengan menghampiri pelaku dan menanyakan arah, atau mengajak korban mengobrol seakan-akan kita saling kenal.

2. Dilaporkan

Jika kita merasa ada tindak pelecehan seksual terjadi di sekitar kita, segera laporkan atau minta pihak yang berwajib seperti petugas keamanan atau orang terdekat yang berada di sekiat kita untuk mengecek situasi antara korban dan pelaku.

3. Dokumentasikan

Kita bisa mendokumentasikannya sebagai barang bukti apabila korban ingin melaporkan kejadian tersebut. Berikan hasil dokumentasi tersebut kepada korban dan jangan menyebarkannya.

4. Ditegur

Menegur pelaku adalah cara yang paling frontal untuk mencegah dan menghentikan pelaku. Sebelum menegur pastikan situasi cukup aman bagi kita dan korban

5. Ditenangkan

Tenangkan korban dan segera bawa korban ke tempat yang lebih aman.

Jika kita menjadi korban pelecehan di ranah public maka kita bisa menerapkan hal – hal berikut.

1. Katakan sesuatu pada pelaku

Beri tahu orang yang melecehkan anda agar berhenti melakukannya, bergerak menjauh dari Anda, atau beri tahu mereka mengapa mereka membuat Anda tidak nyaman dan pergi ke tempat yang aman.

2. Minta bantuan dari sesorang di sekitar anda

Jika ada orang di sekitar tetapi tidak ada yang melihat apa yang terjadi, beri tahu mereka dengan persis apa yang dikatakan atau dilakukan oleh pelaku pelecehan dan apa yang dipakai oleh pelaku pelecehan sehingga bystander (saksi) bisa mengenali mereka. Anda bisa meminta mereka untuk tetap bersama Anda sebentar atau menghubungi seseorang yang berwenang (misalnya pengemudi bus jika sedang berada di bus).

3. Rekam hal itu

Pertimbangkan untuk mengambil gambar atau video tentang apa yang terjadi – atau minta bystander (saksi) untuk melakukannya. Pastikan anda merekam lokasi dan pelaku pelecehan dengan jelas. Segera setelah anda aman, anda bisa memutuskan jika ingin berbagi cerita daring atau melaporkannya ke pihak berwenang.

Berhenti untuk menyalahkan korban (victim blaming) dan melindungi pelaku dengan dalih

“tidak ada asap kalau tidak ada api”. Berhenti untuk melontarkan pernyataan-pernyataan yang menghakimi dan menyudutkan korban. Kesalahan murni terletak pada pelaku dan bukan pakaian yang dikenakan korban, waktu korban beraktifitas atau tempat korban beraktifitas. Karena faktanya banyak korban pelecehan seksual yang tidak mengenakan baju terbuka, tidak mengumbar dada, dan tidak pamer paha. Bahkan sebagian korban merupakan anak-anak dibawah umur, yang pakaiannya jelas-jelas tidak mengundang hawa nafsu. Hanya satu kata untuk segala bentuk kekerasan seksual yaitu, Lawan!

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *